Pertemuan kita dimulai semenjak sama-sama berkuliah di
tempat yang sama, jurusan yang sama, dan kelas yang sama selama 3 tahun. Entah
bagaimana awalnya, tiba-tiba kita menjadi dekat, mungkin karena kau orang baik,
bahkan teramat baik, hingga bersedia memulai pertemanan dengan orang sepertiku.
Kita seperti sepemikiran, apalagi tentang hal-hal yang berkaitan dengan
perkuliahan. Kamu termasuk bintang kelas yang bersinar saat itu, pintar,
mahasiswa yang paling rajin, tugas selalu sempurna, nilai ujian di atas
rata-rata.
Dan entah bagaimana awalnya, tiba-tiba kita menjadi dekat,
hingga pada tahap aku mulai sering memanfaatkan kamar kosanmu sebagai tempat
melepas lelah saat menunggu jadwal kuliah berikutnya. Dan lama-kelamaan aku menjadi
semakin seenaknya, mulai mengganggap kamar kosanmu seperti milikku sendiri,
numpang makan dan tidur berkali-kali.
Semua berjalan begitu adanya hingga sampai saat aku
memutuskan untuk bergabung dengan sebuah organisasi. Sebuah organisasi yang
cukup berbeda dari yang lainnya, sebuah organisasi yang menuntut totalitas
lebih dari kebanyakannya. Ya, organisasi surat kabar kampus. Semenjak saat itu
waktu dan perhatianku banyak tersita olehnya, hingga pada akhirnya kau menjadi
yang nomor dua. Setiap waktu senggang saat menunggu kuliah telah jarang
kuhabiskan bersamamu, lebih banyak kuisi dengan mengerjakan tanggung jawab
organisasiku, membuat berita, melakukan wawancara, hunting narasumber, menulis
pusi atau cerpen. Maka hanya sisa waktuku lah yang kuhantarkan kepadamu.
Tapi kau tak pernah marah, tak pernah merasa lelah dengan
teman sepertiku. Tak pernah merasa bahwa aku hanya memanfaatkanmu. Ya, karena
kamu yang terlalu baik hatinya. Sering aku datang padamu hanya disaat-saat
lelah dan bebanku terasa memuncak, stres dengan tanggung jawab organisasi yang
rasanya tak kunjung terselesaikan, bingung dengan tugas-tugas kuliah yang
akhir-akhir ini hanya mampu kukerjakan dengan pas-pasan. Aku mendatangimu di
saat-saat lelah habis bergadang semalaman mengerjakan laporan utama surat kabar
hingga pagi, dengan mata mengantuk menghampiri kos-kosanmu untuk numpang tidur
seperti biasa. Ah....betapa jahatnya aku. Dan kamu, bepata tulusnya masih mau
menerima seorang teman sepertiku.
Kepadamu, aku menjadi seperti seorang kekasih kepada
selingkuhannya. Kekasihku yang utama saat itu
adalah organisasi, lengkap beserta orang-orang yang di dalamnya. Dan
padamu aku datang saat mengeluhkan segala penatku, saat aku membutuhkan teman.
Maklum, karena menomorsatukan organisasi, maka nyaris aku tak memiliki teman
dekat di jurusan, dan kamulah yang setia menerimaku apa adanya, dengan
perhatian seorang teman yang tiada habisnya. Kamu ingat kamu bahkan
mengijinkanku untuk menginap di kos-kosanmu padahal saat itu kau tak ada disana,
sedang pulang kampung ke tempat ayah ibumu, haha....benar-benar rasa memiliki
yang tinggi pada diriku saat itu.
Saat kesedihan memuncak pun, aku menumpahkannya dengan
berbaring di kos-kosanmu. Saat ibuku di panggil Allah, saat harus hidup
berjuang di kota Padang sendirian, maka padamulah aku sering mencari teman.
Terima kasih atas segala waktu yang tak pernah bosan untuk kau berikan. Padamu,
aku hanya menambahkan kesulitan yang tak habis-habisnya. Sampai saat
handphone-mu hilang saat suatu kali menginap di rumahku untuk mengerjaan
makalah Tugas Akhir, tugas kita tak terselesaikan, malah telepon genggammu
dicuri maling yang masuk ke rumah malam itu, dua buah pula, tiga dengan
handphoneku yang juga turut dicuri. Tapi HP punyamu saat itu baru saja dibeli
dan dengan kapasitas telepon yang lebih canggih. Ah, betapa merasa bersalahnya
aku saat itu. Ingin menggantikan Hpmu yang hilang, tapi tak punya uang karena
aku hanyalah mahasiswa yang pas-pasan saat itu. Ongkos untuk pergi kuliah pun
harus kusambung dengan menghasilkan beberapa tulisan di Surat Kabar atau
bekerja sampingan membuat kue di hari Sabtu atau Minggu. Maka jadilah Hpmu
hilang begitu saja. Maafkan aku ya teman.
Begitulah hubungan kita hingga menamatkan perkuliah bersama.
Ya, karena kamu yang terlalu baik hatinya, hingga mau menjalin pertemanan
denganku yang begini adanya.
Bahagia itu ketika akhirnya kita sama-sama merantau di
Jakarta, sama-sama berusaha mencari pekerjaan di Ibukota, tapi sayangnya Allah
tak mentakdirkan kita bekerja di tempat yang sama, dan itulah memang yang
terbaik. Namun dengan berada di tempat yang sama, seolah Allah ijinkan ikatan
persaudaraan kita tetap terjaga. Padamu Allah ijinkan terjalin persaudaraan
yang semakin dekat, hingga semua rahasiaku, semua baik dan burukku kutumpahkan
padamu, kau pun begitu. Bagiku kau kini lebih dari sekadar teman, kau adalah
saudara. Bahkan sejak aku terlebih dahulu menikahpun sekitar 6 tahun yang lalu,
tak mengurangi rasa persaudaraan kita.
Aku sangat senang saat kau sedih dan dilanda kebingungan,
maka aku lah yang kau cari, aku lah yang kau curhati. Aku merasa seperti
keberadaanku berharga disisimu. Seolah membalas apa yang dulu kau lakukan
untukku, aku akan selalu berusaha ada untukmu, meski pada kenyataannya kamu lah
yang selalu berusaha menyempatkan diri untuk mengunjungi rumahku , karena
alasan aku belum bisa bepergian keluar terlalu jauh karena dua bocah yang masih
kecil. Ah, lagi-lagi begitu pengertiannya dirimu.
Hubungan dua persahabatan adalah hubungan yang saling, maaf
jika selama ini kamulah yang sering bersabar dan berkorban untukku.
Melukaimu, entah telah yang keberapa kalinya. Saat ujian
kesabaran tentang penantian sebuah jodoh, aku pun sempat membuatmu menangis,
mempertanyakan tentang kesabaranmu, tentang seberapa besar kegigihanmu, tentang
keikhlasan di hatimu, hingga kamu menumpahkan air mata. Ah,...betapa menyesalnya
aku saat itu, seolah tak mengerti betapa sensitifnya mereka yang sedang dalam
penantian.
Betapa bahagia luar biasa saat menerima kabar tentang akhir
dari penantian yang akhirnya datang juga. Pangeranmu akhirnya datang menjemput,
dengan cara-cara Allah yang indah. Tentang semangatmu yang tiba-tiba ingin
belajar tentang ta’aruf, hingga Allah bukakan jalan kebaikan untukmu, Allah
permudah langkahmu untuk mengikuti berbagai kajian islam semenjak saat itu,
Allah lembutkan hatimu untuk menerima kebenaran dan kebaikan, hingga akhirnya
menjadi dirimu yang saat ini. Seperti janji Allah, laki-laki baik untuk
perempuan baik, dan perempuan baik untuk lelaki baik pula.
Proses pernikahanmu yang begitu cepat kilat, seolah Allah
ingin memperlihatkan kejaiban bagi mereka, orang-orang yang sabar menunggu
dalam kebaikan sepertimu, orang-orang yang sabar menunggu dengan memperbaiki
diri, bukan dengan meratapi diri. Seperti doa ayah ibumu, tak Allah ijinkan
adikmu untuk menikah terlebih dahulu, Allah kirimkan secepat kilat jodohmu, hingga
hanya dalam rentang waktu sebulan saja, akad itu dapat terlaksana. Jika Allah
telah berkata kun, maka fayakun. Allah selalu punya jalan yang indah bagi
hambaNya yang terlalu baik sepertimu.
Kepadamu, seorang teman yang terlalu baik hatinya, maaf atas
segala luka yang pernah ada dalam persahabatan kita. Maaf karena sering sok menasehatimu,
bahkan kadang mengguruimu. Maaf karena selalu memintamu bersabar karena keadaan
dan kekuranganku. Semoga Allah jaga persaudaraan kita hingga ke Surga. Aku menyayangimu
karena Allah, InsyaAllah.***
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar