Bekas luka, aku mendapatkannya karena jatuh dari motor saat
hendak berangkat ke kantor, berboncengan dengan suami. Hari itu adalah hari
yang berat. Pagi yang terasa berbeda dari biasanya. Aku sungguh merasa enggan
untuk berangkat ke kantor, karena sudah yakin tak akan ada solusi atas
permasalahan tentang pekerjaan yang sedang kuhadapi saat ini. Sudah sejak
beberapa malam sebelumnya aku mengeluhkan hal ini pada suami, hampir setiap
hari. Tapi ya bisa apa, mau tak mau aku tetap berangkat untuk melakukan
pelaporan hari itu, karena masalah yang muncul sudah semakin pelik.
Sedari pagi mukaku muram, pikiranku tak karuan. Pagi itu dengan memelas aku meminta diantar suami, kupikir
setidaknya sepanjang perjalanan aku masih punya teman mengobrol sambil
mengumpulkan keberanian, dan setidaknya mengurangi kengganan dan ketegangan.
Akhirnya aku berangkat juga, setelah mengecup kening dan pipi
dua bocah kecil. Masih dengan langkah yang lemah, masih banyak bermenung sambil
otak masih berpikir keras. Perlahan aku duduk di boncengan motor yang
dikemudikan suami, sampai-sampai lupa membaca doa keluar rumah hari itu, tak seperti
biasanya, entah kenapa.
Disitulah mula malapetakanya. Kami berdua berangkat dengan
hati yang sama-sama gelisah, sama-sama tak tenang, sampai-sampai untuk membaca
doa keluar rumahpun kami sama-sama melupakannya. Hingga selang tak berapa lama,
tak jauh dari rumah, saat baru beberapa menit kami mengendarai motor, suami
melindas lubang yang cukup curam di tengah jalan. Posisinya saat itu kami
sedang berada di belakang mobil, dan suami tiba-tiba kaget melihat lubang di
depannya karena sebelumnya tertutup kolong mobil. Dan ya, tak sempat
menghindar, kami melindas lubang itu.
Motor yang kami kendarai sempat agak terlompat ke atas, saat
mendarat lagi di jalan raya, suami sudah tak bisa mengendalikan laju motor yang
terlanjur oleng. Lalu kami pun jatuh ke sisi kanan. Kejadian itu berlangsung sangat
cepat. Kami benar-benar tak bisa menghindar. Yang kuingat saat itu aku jatuh
dan berguling sekali lalu mendarat dalam posisi telungkup, namun helm masih
melekat di kepalaku. Saat masih telungkup ada sebongkah darah yang jatuh ke
kaca helm dari area mata aku. Seketika aku langsung beristigfar tak henti-henti,
dalam pikiranku saat itu bola mata kananku lah yang jatuh ke kaca helm.
Badanku terasa sakit semua, sementara dalam hati dan
pikiranku kalut tak karuan. Ya Allah sebegitu banyakkah dosa mataku, hingga Engkau
mengambilnya satu, kenangku dalam hati. Aku masih terus berusaha beristigfar
sebanyak mungkin. Sementara sayup kudengar suara suami mendekat
memanggil-manggiku. Setelah jarak kami sangat dekat, dia mencoba membalikkan
badanku dibantu oleh beberapa pengendara lain yang juga ikut berhenti karena
kami jatuh. Sesaat setelah posisiku terlentang, reflek suami langsung
beristigfar dengan keras, “Ya Allah Bunda, mata Bunda....!!!”. Mendengar
ucapannya jantungku semakin berdegup kencang, Ya Allah benarkah engkau
mengambil satu mataku. Berbagai pikiran buruk berkelebat dalam benakku, sementara
itu suami dibantu beberapa orang mengangkat tubuhku ke dalam mobil taksi yang
kebetulan lewat untuk segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Pikiranku semakin
tak karuan memikirkan segala kemungkinan yang terjadi, akankah aku benar-benar
kehilangan satu mataku, akankah ke depan aku hanya akan melihat dengan mata
kiriku, Ya Allah bagaimana ini, kegelisahanku semakin bertambah diringi suami
yang mulai terisak saat mendekapku dipangkuannya dalam mobil taksi. Belum
pernah aku melihatnya menangis seperti itu. Ia menangis sambil terus meminta
maaf kepadaku, “Maafin Ayah, Bunda maafin Ayah,” begitu dia terus mengulang
kata-katanya yang membuatku semakin yakin bahwa sesuatu yang cukup parah dan
serius terjadi pada mataku. Aku hanya diam, tak bisa berkata apa-apa, dan
rasanya aku juga tak punya cukup kekuatan untuk berkata-kata saat itu.
Tak berapa
lama kami tiba di Rumah Sakit Hermina Depok, kami langsung menuju UGD, aku
dipindahkan oleh beberapa orang petugas rumah sakit ke dipan rumah sakit. Saat
turun dari mobil taksi, masih sempat kudengar suami bertanya pada supir taksi
berapa tarif yang harus dibayar, tapi pak supir itu tak mau dibayar, mungkin
merasa kasihan juga melihat kondisi kami saat itu. Perlahan aku digeledek oleh
beberapa perawat RS menuju ruang UGD, sayup kudengar mereka menanyakan suami
beberapa pertanyaan perihal kronologis kejadian, satu-persatu dijawab suami
dengan tenang. Hingga sampai pada pertanyaan, BPJS ya Pak? Dan ya setelah itu kami
ditinggal, karena prosedur BPJS untuk pasien kecelakaan lalu lintas, pihak RS
tidak bisa memberikan perawatan apapun sebelum ada Surat Keterangan Kecelakaan
dari Kantor Kepolisian terdekat. Lalu kami hanya bisa menunggu, hingga dokter
UGDnya datang untuk melihat kondisiku, perlahan ia mengecek dan langsung bilang
bahwa keadaan luka sepertiku tidak bisa untuk dirawat di rumah sakit ini,
karena memerlukan tindakan operasi plastik, dan menurut mereka RS Hermina tidak
memiliki tenaga ahli untuk bedah plastik.
Jadilah aku
dan suami dilanda kebimbangan dan kecemasan lainnya, lalu apa yang harus kami
lakukan dokter? Tanya suami saat itu. Aku harus dirujuk ke rumah sakit pusat,
ke RSCM atau RS Fatmawati. Sementara aku dan suami masih belum mendapat
pertolongan pertama karena Surat Keterangan Kecelakaan yang masih belum ada di
tangan. Akhirnya suami menelepon suaminya pengasuh anak-anak di rumah, minta tolong
untuk mengurus surat kecelakaannya ke kantor kepolisian terdekat, karena lokasi
kecelakaan yang tak jauh dari rumah. Suami tak bisa mengurusnya sendiri karena
tak mungkin meninggalkanku sendirian.
Waktu hampir
menunjukkan pukul 10.00 WIB tapi masih belum ada tanda-tanda surat itu datang.
Akhirnya suami memutuskan untuk perawatan pertolongan pertamaku di RS ini tanpa
biaya BPJS karena tak pasti menunggu sampai kapan, dan kasihan juga melihat
kondisiku. Sebelumnya suami juga telah melakukan perawatan langsung sendiri
tanpa BPJS, karena ternyata juga terdapat beberapa luka lecet yang cukup lebar
di tangan dan kakinya.
Dramanya tak
sampai disitu saja, RSCM ataupun RS Fatmawati tak bisa menerima kiriman pasien
UGD semudah itu saja, mengingat mereka juga kepenuhan dengan pasen UGD yang
entah dari mana bahkan seluruh Indonesia. Alhasil RSCM langsung menolak, dan
menyarankan untuk langsung datang keesokan harinya ke klinik mata karena
mendengar luka robekan terjadi di area sekitar mata. Akhirnya petugas UGD RS
Hermina berusaha menghubungi UGD RS Fatmawati, sekaligus mengirimkan foto
kondisi kelopak mata bawahku yang robek parah. Tadinya mereka juga sempat keberatan,
tapi syukurlah mereka tetap menerima untukku bisa dirujuk setelah melihat foto
kelopak mataku yang entah telah bagaimana rupa. Namun Kepela UGD RS. Fatmawati
langsung mewanti-wanti agar kami tak menuntut untuk langsung dapat kamar inap,
karena kondisi UGD mereka yang juga sedang kelebihan pasien, karena manusia
yang sedang dalam keadaan sakit juga membludak. Alhamdulillah, aku dan suami
tak begitu memikirkan kamar saat itu, sudah bisa diterima untuk dirujuk saja
kami sudah sangat bersyukur, dengan begitu berarti sakit yang aku alami akan
bisa segera mendapatkan tindakan perawatan.
Masih sambil
menunggu Surat Keterangan Kecelakaan, kulihat suami sibuk mondar mandir kesana
kemari, menelepon pengasuh dirumah untuk mempersiapkan beberapa pakaian gantiku
untuk menginap, dia juga pamit sebentar untuk persi ke ATM mengambil beberapa
rupiah untuk ditinggal buat pengasuh sebagai bekal anak-anak selama kami di
rumah sakit.
Sendiri,
memandangi langit-langit ruangan rumah sakit, memikirkan kemungkinan terburuk
yang akan terjadi pada muka dan mataku, barangkali akan ada bekas luka yang
menganga, aku pasrah, terdiam, menahan air mata yang hendak tumpah, menguatkan
hati, bersyukur Allah tak mengambil bola mata kananku, masih menjaga
penglihatanku meski sudah begitu banyak dosa yang telah dilakukan mata ini.
Kucoba menutup mata kiriku dengan telapak tangan, ternyata aku masih bisa
melihat dengan mata kananku, meski samar seperti ada guratan darah yang
menghalangi di depan mataku. Terngiang wajah suami saat tadi kutanya apakah
lukaku cukup parah? Dia hanya mengangguk pelan. Aku menarik nafas panjang,
masih terus beristigfar dalam hati, mengingat-ingat dan menghitung hitung dosa
yang begitu banyak hingga Allah tegur dengan cara seperti. Astagfirullah.
Untuk bisa
dirujuk ke RS. Fatmawati, mereka hanya bisa menerima melalui prosedur resmi,
melalui ambulans dan adanya petugas yang mengurus administrasi perihal rujukan.
Masalah lainnya timbul, RS. Hermina tak menyediakan ambulans untuk rujukan ke RS.Fatmawati,
sehingga mereka merekomendasikan jasa ambulans namun dengan biaya sendiri.
Lumayan mahal, tapi tak apa, tak ada jalan lain, aku ada suami hanya ingin semuanya
cepat-cepat teratasi. Alhamdulillah rasanya, kami masih diberi rezeki oleh
Allah untuk mampu membayar biaya ambulans tersebut, terbayang bagaimana jika
kasus seperti ini terjadi pada mereka orag kecil yang justrus tak bisa
menyediakan biaya sebesar itu dalam waktu singkat, entah apa yang akan mereka
lakukan. Ya Allah, yang pasti semuanya sudah Engkau atur.
Tepat pukul
13.30 WIB, baru lah semua administrasi beres, hingga pas ambulans datang kami
langsung berangkat menuju RS. Fatmawati. Lagi, aku digledek di lorong RS, dan
semua mata memperhatikanku. Aku pasrah,
sambil sesekali membayangkan apa yang sedang ada dibenak mereka melihat
kondisiku sekarang.
“Ngiung-ngiung”
suara mobil ambulans mulai nyaring membelah jalan raya, ditengah kemacetan ibu
kota, selalu ada saja jiwa-jiwa tulus yang memberikan pertolongan. Di depan
mobil tiba-tiba saja dua pengendara motor mencoba membelah kemacetan untuk
memberikan kami jalan, meminta mobil dan motor yang menghalangi jalan untuk
sedikit menepi memberi ruang agar ambulan tetap melaju kencang. Entah siapa,
kami pun tak tahu, yang jelas Allah mengirimkan mereka sebagai salah satu jalan
agar kami dapat segera sampai di Rumah Sakit tempat tujuan.
Tiba di RS.
Fatmawati, aku kembali digledek ke ruang UGD, bersama beberapa pasien lain yang
juga baru datang. Belum ada kamar yang kosong sehingga kami masih menunggu di
ruang pemeriksaan UGD, ada 4 ranjang dalam ruangan dan telah terisi semua. Perawat
melakukan pemeriksaa umum padaku, mengecek tekanan darah dan bertanya tentang
tindakan apa saja yang telah kuterima di rumah sakit sebelumnya. Dan aku masih
diminta menunggu, menunggu kamar rawat inap ada yang kosong, dan menunggu kabar
dari Dokter spesialis bedah plastik mengkonfirmasi jadwal kapan dia bisa
melakukan tindakan operasi terhadap kantung mataku. Selang beberapa lama,
seorang dokter yang merupakan pengajar di Universitas Indonesia datang
menghampiriku, bersama segerombolan mahasiswanya, mengecek keadaan mataku
sekaligus memberikan pengajaran kepada para mahasiswa, lalu pergi berlalu.
Malam
semakin larut, malam ini kami terpaksa bermalam di ruang UGD tersebut. Samar
kuperhatikan si suami sibuk mondar mandir mengurus keperluanku dan administrasi
rumah sakit, sambil kakinya berjalan tertengklak-tengklak, betapa tidak, paha
kanannya mendapati luka koyak yang cukup luas, kulitnya habis terkelupas
tergesek aspal. Sabar ya sayang, bisikku dalam hati bercampur pilu. Syukurlah
tak berapa lama, perawat mengabarkan bahwa dokter spesialis bedah plastiknya
bersedia meluangkan waktu untuk mengoperasiku besok pagi-pagi sekali, ditengah
jadwal operasinya yang sudah terisi penuh. Kabarnya ia juga merasa kasihan
melihat foto kelopak mataku yang sudah terkoyak kemana-mana. Akhirnya sang
dokter memberikan jadwal darurat, karena menurutnya luka seperti di mataku tak
bisa menunggu lama hingga jadwal yang kudapat seharusnya, yaitu 4 hari kedepan.
Lagi-lagi semuanya berkat pertolongan Allah, kami diberikan jalan keluar dan
berbagai kemudahan-kemudahan atas musibah ini.
Malam itu
juga aku diminta untuk periksa rontgen di bagian dada, agar esok paginya bisa
langsung dioperasi. Saat itu, aku merasakan kebaikan petugas-petugas Rumah
sakit yang katanya galak kepada pasien terutama pasien BPJS, tapi bagiku tidak.
Salah seorang perawat bahkan sampai mencarikanku pampers untuk buang air kecil karena
suamiku masih sibuk mengurus administrasi rumah sakit. Tak hanya itu, dia juga
membantu memakaikannya. Masih tanpa suami yang saat itu entah berada dimana,
seorang perawat lainnya membawaku ke ruang lainnya di UGD, disana ia dan
seorang dokter membersihkan luka di mataku, lalu menjahit sementara ujung
kelopak mataku yang robek keujung lainnya sambil menunggu operasi keesokan
harinya. Berkali-kali setiap perawat dan
dokter yang menanganiku bertanya hal yang sama, bagaimana bisa terjadi sampai
seperti ini? Dan jawabanku selalu sama, “tidak tahu”. Sambil menjahit kelopak
mataku, mereka sambil mendiskusikan tentang saluran airmataku bagian bawah yang
rusak dan sobek. Aku hanya bisa terdiam, masih memikirkan kondisi terburuk,
tapi tetap bersyukur karena telah menemukan titik terang bahwa penantian
tentang tindakan apa yang harus dilakukan pada mataku, dan kapan waktunya telah
terjawab, sehingga ada perasaan sedikit lega.
Pukul 11.00
WIB, Bapak mertuaku datang membesuk, jauh-jauh dari Jepara. Tadinya beliau
bersama ibu mertua rencananya akan menemani adik iparku untuk lahiran anak
keduanya, tapi apa daya karena musibah ini beliau langsung naik kereta
pagi-pagi menuju Jakarta untuk menemani kami. “Yang sabar ya!” begitu selalu
kata beliau. Malam itu rasanya adalah malam terpanjang yang kulalui. Seluruh
badan rasanya perih, luka disana-sini terutama di punggung tangan kanan yang
nyut-nyut nyeri luar biasa, karena kulit dan daging pembalut tulangnya habis
terkikis aspal, tulang di pangkal jari tengah sampai terlihat. Mataku sulit
terpejam demi menahan rasa sakit. Kuperhatikan suami yang terbaring di lantai
disisi kananku, tertidur, tapi kutahu dia juga menahan rasa nyeri yang tak
kalah sama. Aku kembali mencoba beristigfar berkali-kali sebanyak yang aku
bisa, saat itu aku berharap semoga Allah mengampuni segala dosa, dosa yang
menggunung hingga sampai Allah menegur dengan kecelakaan ini. Lagi, kupanjatkan
shalawat berulang-ulang pada baginda Rasullullah, Nabi Muhammad SAW, berharap Allah
mengabulkan dan memberi jalan kemudahan dan kelancaran bagi kami setelah ini,
setidaknya begitulah yang kudengar dari ceramah-ceramah tentang membacakan
shalawat sebelum memanjatkan keinginan. Dan malam terasa semakin panjang.
Sesekali
suami membantuku minum disela lelapnya saat ia terbangun, hingga akhirnya subuh
menjelang. Lagi, suami membantuku untuk tayamum dan menutupi rambutku dengan
jilbab seadanya. Perasaanku mulai takut dan was-was. Akankah semuanya baik-baik
saja saat operasi nanti, perasaan yang sulit untuk kuuraikan, ah....entahlah.
Disampingku, suami selalu berusaha menguatkan meski dia sendiri masih merasa
kesakitan. Lagi dia kembali membisikkan, “tenanglah, apapun yang akan terjadi
nanti, aku akan menerimamu apa adanya, dan aku tak akan menyinggung soal gendut
lagi”. Aku tersenyum demi mendengar kalimat terakhirnya.
Menjelang
pukul 06.30 WIB, dua orang perawat datang menghampiri kami, memintaku untuk
mengganti pakaian untuk operasi, setelah itu mereka menggeledekku melewati beberapa
lorong, menaiki lift, melewati lorong lagi sambil berlari seperti adegan-adegan
dalam drama korea Descendant of The Sun. Ternyata benar beginilah adanya,
mereka berpacu dengan waktu untuk setiap tindakan terhadap pasien, karena
saking banyaknya pasien yang masih mengantri membutuhkan perawatan dan
tindakan.
Di depan
pintu ruang operasi, seorang dokter cantik menghampiriku bersama beberapa
dokter lainnya. Dia menatap wajahku sebentar, lalu bertanya pertanyaan yang
sama lagi dengan petugas-petugas rumah sakit sebelumnya, “kok bisa sampai
begini Bu?”, dan aku masih memberikan jawaban yang sama pula, “tidak tau
dokter”. Lalu sang dokter menghampiri suamiku, “Saya perbaiki semampu saya ya
pak, tapi mungkin nanti akan ada bekasnya,” ucap dokter perempuan yang cukup
berumur tapi masih terlihat sangat cantik itu. “Ga apa-apa dokter, saya sudah
ikhlas, terima istri saya dokter, yang penting istri saya bisa dioperasi dan
sehat kembali,” balas si suami.
Memasuki
ruang operasi, aku dikelilingi beberapa dokter dan perawat, sang dokter cantik
menutup mata kiriku dengan tangannya lalu, mencoba mengetes penglihatan mata
kananku, “ini berapa?” tanyanya sambil mengacungkan dua jarinya, lalu tiga
jari, terakhir satu jari. Dan aku mampu menjawab itu semua dengan cepat, yang
menandakan tidak ada yang salah dengan penglihatanku, sehingga dokter bisa
fokus untuk melakukan bedah plastik pada kelopak mataku. Semuanya lalu dimulai,
tiba-tiba saja aku merasa sangat mengantuk, samar kudengar sang dokter
memintaku untuk rileks dan menarik nafas panjang, hingga satu detik, dua detik, dan beberapa
detik setelah itu aku tak tau apa yang terjadi, aku terbius pada lelap yang
dalam, pekat dan hitam.
Entah telah
lewat berapa lama, dalam kesadaran yang masih separuh, dokter cantik tadi
berusaha membangunkanku. Dalam samar kudengar dia berkata tentang efek samping
pusing yang akan kurasakan setelah ini. Dengan sigap dua orang perawat kembali
menggeledek ranjangku untuk menuju ruang rawat inap, ditemani suami yang
membuntuti di samping ranjangku. Kembali melewati beberapa lorong yang kulihat
dengan mata setengah terpejam.
Sesampainya
di ruang rawat inap, jam telah menunjukkan pukul 11.00 WIB, ternyata hampir 4
jam aku menghabiskan waktu di dalam kamar operasi. Kepala Perawat langsung
menghampiri suami, tanpa basa basi ia langsung meminta suami untuk melengkapi
berkas BPJS sambil berkata, “Biar besok sudah bisa pulang Pak!”. Aku dan suami
saling bertatapan bingung, baru saja selesai melakukan operasi dan menginjakkan
kaki di ruang rawat inap, kami sudah langsung disuruh untuk bersiap-siap pulang.
Spontan suami menjawab si perawat, “Tapi tadi dokter bilang pada kami akan
visit kontrol pada hari Kamis suster (berarti dua hari ke depan)”. “Yang
penting urus BPJSnya dulu aja Pak,” balas sang perawat. Lalu kami berdua hanya terdiam, tiba-tiba
suami nyeletuk, apakah karena saking banyaknya pasien yang sakit dan
membutuhkan ruang perawatan, sehingga pasien tak perlu berlama-lama untuk
menginap, hehe.
“Sudah, ga
usah terlalu dipikirkan,” ucap suami menenangkan, “Kan tadi Dokternya bilang
baru bisa kontrol dua hari lagi,” ucapnya lagi. Aku hanya diam lagi, malam yang
panjang kembali datang. Pikiranku jauh melayang membayangkan dua bocah kecil
yang tanpa kedua orang tuanya. Saat
kutanya kabar anak-anak pada suami, dia hanya menjawab singkat mereka baik-baik
saja dan memintaku tak usah banyak pikiran dan fokus untuk pemulihan saja.
Belakangan aku tahu bahwa ia berbohong agar aku tak kepikiran, ternyata adek
nangis terus seharian, perutnya keras, dan tak mau makan. Aku menangis demi
mendegar kabar itu setelah memaksanyanya mengaku setelah menerima telepon dari
pengasuh di rumah. Suami panik, memintaku agar tak menangis, karena tak tau apa
yang akan terjadi jika luka operasi kelopak mataku basah kena air mata. Aku
lalu menahan isak, menahan tangis, berusaha mengelap air mata yang membasahi
perban di bawah mata. Pikiranku kembali melayang pada anak-anak, si sulung yang
sedang batuk pilek saat kami tinggalkan, dan adek yang rewel tak mau makan
seharian, sungguh aku ingin segera pulang, berada di samping mereka.
Saat pagi
menjelang, kubawa diri sesekali mengobrol dengan pasien sebelah. Aku mendapat
ruang perawatan kelas II dengan kapasitas 5 orang dalam satu kamar. Untungnya
aku mendapat tempat tepat disamping toilet, sehingga cukup memudahkan untuk
bolak-balik BAK dan berwudhu, terlebih karena aku masih membutuhkan bantuan
suami yang memapah saat berjalan ke kamar mandi karena beberapa luka lecet di
lutut dan kaki yang membuatku kesulitan untuk berjalan. Disanalah sungguh
terasa kesabaran dan keiklhasan suami dalam merawatku selama sakit. Membawakan tabung infus, membantuku berwudhu
bahkan menyikat gigiku. I Love You Full suamiku, hehe.
Pasien lain
yang sekamar denganku datang dengan penyakit yang cukup parah semua. Salah
seorang wanita paruh baya yang baru saja selesai dioperasi pengangkatan
payudara karena kangker yang telah menjalar, tapi dia terlihat sangat
bersemangat dan wajahnya ceria. Yang lain sorang ibu tua yang baru selesai
operasi sinus di hidungnya karena telah menutupi saluran pernafasannya. Yang
lain lagi seorang wanita muda yang bermasalah dengan pankreasnya sedang
menunggu jadwal operasi, sejak semalam ia menangis merintih kesakitan ditemani
ibu dan suaminya yang kadang terlihat sudah tak sabar dengan tangisan sang
istri yang terus-menerus, seringkali ia keluar ruangan membiarkan istrinya
hanya ditemani sang ibu yang terlihat sering kebingungan. Ya Allah, diantara
mereka mungkin penyakitkulah yang paling ringan. Dalam hati aku berpikir,
mungkin Allah sengaja mempertemukanku dengan orang-orang ini untuk
memperlihatkan bahwa sakit yang kualami saat ini sungguh tak seberapa dibanding
mereka, agar kami lebih bersyukur. Astagfirullah.
Sepanjang
siang, kami habiskan dengan menerima kunjungan dari keluarga dan teman-teman
kantor, betapa tak ada yang lebih membahagiakan bagi orang yang sakit dari pada
perhatian dan doa dari orang-orang sekitar. Menunjukkan bahwa betapa baiknya
rekan-rekan kerja selama ini sementara kami kadang jarang menyambung
silaturrahmi.
Keesokan
harinya, saat dokter visit, aku langsung diperbolehkan pulang setelah sang
dokter membuka perban di bawah mataku. Ia lalu memintaku untuk mencuci bersih
luka setiap hari dan mengolesi salep hingga pertemuan kontrol di minggu
berikutnya. Betapa bahagianya aku saat itu, artinya sebentar lagi akan bertemu
anak-anak setelah empat hari kami tinggal, dan sekarang tinggal menunggu proses
pemulihan. Rasanya lega sekali, setidaknya satu tahap terlalui. Sore itu kami
pulang ditemani adik laki-laki suami, sementara Bapak Mertua menunggu di rumah
sambil main dengan anak-anak.
Sesampainya
di rumah, semuanya terasa sepi. Anak-anak sedang main di rumah pengasuhnya sore
itu. Aku langsung beristirahat di kamar karena gerak yang masih terbatas.
Tiba-tiba Adlan berlari ke kamar hendak menemuiku karena tahu kedua orang
tuanya sudah pulang. “Bundaaaa!!” teriaknya terdengar nyaring dari dalam kamar.
Namun tiba-tiba kakinya terhenti tepat di depan pintu kamar demi melihat
wajahku yang cukup mengerikan, lebam yang mulai kehitaman, serta dua lapis
bekas jahitan di kelopak bawah mata kanan, lengkap dengan benang jahitan
berwarna hijau tua yang berjejer rapi. Adlan lalu berteriak memanggil ayahnya,
ketakutan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ayahnya berusaha menenangkan dan
memberi pengertian bahwa Bunda sedang sakit, tapi Adlan tetap tak mau berhenti
menangis, “Ga mau sama Bunda!” teriaknya di sela isak. Disambung dengan
tangisan adek yang tak henti karena memang kurang sehat. Dia tenggelam dalam
pelukan si pengasuh, aku tak berani mendekatinya, takut kalau-kalau ia juga
ketakutan melihat wajahku seperti Adlan, lagi pula aku belum bisa
menggendongnya dengan luka di tangan dan kakiku. Hatiku patah, mengiringi
teriakan kedua si buah hati, aku tak kuasa menahan isak di dalam kamar,
sendirian, pilu, dan terluka.
Adlan bahkan
jadi tak mau masuk ke dalam rumah karena terus dipaksa ayahnya untuk menemuiku.
Dia ingin tidur bersama pengasuhnya lagi saja malam ini katanya. Cukup lama hingga
ayahnya berhasil membujuknya untuk tidur di ruang tamu bersama ayah malam ini,
tidak di kamar bersamaku seperti biasa. Adlan baru mau tidur di kamar lagi
setelah hampir seminggu Ayah membujuknya untuk tak perlu takut melihat wajah
bunda, lama-lama wajah bunda nanti akan sembuh.
Proses
pemulihannya cukup lama juga ternyata, seminggu setelah operasi kami pergi ke
rumah sakit lagi untuk membuka jahitan luar. Dokter cantik itu mengomel karena menurutnya
aku tidak mencuci bersih luka jahitannya dengan benar, sehingga kulit matinya
tak terangkat. Aku lalu diminta untuk rajin mengompres lukanya dengan air
hangat. Namun yang terjadi setelah itu semakin hari kelopak mataku semakin
membengkak, hingga pembengkakan maksimal, lembek seperti berisi air padahal
tidak. Aku dan suami mulai cemas, pasalnya menjelang tiga minggu bengkaknya tak
terlihat berkurang sedikitpun, belum lagi dengan omongan dan spekulasi
orang-orang sekitar yang membuat kami semakin cemas, hingga sampai pada jadwal
kontrol selanjutnya kusampaikan kekhawatiranku pada sang dokter. Spontan dia
berkata “Ibu ga usah banyak dengar kata-kata orang, yang tahu bagaimana luka
ibu itu Ibu sendiri dan saya, ibu lihat kan gimana lukanya kemarin dalam
banget, jadi wajar aja pemulihannya lama bu, untuk kasus seperti ibu biasanya
baru sekitar setahun akan terlihat normal kembali, yang penting rajin dikompres
aja bu.” Ucapan sang dokter cukup mengurangi beban di hati kami saat itu.
Bersyukur bahwa tak ada yang serius yang perlu dikhawatirkan, hanya cukup
bersabar untuk proses pemulihan. Terima kasih Ya Allah, Engkau masih memberikan
jalan.
*Mengenang kejadian 2 Juli 2018
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar