Nak, kepadamu yang datang untuk kali
kedua, Bunda akan ceritakan kisah tentang kedatanganmu. Engkau yang menjadi
penanda cinta yang kedua bagi Ayah dan Bunda. Engkau yang datang disaat Mas
Adlan memasuki usia ke-21 bulan. Kedatanganmu yang sempat Bunda hadapi antara
siap dan tak siap. Bunda siap karena cukup terkejut ternyata Bunda bisa hamil
lagi tanpa susah-susah untuk program hamil ke dokter sebelumnya, tapi antara
tidak siap mengingat Mas Adlan yang belum genap 2 Tahun saat itu, takut seolah
membagi kasih sayang darinya yang belum diwaktunya. Takut tentang Mas Adlan
yang belum bisa mandiri, takut dengan begitu berarti fokus Bunda akan berkurang
untuk merawat Mas Adlan, akan terbagi dengan perhatian untuk lebih memperhatikanmu
yang masih berada dalam kandungan.
Tapi ya, akhirnya semuanya terlewati
begitu saja tanpa terasa. Kehamilan kedua kali ini sempat diwarnai rasa was-was
juga rasa lelah yang berlebihan karena masih mempunya anak yang juga masih
batita dan masih butuh perhatian lebih. Bahkan entah kenapa Bunda sering tiba-tiba
menangis sendiri karena baper dan bawaan hormon (hehe...nyalah2in hormon). Sempat
juga merasa bersalah sama Mas Adlan tentang kasih sayang dan perhatian yang tak
lagi full padanya, tentang kondisi Bunda yang mudah lelah dan bertambah lemah
dengan kandungan yang semakin membesar. Benar-benar ga maksimal merawat Mas
Adlan. Belum lagi di kehamilan kedua ini masa mual dan muntahnya agak lebih
lama dari pada waktu hamil sebelumya, mungkin karena efek sering kelelahan
juga. Hingga diusia kandungan 20 minggu lebih, Bunda masih sering muntah di
pagi harinya saat bangun tidur, atau setelah tiba di kantor. Berbeda dengan
saat hamil Mas Adlan dulu, masa mual muntahnya cuma sampai 16 minggu. Tapi alhamdulillah
pola makannya tetap sama, doyan makan selama hamil, walaupun habis muntah,
tetap langsung isi lagi, makan lagi, ngemil lagi.
Pernah saat usia kandungan adek
memasuki bulan keempat, Mas Adlan terkena penyakit yang cukup parah, Flu
Singapura. Demamnya tinggi dan muncul
banyak bintik merah di tangan dan kakinya, lebih-lebih di mulutnya banyak
timbul bintik merah seperti sariawan yang banyak dan kecil-kecil. Bukan hanya
tak mau makan, Mas Adlan sampai tak mau minum sama sekali, bahkan hanya seteguk
air putih. Mungkin karena tenggorokan dan rongga mulutnya berasa sangat perih. Sampai-sampai
Ayah dan Bunda harus memaksa Mas Adlan untuk minum susu, Ayah memegangi tangan
dan kaki Mas Adlan dengan erat, sementara Bunda menyuapi susu sesendok demi
sesendok, sambil Mas Adlan terus nangis dan teriak karena kesakitan. Maafin Ayah
Bunda ya Mas, semua demi Mas Adlan agar bisa sembuh dan tak sampai dirawat di
rumah sakit saat itu. Kasian Mas Adlan. Tapi juga kasian adek yang waktu itu
masih berada dalam perut bunda, takut kalau-kalau Bunda tertular, tentu juga
akan berdampak tak baik pada adek yang dalam kandungan Bunda. Berkali-kali Bunda
mengelusmu yang sedang dalam perut Bunda, meminta adek untuk kuat dan sehat
berada dalam kandungan. Alhamdulillah, berkat lindungan Allah, kita semua masih
dijaga.
Sepanjang kehamilan adek, Bunda sering
sekali merasakan sakit gigi. Memang karena salah Bunda juga sih yang tak
merawat gigi yang berlubang sebelum hamil. Puncaknya sejak usia kandungan 7
bulan hingga kelahiran adek, hampir setiap hari Bunda merasakan nyut-nyutnya
sakit gigi. Tak laku lagi pepatah tentang lebih baik sakit gigi dari pada sakit
hati buat Bunda. Di usia kandungan 7 bulan ini pula kaki Bunda sempat keseleo
karena tak hati-hati saat turun dari atas kasur, terpeleset hingga ada bunyi
kreek dua kali saat itu. Untunglah segera membaik setelah dipijit ke tukang
pijit langganan.
Karena sudah memiliki pengalaman
di kehamilan pertama, di kehamilan kedua ini Bunda baru mendatangi bidan tempat
rencana persalinan ketika usia kandungan memasuki 30 minggu. Setelah itu
barulah setiap dua minggu sekali rajin kontrol kandungan dan ikut yoga hamil
bersama para bumil-bumil lainnya. Hingga tibalah akhirnya episode menyambut
kedatangan adek yang ditunggu-tunggu. Sama seperti Mas Adlan yang memasuki
minggu ke-40, belum juga ada tanda-tanda kontraksi, meski sudah sejak seminggu
sebelumnya Bunda makan buah nenas tiap hari, beberapa kali makan sate kambing, bahkan
juga sempat beli durian.
Dua hari menjelang HPL Bunda mulai
merasakan kram di perut yang tak seperti biasanya. Kram yang mulai hilang
timbul, tapi masih jarang banget jarak kontraksinya. Sadar dengan tanda-tanda
itu berkat pengalaman anak pertama, esoknya malah ikut menemani uni yang ingin
shopping di ke ITC Depok saat itu. Selama berjalan di tempat perbelanjaan,
sesekali kami berhenti saat kontraksi datang yang masih sekitar 10 menit
sekali. Kontraksi yang terasa belum dengan kontraksi yang terlalu dalam dan
sakit, kontraksi yang masih bisa ditahan, kontraksi yang masih di awal-awal
pembukaan. Bahkan saat perjalanan pulang ke rumah kami bela-belain jalan kaki
dari jalan raya sampai ke rumah, demi kontraksi ceritanya, hehe..... dan
kontraksi seperti ini terus berlangsung hingga tengah malam, hingga subuh,
hingga pagi menjelang. Lagi-lagi berkat pengalaman anak pertama, Bunda telah
mempersiapkan diri dan stamina untuk tak bisa tidur sampai pagi menikmati
kontraksi yang semakin meningkat level rasa sakitnya.
Benar saja, kontraksi yang datang
semakin intens tak memberi kesempatan Bunda untuk memejamkan mata. Saat kantuk
benar-benar menyerang, Bunda sempat ketiduran, namun baru lima menit terlelap,
tiba-tiba terbangun lagi karena kontraksi yang datang, begitu seterusnya hingga
subuh menjelang. Esoknya, dari pagi hingga siang berusaha untuk tetap bergerak,
jalan muter-muter keliling rumah, agar pembukaan semakin cepat, sambil sesekali
duduk di gymball dan menggoyang-goyangkan panggul. Sebenarnya agak berasa
sedikit aneh juga, karena kontraksi yang rasanya sudah mulai sering, tapi belum
ada flek atau bercak darah yang keluar sedikitpun, tak seperti waktu proses
lahiran Mas Adlan yang baru di pembukaan kesatu sudah lumayan banyak flek darah
yang keluar. Bunda pikir mungkin ini karena anak kedua, jadi sudah ada jalan
lahir sebelumnya, sehingga Bunda tetap menjalankan sholat hingga ashar. Barulah
selepas waktu ashar, kontraksi yang datang semakin terasa semakin kuat, terasa
semakin meningkat level sakitnya, semakin sering dan semakin membuat Bunda
mengerang kesakitan. Kontraksi yang datang sudah setiap 5 menit.
Seketika itu Ayah menelepon Bu
bidan, berkonsultasi lalu diputuskan untuk berangkat ke klinik bersalin saat
itu juga. Setelah shalat ashar Bunda segera beres-beres dan ganti baju dibantu Uni,
kami pun berangkat ke klinik, Mas Adlan yang lagi tidur siang saat itu ditinggal
sama tante yang ngasuh. Karena ga mungkin juga bawa Mas Adlan saat proses
lahiran.
Kami naik taksi yang dipesan ayah
melalui telepon. Selama perjalanan si sopir taksi mengomel tak henti karena
tidak menyetujui jalur perjalanan yang Bunda pilih, karena merupakan jalur
macet menurut dia. Terus dan terus saja mengoceh tentang jalur yang dia pilih
selal benar karena dia aladah sopir yang berpengalaman . Alhasil sepanjang
perjalanan, Bapak sopir berhasil merusak mood Bunda hingga kontraksi yang
datang tak lagi terasa teratur.
Tak berapa lama, Alhamdulillah
akhirnya sampai di klinik dengan cepat dan selamat. Sesampai di klinik, Bunda diperiksa
sama asistennya Bidan Erie, karena dia sedang ada jadwal kuliah saat itu. Saat
diperiksa ternyata sudah bukaan ke-6, sempat wow juga dengan kontraksi yang
tidak beraturan ternyata sudah dibukaan keenam. Akhirnya Ayah dan Bunda memutuskan
untuk menginap saja di klinik saat itu, sayangnya dua kamar yang lain sudah
terisi oleh pasien yang lain yang datang terlebih dahulu, yang satu sudah
lahiran malam sebelumnya, dan yang satu lagi masih dibukaan kelima setelah
ketubannya pecah dari semalam. Sementara Bunda masih dalam proses menunggu air
ketuban pecah agar bukaan semakin lancar, dan dapat kamar yang paling kecil
dari ketiga kamar yang ada. Tapi tak apalah, memang sudah rejekinya seperti
itu.
Mulai deg-degan karena kontraksi
mulai teratur kembali, rasa mulesnya di perut nikmat-nikmat sedap. Setiap
kontraksi yang datang rasanya semakin luar biasa sakitnya, rasanya Bunda tak
bisa untuk tidak merintih. Sesekali mencoba duduk di atas birthing ball, tapi
akhirnya memilih berbaring saja di dipan demi sedikit meredam sakitnya kontraksi.
Beberapa detik setelahnya, akhirnya ketuban Bunda pecah. “Tussssss.....” begitu
terdengar bunyinya hampir seperti balon yang dikempesin. Dan ya, banjir lah
semua tempat tidur dengan air ketuban Bunda yang banyak dan bercecer
kemana-mana.
Sambil terus menikmati kontraksi,
sambil mendengar teriakan dari kamar sebelah, si mbak-mbak yang katanya
berhenti di pembukaan kelima, tak maju-maju dan tak ada tanda-tanda pertambahan
pembukaan, padahal sudah hampir 24 jam sejak ketubannya pertama kali pecah.
Lebih dramatisnya lagi, dia beteriak dengan kencang setiap kali kontraksi
datang, sepertinya benar-benar kesakitan. Suaranya turut membuyarkan konsentrasi
Bunda saat itu, Bunda yang sesekali masih merintih saat kontraksi menghampiri
sempat ciut juga nyalinya mendengar teriakan si mbak-mbak. Dan benar saja,
akhirnya dia menyerah juga, memutuskan untuk rujuk kerumah sakit dan
menjalankan proses caesar karena tidak ada tanda-tanda kemajuan pembukaan.
Sempat kepikiran juga, bagaimana jika nanti pembukaan Bunda tak maju-maju juga,
sudah menjelang magrib, dan masih dibukaan ketujuh, sementara rasanya perut
sudah semakin tak karuan, mulut Bunda semakin tak henti-henti mengucapkan
doa-doa dan dzikir apa saja yang Bunda ingat saat itu, tulus dalam hati Bunda
berdoa agar bisa lahiran dengan sehat dan normal, semoga pembukaannya terus
maju, jangan sampai nanti ujung-ujungnya dirujuk caesar ke rumah sakit. Oh...
Bunda benar-benar takut.
Beberapa saat setelah pasien sebelah
meninggalkan klinik, Bunda diminta asisten bu bidan untuk pindah ke kamar
sebelah, karena lebih luas dan bisa lebih leluasa. Perlahan Bunda turun dari
dipan, jalan pelan-pelan dituntun Ayah dan asisten bu bidan. Sambil berjalan dengan pelan, air ketuban
masih berceceran di lantai. Masih banyak dan bening, kata Bu Bidan.
Kembali memilih berbaring di atas
kasur menikmati kontraksi, tapi kali ini kasurnya terasa lebih empuk dan lebih
luas. Hehe...memang rejeki anak sholehah, akhirnya dapat kasur dan ruangan yang
lebih nyaman, tapi kasihan juga mbak-mbak yang barusan pulang, akhirnya
menjalankan proses caesar juga.
Entah kenapa pembukaannya semakin
terasa lambat berjalan, sementara rasa sakitnya semakin menjadi-jadi, semakin
meningkat level sakitnya sedikit-demi sedikit. Bunda masih saja mengerang dan
merintih setiap kali kontraksi datang, tiap kali gelombang cinta itu
menghampiri, bawaannya selalu ingin meluruskan kaki, bagi Bunda saat itu rasa
sakitnya jadi sedikit terkurangi, tapi kata bu bidan itu justrus menghambat
proses pembukaan karena Bunda jadi mengempit jalan lahirnya. Mencoba untuk tak
meluruskan kaki lagi saat kontraksi, rasanya berat banget, ditambah lagi
bawaannya udah pengen ngeden.
Lagi dan lagi gelombang kontraksi
itu datang, entah kenapa rasanya perputaran waktu semakin lama berjalan. Tiap
sebentar Bunda melirik jam yang tergantung di dinding, sambil terus membisiki
si adek, “Ayo dek, berusaha lebih kuat Nak, buka jalan lahirnya, biar cepat
ketemu Ayah Bunda nak.” Kupandangi wajah suami dan uni yang menunggui saat itu.
Air mukanya terlihat cemas bercampur kasihan melihatku yang masih terus
kesakitan. Tapi kali ini uni tak terlalu banyak komentar, dan tak terlalu panik
seperti waktu lahiran Mas Adlan, karena Bunda sudah mewanti-wanti, hehe.
Mungkin karena bobot adek yang cukup besar, rasa sakitnya jadi sungguh luar
biasa, dan proses pembukaannya dari bukaan sembilan ke sepuluh berlangsung
lamaaaa banget. Hingga rasanya lutut Bunda sudah gemetar menahan rasa sakit.
Dan benar saja, saat bukaan sudah lengkap, Bunda sudah sangat lelah untuk
mengejan, sementara itu masih mencoba mengatur nafas, masih mengerang
kesakitan, namun lutut semakin gemetar.
Mencoba mengatur nafas lagi,
menghirup udara dengan perlahan, menghembuskannya pelan melalui mulut. Semakin
terasa bahwa semuanya tak semudah teori yang selama ini dipelajari. Beberapa
kali mencoba mengejan, tapi kepala adek belum keluar juga, akhirnya bu bidan
menyarankan untuk mencoba mengubah posisi dari telentang ke posisi jongkok,
siapa tau jadi lebih cepat keluar seperti Mas Adlan dulu. Tapi ternyata lutut
Bunda sudah tak cukup kuat menahan beban tubuh Bunda sendiri, terasa semakin
gemetar. Akhirnya memilih untuk kembali ke posisi semula, kembali ke posisi
tidur telentang dengan kedua lutut ditopang.
Tak berapa lama, Bunda mencoba
menguasai diri lagi, mencoba menarik nafas dalam-dalam, mengatur irama nafas
saat kontraksi, lalu mengejan sekuat-kuatnya saat gelombang kontraksi datang
lagi, sekuat tenaga Bunda yang tersisa saat itu. Alhamdulillah akhirnya kepala
adek berhasil keluar. Perlahan Bu Bidan memutar badan adek dengan tangannya
hingga posisi kepala menjadi miring dan posisi bahu jadi searah dengan vagina,
hal ini dapat membantu meminimalisir sobekan saat proses lahiran. Lagi, Bunda mengejan
dengan sekuat tenaga, dengan keringat yang bercucuran tak henti, dengan erangan
yang entah telah keberapa, dengan do’a-do’a yang masih berusaha Bunda lafalkan
dalam hati dengan sadar, akhirnya adek lahir juga dengan sehat dan selamat. Maha
suci Allah. Malam itu, ditengah gelap yang semakin pekat, adek terlahir ke
dunia tepat pukul 22.00 WIB, dengan bobot yang cukup besar untuk bayi yang baru
lahir 4,2 kg dan panjang 53 cm, lebih besar dari Mas Adlan. Hari itu, Sabtu 8
Oktober di tahun 2016.
Alhamdulillah ya Rabb, rasanya sungguh lega,
perasaan yang tak bisa diuraikan dengan kata, tiba-tiba tubuh terasa plong tanpa
beban. Ya Allah, jihad ini telah sekali lagi tertunaikan atas izin-Mu. Secepat
kilat kemudian Bu Bidan memposisikan adek di pangkuan Bunda untuk IMD, sekali
lagi akhirnya merasakan ada rasa haru yang tak terbendung, saat itu adek tenang
di pelukan bunda, tak menangis sedikitpun. Alhamdulillah Nak, selamat datang di
kehidupan Ayah dan Bunda, juga Mas Adlan. Selamat datang penanda cinta Ayah dan
Bunda yang kedua.***
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar