:Setyo Nugroho
Kutulis dengan segenap rasa, kepadamu seseorang yang telah kupercayakan diri dan sepenuhnya hati. Tentang tujuh tahun perayaan cinta kita, tentu saja buncahnya tak lagi sama seperti di tahun-tahun pertama, namun padamu selalu kan kuupayakan memupuk rasa, memekarkan cinta. Rasa cintaku padamu seperti saat pertama.
Kutulis dengan segenap rasa, kepadamu seseorang yang telah kupercayakan diri dan sepenuhnya hati. Tentang tujuh tahun perayaan cinta kita, tentu saja buncahnya tak lagi sama seperti di tahun-tahun pertama, namun padamu selalu kan kuupayakan memupuk rasa, memekarkan cinta. Rasa cintaku padamu seperti saat pertama.
Untukmu lelaki yang telah mengambil
perjanjian yang berat, perjanjian yang setara dengan janji Allah dan Rasulnya,
janji yang selalu berusaha kita jaga hingga kini, janji yang semoga selalu bisa kita genggam hingga di
kehidupan setelah dunia nanti. Padamu kutanam cinta, kupupuk dengan kasih dan sayang agar ia selalu mekar meski
kadang hembusan angin teramat kencang, dan badai ujian sesekali menghadang. Semoga ia selalu tetap
berdiri kokoh, tetap tumbuh, membesar, dan tetap mekar.
Untukmu lelaki yang pada
akhirnya hatiku telah berhenti
pada hatimu, yang selalu menjadi penyebab degub jantung yang tak menentu, meski
kadang tetap dihiasi letupan-letupan kecil dan segelintir gelisah. Padamu yang selalu menyediakan pelukan
hangat yang menenangkan sebagai penawar lelah dan gelisah, pelukan yang
selalu kucari saat gundah melanda, saat dunia di luar sana terasa begitu melena, saat beban hidup
rasanya memberat. Padamu yang selalu
berupaya menghapus gelisah, yang menyirami dengan kata-kata dan nasihat yang
menenangkan hingga sedih perlahan berkurang dan hilang. Padamu yang selalu menyediakan bahu
yang kokoh untukku menyandarkan segala sedih, tentang rindu pada Ibu dan
Bapakku yang tak lagi bisa menyatu, tentang dosa-dosa masa laluku, tentang
segala pilu, kau selalu menyediakan dekapan dan kecupan yang menguatkan.
Untukmu, ayah dari anak-anakku, yang
selalu setia menemani kedua buah hati, yang selalu menjaga mereka dengan hati-hati, walau kadang sesekali dalam lelah,
tapi kau masih selalu dalam senyum yang cerah. Selalu berusaha menguntai
pelangi di mata dua pelita hati. Padamu yang entah kemana kucari keluasan hati
yang rela berbagi beban.
Untukmu yang tak pernah merasa risih
merawatku kala sakit mendera, meski saat itu ragamu juga tengah sakit tak kalah sama. Padamu yang
tak risih meringankan beban pekerjaan rumah tangga, ikut mencuci piring dan
membuat istana kita cling.
Untukmu yang
telah membersamai hidup saat indah cahaya dan malam gelap gulita. Kita masih
sedang sama-sama berproses, masih sama-sama belajar seumur hidup, belajar
menjadi sepasang suami istri, belajar menjadi seorang ayah dan ibu yang hakiki,
sama-sama belajar menuju penyatuan jiwa dari dua raga yang berbeda. Barangkali
ada hal-hal yang perlu kita sepakati lagi bersama, tentang mimpi dan cita-cita
rumah tangga kita, tentang keinginan dan harapan yang ingin kita capai bersama,
tentang cita-cita membesarkan anak-anak kita dengan bekal agama dan segala
cinta. Ah, sayang semoga pada semua asa ini, Allah berikan jalan kemudahan.
Untukmu yang saat kubertanya bagian
mana di diri ini yang mesti diperbaiki, kau hanya mengajak untuk kita sama-sama
memperbaiki ibadah di diri kita. Katamu, nanti dengan sendirinya
pribadi kita juga akan ikut terperbaiki. Ah, kamu selalu begitu,
selalu punya jawaban-jawaban yang tak terduga.
Untukmu yang entah
kenapa mencintaimu rasanya semakin dalam, sejak kecelakaan yang menimpa kita di
pertengahan tahun lalu, turut menguatkan ikatan di antara kita, begitulah
sekarang yang kurasa, dan sepertinya begitu pula yang kau rasa. Semakin
mencintaimu, akhir-akhir ini semakin membuatku tersadar bahwa kita tak
benar-benar saling memiliki, kita berdua hakikatnya hanya saling dititipi.
Allah menitipimu dalam hidupku menjadi pendampingku, begitu pula sebaliknya
keberadaanku di dalam hidupmu. Yang suatu hari akan ada saat perpisahan. Entah
kenapa akhir-akhir ini sering terpikirkan tentang hal ini. Menghadirkan ruang
murung dalam sisi batinku, kadang mengalirkan air mataku. Ah, sayang ada apa
dengan diriku ini. Semoga Allah ijinkan kita untuk bisa selalu bersama-sama,
menua bersama. Melihat anak-anak kita tumbuh dewasa, bahagia hingga ke
jannahnya.
Padamu lelaki
yang telah tujuh tahun membersamai hidup, terima kasih untuk segala warna
sepanjang pernikahan kita, terima kasih untuk selalu menahan diri saat lelah
dan amarah membuncah, terima kasih untuk setiap pelukan hangat dan setiap
untaian doa kebaikan untuk pernikahan kita, terima kasih telah mencintaiku
sebagai Ulvina Haviza yang begitu banyak kurangnya, terima kasih untuk tujuh
tahun yang bahagia dan banyak cinta.***
4 Februari 2019
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar