Pages

Senin, 30 September 2019

Bekas Luka

Posted by Ulvina Haviza On 01.12 No comments


Bekas luka, aku mendapatkannya karena jatuh dari motor saat hendak berangkat ke kantor, berboncengan dengan suami. Hari itu adalah hari yang berat. Pagi yang terasa berbeda dari biasanya. Aku sungguh merasa enggan untuk berangkat ke kantor, karena sudah yakin tak akan ada solusi atas permasalahan tentang pekerjaan yang sedang kuhadapi saat ini. Sudah sejak beberapa malam sebelumnya aku mengeluhkan hal ini pada suami, hampir setiap hari. Tapi ya bisa apa, mau tak mau aku tetap berangkat untuk melakukan pelaporan hari itu, karena masalah yang muncul sudah semakin pelik.

Sedari pagi mukaku muram, pikiranku tak karuan. Pagi itu dengan memelas aku meminta diantar suami, kupikir setidaknya sepanjang perjalanan aku masih punya teman mengobrol sambil mengumpulkan keberanian, dan setidaknya mengurangi kengganan dan ketegangan.
Akhirnya aku berangkat juga, setelah mengecup kening dan pipi dua bocah kecil. Masih dengan langkah yang lemah, masih banyak bermenung sambil otak masih berpikir keras. Perlahan aku duduk di boncengan motor yang dikemudikan suami, sampai-sampai lupa membaca doa keluar rumah hari itu, tak seperti biasanya, entah kenapa.
Disitulah mula malapetakanya. Kami berdua berangkat dengan hati yang sama-sama gelisah, sama-sama tak tenang, sampai-sampai untuk membaca doa keluar rumahpun kami sama-sama melupakannya. Hingga selang tak berapa lama, tak jauh dari rumah, saat baru beberapa menit kami mengendarai motor, suami melindas lubang yang cukup curam di tengah jalan. Posisinya saat itu kami sedang berada di belakang mobil, dan suami tiba-tiba kaget melihat lubang di depannya karena sebelumnya tertutup kolong mobil. Dan ya, tak sempat menghindar, kami melindas lubang itu.
Motor yang kami kendarai sempat agak terlompat ke atas, saat mendarat lagi di jalan raya, suami sudah tak bisa mengendalikan laju motor yang terlanjur oleng. Lalu kami pun jatuh ke sisi kanan. Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Kami benar-benar tak bisa menghindar. Yang kuingat saat itu aku jatuh dan berguling sekali lalu mendarat dalam posisi telungkup, namun helm masih melekat di kepalaku. Saat masih telungkup ada sebongkah darah yang jatuh ke kaca helm dari area mata aku. Seketika aku langsung beristigfar tak henti-henti, dalam pikiranku saat itu bola mata kananku lah yang jatuh ke kaca helm.
Badanku terasa sakit semua, sementara dalam hati dan pikiranku kalut tak karuan. Ya Allah sebegitu banyakkah dosa mataku, hingga Engkau mengambilnya satu, kenangku dalam hati. Aku masih terus berusaha beristigfar sebanyak mungkin. Sementara sayup kudengar suara suami mendekat memanggil-manggiku. Setelah jarak kami sangat dekat, dia mencoba membalikkan badanku dibantu oleh beberapa pengendara lain yang juga ikut berhenti karena kami jatuh. Sesaat setelah posisiku terlentang, reflek suami langsung beristigfar dengan keras, “Ya Allah Bunda, mata Bunda....!!!”. Mendengar ucapannya jantungku semakin berdegup kencang, Ya Allah benarkah engkau mengambil satu mataku. Berbagai pikiran buruk berkelebat dalam benakku, sementara itu suami dibantu beberapa orang mengangkat tubuhku ke dalam mobil taksi yang kebetulan lewat untuk segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Pikiranku semakin tak karuan memikirkan segala kemungkinan yang terjadi, akankah aku benar-benar kehilangan satu mataku, akankah ke depan aku hanya akan melihat dengan mata kiriku, Ya Allah bagaimana ini, kegelisahanku semakin bertambah diringi suami yang mulai terisak saat mendekapku dipangkuannya dalam mobil taksi. Belum pernah aku melihatnya menangis seperti itu. Ia menangis sambil terus meminta maaf kepadaku, “Maafin Ayah, Bunda maafin Ayah,” begitu dia terus mengulang kata-katanya yang membuatku semakin yakin bahwa sesuatu yang cukup parah dan serius terjadi pada mataku. Aku hanya diam, tak bisa berkata apa-apa, dan rasanya aku juga tak punya cukup kekuatan untuk berkata-kata saat itu.
Tak berapa lama kami tiba di Rumah Sakit Hermina Depok, kami langsung menuju UGD, aku dipindahkan oleh beberapa orang petugas rumah sakit ke dipan rumah sakit. Saat turun dari mobil taksi, masih sempat kudengar suami bertanya pada supir taksi berapa tarif yang harus dibayar, tapi pak supir itu tak mau dibayar, mungkin merasa kasihan juga melihat kondisi kami saat itu. Perlahan aku digeledek oleh beberapa perawat RS menuju ruang UGD, sayup kudengar mereka menanyakan suami beberapa pertanyaan perihal kronologis kejadian, satu-persatu dijawab suami dengan tenang. Hingga sampai pada pertanyaan, BPJS ya Pak? Dan ya setelah itu kami ditinggal, karena prosedur BPJS untuk pasien kecelakaan lalu lintas, pihak RS tidak bisa memberikan perawatan apapun sebelum ada Surat Keterangan Kecelakaan dari Kantor Kepolisian terdekat. Lalu kami hanya bisa menunggu, hingga dokter UGDnya datang untuk melihat kondisiku, perlahan ia mengecek dan langsung bilang bahwa keadaan luka sepertiku tidak bisa untuk dirawat di rumah sakit ini, karena memerlukan tindakan operasi plastik, dan menurut mereka RS Hermina tidak memiliki tenaga ahli untuk bedah plastik.
Jadilah aku dan suami dilanda kebimbangan dan kecemasan lainnya, lalu apa yang harus kami lakukan dokter? Tanya suami saat itu. Aku harus dirujuk ke rumah sakit pusat, ke RSCM atau RS Fatmawati. Sementara aku dan suami masih belum mendapat pertolongan pertama karena Surat Keterangan Kecelakaan yang masih belum ada di tangan. Akhirnya suami menelepon suaminya pengasuh anak-anak di rumah, minta tolong untuk mengurus surat kecelakaannya ke kantor kepolisian terdekat, karena lokasi kecelakaan yang tak jauh dari rumah. Suami tak bisa mengurusnya sendiri karena tak mungkin meninggalkanku sendirian.
Waktu hampir menunjukkan pukul 10.00 WIB tapi masih belum ada tanda-tanda surat itu datang. Akhirnya suami memutuskan untuk perawatan pertolongan pertamaku di RS ini tanpa biaya BPJS karena tak pasti menunggu sampai kapan, dan kasihan juga melihat kondisiku. Sebelumnya suami juga telah melakukan perawatan langsung sendiri tanpa BPJS, karena ternyata juga terdapat beberapa luka lecet yang cukup lebar di tangan dan kakinya.
Dramanya tak sampai disitu saja, RSCM ataupun RS Fatmawati tak bisa menerima kiriman pasien UGD semudah itu saja, mengingat mereka juga kepenuhan dengan pasen UGD yang entah dari mana bahkan seluruh Indonesia. Alhasil RSCM langsung menolak, dan menyarankan untuk langsung datang keesokan harinya ke klinik mata karena mendengar luka robekan terjadi di area sekitar mata. Akhirnya petugas UGD RS Hermina berusaha menghubungi UGD RS Fatmawati, sekaligus mengirimkan foto kondisi kelopak mata bawahku yang robek parah. Tadinya mereka juga sempat keberatan, tapi syukurlah mereka tetap menerima untukku bisa dirujuk setelah melihat foto kelopak mataku yang entah telah bagaimana rupa. Namun Kepela UGD RS. Fatmawati langsung mewanti-wanti agar kami tak menuntut untuk langsung dapat kamar inap, karena kondisi UGD mereka yang juga sedang kelebihan pasien, karena manusia yang sedang dalam keadaan sakit juga membludak. Alhamdulillah, aku dan suami tak begitu memikirkan kamar saat itu, sudah bisa diterima untuk dirujuk saja kami sudah sangat bersyukur, dengan begitu berarti sakit yang aku alami akan bisa segera mendapatkan tindakan perawatan.
Masih sambil menunggu Surat Keterangan Kecelakaan, kulihat suami sibuk mondar mandir kesana kemari, menelepon pengasuh dirumah untuk mempersiapkan beberapa pakaian gantiku untuk menginap, dia juga pamit sebentar untuk persi ke ATM mengambil beberapa rupiah untuk ditinggal buat pengasuh sebagai bekal anak-anak selama kami di rumah sakit.
Sendiri, memandangi langit-langit ruangan rumah sakit, memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada muka dan mataku, barangkali akan ada bekas luka yang menganga, aku pasrah, terdiam, menahan air mata yang hendak tumpah, menguatkan hati, bersyukur Allah tak mengambil bola mata kananku, masih menjaga penglihatanku meski sudah begitu banyak dosa yang telah dilakukan mata ini. Kucoba menutup mata kiriku dengan telapak tangan, ternyata aku masih bisa melihat dengan mata kananku, meski samar seperti ada guratan darah yang menghalangi di depan mataku. Terngiang wajah suami saat tadi kutanya apakah lukaku cukup parah? Dia hanya mengangguk pelan. Aku menarik nafas panjang, masih terus beristigfar dalam hati, mengingat-ingat dan menghitung hitung dosa yang begitu banyak hingga Allah tegur dengan cara seperti. Astagfirullah.
Untuk bisa dirujuk ke RS. Fatmawati, mereka hanya bisa menerima melalui prosedur resmi, melalui ambulans dan adanya petugas yang mengurus administrasi perihal rujukan. Masalah lainnya timbul, RS. Hermina tak menyediakan ambulans untuk rujukan ke RS.Fatmawati, sehingga mereka merekomendasikan jasa ambulans namun dengan biaya sendiri. Lumayan mahal, tapi tak apa, tak ada jalan lain, aku ada suami hanya ingin semuanya cepat-cepat teratasi. Alhamdulillah rasanya, kami masih diberi rezeki oleh Allah untuk mampu membayar biaya ambulans tersebut, terbayang bagaimana jika kasus seperti ini terjadi pada mereka orag kecil yang justrus tak bisa menyediakan biaya sebesar itu dalam waktu singkat, entah apa yang akan mereka lakukan. Ya Allah, yang pasti semuanya sudah Engkau atur.
Tepat pukul 13.30 WIB, baru lah semua administrasi beres, hingga pas ambulans datang kami langsung berangkat menuju RS. Fatmawati. Lagi, aku digledek di lorong RS, dan semua  mata memperhatikanku. Aku pasrah, sambil sesekali membayangkan apa yang sedang ada dibenak mereka melihat kondisiku sekarang.
“Ngiung-ngiung” suara mobil ambulans mulai nyaring membelah jalan raya, ditengah kemacetan ibu kota, selalu ada saja jiwa-jiwa tulus yang memberikan pertolongan. Di depan mobil tiba-tiba saja dua pengendara motor mencoba membelah kemacetan untuk memberikan kami jalan, meminta mobil dan motor yang menghalangi jalan untuk sedikit menepi memberi ruang agar ambulan tetap melaju kencang. Entah siapa, kami pun tak tahu, yang jelas Allah mengirimkan mereka sebagai salah satu jalan agar kami dapat segera sampai di Rumah Sakit tempat tujuan.
Tiba di RS. Fatmawati, aku kembali digledek ke ruang UGD, bersama beberapa pasien lain yang juga baru datang. Belum ada kamar yang kosong sehingga kami masih menunggu di ruang pemeriksaan UGD, ada 4 ranjang dalam ruangan dan telah terisi semua. Perawat melakukan pemeriksaa umum padaku, mengecek tekanan darah dan bertanya tentang tindakan apa saja yang telah kuterima di rumah sakit sebelumnya. Dan aku masih diminta menunggu, menunggu kamar rawat inap ada yang kosong, dan menunggu kabar dari Dokter spesialis bedah plastik mengkonfirmasi jadwal kapan dia bisa melakukan tindakan operasi terhadap kantung mataku. Selang beberapa lama, seorang dokter yang merupakan pengajar di Universitas Indonesia datang menghampiriku, bersama segerombolan mahasiswanya, mengecek keadaan mataku sekaligus memberikan pengajaran kepada para mahasiswa, lalu pergi berlalu.
Malam semakin larut, malam ini kami terpaksa bermalam di ruang UGD tersebut. Samar kuperhatikan si suami sibuk mondar mandir mengurus keperluanku dan administrasi rumah sakit, sambil kakinya berjalan tertengklak-tengklak, betapa tidak, paha kanannya mendapati luka koyak yang cukup luas, kulitnya habis terkelupas tergesek aspal. Sabar ya sayang, bisikku dalam hati bercampur pilu. Syukurlah tak berapa lama, perawat mengabarkan bahwa dokter spesialis bedah plastiknya bersedia meluangkan waktu untuk mengoperasiku besok pagi-pagi sekali, ditengah jadwal operasinya yang sudah terisi penuh. Kabarnya ia juga merasa kasihan melihat foto kelopak mataku yang sudah terkoyak kemana-mana. Akhirnya sang dokter memberikan jadwal darurat, karena menurutnya luka seperti di mataku tak bisa menunggu lama hingga jadwal yang kudapat seharusnya, yaitu 4 hari kedepan. Lagi-lagi semuanya berkat pertolongan Allah, kami diberikan jalan keluar dan berbagai kemudahan-kemudahan atas musibah ini.
Malam itu juga aku diminta untuk periksa rontgen di bagian dada, agar esok paginya bisa langsung dioperasi. Saat itu, aku merasakan kebaikan petugas-petugas Rumah sakit yang katanya galak kepada pasien terutama pasien BPJS, tapi bagiku tidak. Salah seorang perawat bahkan sampai mencarikanku pampers untuk buang air kecil karena suamiku masih sibuk mengurus administrasi rumah sakit. Tak hanya itu, dia juga membantu memakaikannya. Masih tanpa suami yang saat itu entah berada dimana, seorang perawat lainnya membawaku ke ruang lainnya di UGD, disana ia dan seorang dokter membersihkan luka di mataku, lalu menjahit sementara ujung kelopak mataku yang robek keujung lainnya sambil menunggu operasi keesokan harinya.  Berkali-kali setiap perawat dan dokter yang menanganiku bertanya hal yang sama, bagaimana bisa terjadi sampai seperti ini? Dan jawabanku selalu sama, “tidak tahu”. Sambil menjahit kelopak mataku, mereka sambil mendiskusikan tentang saluran airmataku bagian bawah yang rusak dan sobek. Aku hanya bisa terdiam, masih memikirkan kondisi terburuk, tapi tetap bersyukur karena telah menemukan titik terang bahwa penantian tentang tindakan apa yang harus dilakukan pada mataku, dan kapan waktunya telah terjawab, sehingga ada perasaan sedikit lega.
Pukul 11.00 WIB, Bapak mertuaku datang membesuk, jauh-jauh dari Jepara. Tadinya beliau bersama ibu mertua rencananya akan menemani adik iparku untuk lahiran anak keduanya, tapi apa daya karena musibah ini beliau langsung naik kereta pagi-pagi menuju Jakarta untuk menemani kami. “Yang sabar ya!” begitu selalu kata beliau. Malam itu rasanya adalah malam terpanjang yang kulalui. Seluruh badan rasanya perih, luka disana-sini terutama di punggung tangan kanan yang nyut-nyut nyeri luar biasa, karena kulit dan daging pembalut tulangnya habis terkikis aspal, tulang di pangkal jari tengah sampai terlihat. Mataku sulit terpejam demi menahan rasa sakit. Kuperhatikan suami yang terbaring di lantai disisi kananku, tertidur, tapi kutahu dia juga menahan rasa nyeri yang tak kalah sama. Aku kembali mencoba beristigfar berkali-kali sebanyak yang aku bisa, saat itu aku berharap semoga Allah mengampuni segala dosa, dosa yang menggunung hingga sampai Allah menegur dengan kecelakaan ini. Lagi, kupanjatkan shalawat berulang-ulang pada baginda Rasullullah, Nabi Muhammad SAW, berharap Allah mengabulkan dan memberi jalan kemudahan dan kelancaran bagi kami setelah ini, setidaknya begitulah yang kudengar dari ceramah-ceramah tentang membacakan shalawat sebelum memanjatkan keinginan. Dan malam terasa semakin panjang.
Sesekali suami membantuku minum disela lelapnya saat ia terbangun, hingga akhirnya subuh menjelang. Lagi, suami membantuku untuk tayamum dan menutupi rambutku dengan jilbab seadanya. Perasaanku mulai takut dan was-was. Akankah semuanya baik-baik saja saat operasi nanti, perasaan yang sulit untuk kuuraikan, ah....entahlah. Disampingku, suami selalu berusaha menguatkan meski dia sendiri masih merasa kesakitan. Lagi dia kembali membisikkan, “tenanglah, apapun yang akan terjadi nanti, aku akan menerimamu apa adanya, dan aku tak akan menyinggung soal gendut lagi”. Aku tersenyum demi mendengar kalimat terakhirnya.
Menjelang pukul 06.30 WIB, dua orang perawat datang menghampiri kami, memintaku untuk mengganti pakaian untuk operasi, setelah itu mereka menggeledekku melewati beberapa lorong, menaiki lift, melewati lorong lagi sambil berlari seperti adegan-adegan dalam drama korea Descendant of The Sun. Ternyata benar beginilah adanya, mereka berpacu dengan waktu untuk setiap tindakan terhadap pasien, karena saking banyaknya pasien yang masih mengantri membutuhkan perawatan dan tindakan.
Di depan pintu ruang operasi, seorang dokter cantik menghampiriku bersama beberapa dokter lainnya. Dia menatap wajahku sebentar, lalu bertanya pertanyaan yang sama lagi dengan petugas-petugas rumah sakit sebelumnya, “kok bisa sampai begini Bu?”, dan aku masih memberikan jawaban yang sama pula, “tidak tau dokter”. Lalu sang dokter menghampiri suamiku, “Saya perbaiki semampu saya ya pak, tapi mungkin nanti akan ada bekasnya,” ucap dokter perempuan yang cukup berumur tapi masih terlihat sangat cantik itu. “Ga apa-apa dokter, saya sudah ikhlas, terima istri saya dokter, yang penting istri saya bisa dioperasi dan sehat kembali,” balas si suami.
Memasuki ruang operasi, aku dikelilingi beberapa dokter dan perawat, sang dokter cantik menutup mata kiriku dengan tangannya lalu, mencoba mengetes penglihatan mata kananku, “ini berapa?” tanyanya sambil mengacungkan dua jarinya, lalu tiga jari, terakhir satu jari. Dan aku mampu menjawab itu semua dengan cepat, yang menandakan tidak ada yang salah dengan penglihatanku, sehingga dokter bisa fokus untuk melakukan bedah plastik pada kelopak mataku. Semuanya lalu dimulai, tiba-tiba saja aku merasa sangat mengantuk, samar kudengar sang dokter memintaku untuk rileks dan menarik nafas panjang,  hingga satu detik, dua detik, dan beberapa detik setelah itu aku tak tau apa yang terjadi, aku terbius pada lelap yang dalam, pekat dan hitam.
Entah telah lewat berapa lama, dalam kesadaran yang masih separuh, dokter cantik tadi berusaha membangunkanku. Dalam samar kudengar dia berkata tentang efek samping pusing yang akan kurasakan setelah ini. Dengan sigap dua orang perawat kembali menggeledek ranjangku untuk menuju ruang rawat inap, ditemani suami yang membuntuti di samping ranjangku. Kembali melewati beberapa lorong yang kulihat dengan mata setengah terpejam.
Sesampainya di ruang rawat inap, jam telah menunjukkan pukul 11.00 WIB, ternyata hampir 4 jam aku menghabiskan waktu di dalam kamar operasi. Kepala Perawat langsung menghampiri suami, tanpa basa basi ia langsung meminta suami untuk melengkapi berkas BPJS sambil berkata, “Biar besok sudah bisa pulang Pak!”. Aku dan suami saling bertatapan bingung, baru saja selesai melakukan operasi dan menginjakkan kaki di ruang rawat inap, kami sudah langsung disuruh untuk bersiap-siap pulang. Spontan suami menjawab si perawat, “Tapi tadi dokter bilang pada kami akan visit kontrol pada hari Kamis suster (berarti dua hari ke depan)”. “Yang penting urus BPJSnya dulu aja Pak,” balas sang perawat.  Lalu kami berdua hanya terdiam, tiba-tiba suami nyeletuk, apakah karena saking banyaknya pasien yang sakit dan membutuhkan ruang perawatan, sehingga pasien tak perlu berlama-lama untuk menginap, hehe.
“Sudah, ga usah terlalu dipikirkan,” ucap suami menenangkan, “Kan tadi Dokternya bilang baru bisa kontrol dua hari lagi,” ucapnya lagi. Aku hanya diam lagi, malam yang panjang kembali datang. Pikiranku jauh melayang membayangkan dua bocah kecil yang tanpa  kedua orang tuanya. Saat kutanya kabar anak-anak pada suami, dia hanya menjawab singkat mereka baik-baik saja dan memintaku tak usah banyak pikiran dan fokus untuk pemulihan saja. Belakangan aku tahu bahwa ia berbohong agar aku tak kepikiran, ternyata adek nangis terus seharian, perutnya keras, dan tak mau makan. Aku menangis demi mendegar kabar itu setelah memaksanyanya mengaku setelah menerima telepon dari pengasuh di rumah. Suami panik, memintaku agar tak menangis, karena tak tau apa yang akan terjadi jika luka operasi kelopak mataku basah kena air mata. Aku lalu menahan isak, menahan tangis, berusaha mengelap air mata yang membasahi perban di bawah mata. Pikiranku kembali melayang pada anak-anak, si sulung yang sedang batuk pilek saat kami tinggalkan, dan adek yang rewel tak mau makan seharian, sungguh aku ingin segera pulang, berada di samping mereka.
Saat pagi menjelang, kubawa diri sesekali mengobrol dengan pasien sebelah. Aku mendapat ruang perawatan kelas II dengan kapasitas 5 orang dalam satu kamar. Untungnya aku mendapat tempat tepat disamping toilet, sehingga cukup memudahkan untuk bolak-balik BAK dan berwudhu, terlebih karena aku masih membutuhkan bantuan suami yang memapah saat berjalan ke kamar mandi karena beberapa luka lecet di lutut dan kaki yang membuatku kesulitan untuk berjalan. Disanalah sungguh terasa kesabaran dan keiklhasan suami dalam merawatku selama sakit.  Membawakan tabung infus, membantuku berwudhu bahkan menyikat gigiku. I Love You Full suamiku, hehe.
Pasien lain yang sekamar denganku datang dengan penyakit yang cukup parah semua. Salah seorang wanita paruh baya yang baru saja selesai dioperasi pengangkatan payudara karena kangker yang telah menjalar, tapi dia terlihat sangat bersemangat dan wajahnya ceria. Yang lain sorang ibu tua yang baru selesai operasi sinus di hidungnya karena telah menutupi saluran pernafasannya. Yang lain lagi seorang wanita muda yang bermasalah dengan pankreasnya sedang menunggu jadwal operasi, sejak semalam ia menangis merintih kesakitan ditemani ibu dan suaminya yang kadang terlihat sudah tak sabar dengan tangisan sang istri yang terus-menerus, seringkali ia keluar ruangan membiarkan istrinya hanya ditemani sang ibu yang terlihat sering kebingungan. Ya Allah, diantara mereka mungkin penyakitkulah yang paling ringan. Dalam hati aku berpikir, mungkin Allah sengaja mempertemukanku dengan orang-orang ini untuk memperlihatkan bahwa sakit yang kualami saat ini sungguh tak seberapa dibanding mereka, agar kami lebih bersyukur. Astagfirullah.
Sepanjang siang, kami habiskan dengan menerima kunjungan dari keluarga dan teman-teman kantor, betapa tak ada yang lebih membahagiakan bagi orang yang sakit dari pada perhatian dan doa dari orang-orang sekitar. Menunjukkan bahwa betapa baiknya rekan-rekan kerja selama ini sementara kami kadang jarang menyambung silaturrahmi.
Keesokan harinya, saat dokter visit, aku langsung diperbolehkan pulang setelah sang dokter membuka perban di bawah mataku. Ia lalu memintaku untuk mencuci bersih luka setiap hari dan mengolesi salep hingga pertemuan kontrol di minggu berikutnya. Betapa bahagianya aku saat itu, artinya sebentar lagi akan bertemu anak-anak setelah empat hari kami tinggal, dan sekarang tinggal menunggu proses pemulihan. Rasanya lega sekali, setidaknya satu tahap terlalui. Sore itu kami pulang ditemani adik laki-laki suami, sementara Bapak Mertua menunggu di rumah sambil main dengan anak-anak.
Sesampainya di rumah, semuanya terasa sepi. Anak-anak sedang main di rumah pengasuhnya sore itu. Aku langsung beristirahat di kamar karena gerak yang masih terbatas. Tiba-tiba Adlan berlari ke kamar hendak menemuiku karena tahu kedua orang tuanya sudah pulang. “Bundaaaa!!” teriaknya terdengar nyaring dari dalam kamar. Namun tiba-tiba kakinya terhenti tepat di depan pintu kamar demi melihat wajahku yang cukup mengerikan, lebam yang mulai kehitaman, serta dua lapis bekas jahitan di kelopak bawah mata kanan, lengkap dengan benang jahitan berwarna hijau tua yang berjejer rapi. Adlan lalu berteriak memanggil ayahnya, ketakutan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ayahnya berusaha menenangkan dan memberi pengertian bahwa Bunda sedang sakit, tapi Adlan tetap tak mau berhenti menangis, “Ga mau sama Bunda!” teriaknya di sela isak. Disambung dengan tangisan adek yang tak henti karena memang kurang sehat. Dia tenggelam dalam pelukan si pengasuh, aku tak berani mendekatinya, takut kalau-kalau ia juga ketakutan melihat wajahku seperti Adlan, lagi pula aku belum bisa menggendongnya dengan luka di tangan dan kakiku. Hatiku patah, mengiringi teriakan kedua si buah hati, aku tak kuasa menahan isak di dalam kamar, sendirian, pilu, dan terluka.
Adlan bahkan jadi tak mau masuk ke dalam rumah karena terus dipaksa ayahnya untuk menemuiku. Dia ingin tidur bersama pengasuhnya lagi saja malam ini katanya. Cukup lama hingga ayahnya berhasil membujuknya untuk tidur di ruang tamu bersama ayah malam ini, tidak di kamar bersamaku seperti biasa. Adlan baru mau tidur di kamar lagi setelah hampir seminggu Ayah membujuknya untuk tak perlu takut melihat wajah bunda, lama-lama wajah bunda nanti akan sembuh.
Proses pemulihannya cukup lama juga ternyata, seminggu setelah operasi kami pergi ke rumah sakit lagi untuk membuka jahitan luar. Dokter cantik itu mengomel karena menurutnya aku tidak mencuci bersih luka jahitannya dengan benar, sehingga kulit matinya tak terangkat. Aku lalu diminta untuk rajin mengompres lukanya dengan air hangat. Namun yang terjadi setelah itu semakin hari kelopak mataku semakin membengkak, hingga pembengkakan maksimal, lembek seperti berisi air padahal tidak. Aku dan suami mulai cemas, pasalnya menjelang tiga minggu bengkaknya tak terlihat berkurang sedikitpun, belum lagi dengan omongan dan spekulasi orang-orang sekitar yang membuat kami semakin cemas, hingga sampai pada jadwal kontrol selanjutnya kusampaikan kekhawatiranku pada sang dokter. Spontan dia berkata “Ibu ga usah banyak dengar kata-kata orang, yang tahu bagaimana luka ibu itu Ibu sendiri dan saya, ibu lihat kan gimana lukanya kemarin dalam banget, jadi wajar aja pemulihannya lama bu, untuk kasus seperti ibu biasanya baru sekitar setahun akan terlihat normal kembali, yang penting rajin dikompres aja bu.” Ucapan sang dokter cukup mengurangi beban di hati kami saat itu. Bersyukur bahwa tak ada yang serius yang perlu dikhawatirkan, hanya cukup bersabar untuk proses pemulihan. Terima kasih Ya Allah, Engkau masih memberikan jalan.
*Mengenang kejadian 2 Juli 2018



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar