Pages

Selasa, 15 Januari 2013

January II

Posted by Ulvina Haviza On 22.55 6 comments



Kejadian Lain,
Sudah pukul 07.35 WIB, lewat lima menit dari jam saat biasanya kita berangkat ke kantor. Aku keluar rumah tergesa-gesa, sedikit berlari.  Sedangkan kau telah keluar rumah lebih dulu, mengeluarkan motor katamu. Hingga saat kita bertemu di pertigaan gang kontrakan kita, kulihat wajahmu sedikit bingung.
“Ban motor kita kempas Dik! Dua-duanya,” katamu tiba-tiba setelah menghampiriku.
“Lho, kok bisa?”tanyaku sedikit panik, khas perempuan yang memang gampang panik.
“Ngak tau dik, bocor kali,” ucapmu datar, khas laki-laki yang selalu bisa menanggapi segala hal dengan santai.

“Kok bisa dua-duanya? Ban depan sama belakang? Dikempesin orang kali?” tanyaku mulai berpikiran buruk.
“Iya kali ya, kejamnya!” ucapmu. “Eh, tapi jangan suuzhan dulu, kali aja memang bocor.” sambungmu lagi, mencoba berbaik sangka dan menularkannya kepadaku.
“Iya,” anggukku setuju, hingga tanpa sadar saat melirik jam tanganku, kita telah menghabiskan waktu sekitar limat menit atas percakapan ini.
 “Ah, ayuk, sudah jam berapa ini….!!!!” Ucapku kembali panik, takut kali ini kita akan telat sampai di tempat kerja. Maklum, akhir-akhir ini para bos sedang gencar-gencarnya menggalakkan disiplin, imbas pemberian tunjangan kinerja dalam program Reformasi Birokrasi katanya. Mesti datang sebelum pukul 08.00 WIB, jika tidak, siap-siap saja Pak Kepala akan menunggu seperti satpam di samping mesin pencatat absensi. Telat satu menit aja, akan dikirimi surat cinta ke masing-masing unit kerja. Isinya panggilan untuk menghadap ke bagian yang bertugas untuk mengaudit untuk menjelaskan ihwal perihal alasan keterlambatan. Meski tak terlalu genting, tapi mendapat surat panggilan ini cukup membuat tak enak hati.
Biasanya saat malam kita memasukkan motor ke dalam rumah, memarkirkannya di ruang tamu kontrakan kita. Biar lebih aman, begitu ucapmu padaku sebagai alasan. Namun seminggu belakangan motor itu kita parkirkan di halaman sebuah kos-kosan yang cukup luas, tak jauh dari kontrakan kita. Karena ada saudara yang datang berkunjung, dan karena ukuran kontrakan kita yang sangat minimalis, jadinya ruang tamu tempat biasanyanya kau meletakkan motor kita, dipakai sebagai tempat istirahat untuk saudara, tentunya setelah disulap dan dirapikan sedemikian rupa.
Lalu kau buru-buru memarkirkan motor kita di sudut lain, bergegas berlari kearahku setelah meletakkan kunci motor ke dalam rumah. Kemudian kita melakukan gerak cepat berjalan keluar gang, kita putuskan untuk menggunakan ojek di depan gang untuk berangkat ke kantor kali ini, mengingat kemacetan Jakarta, sudah bisa dipastikan kita akan terlambat tiba di kantor jika menggunakan angkutan kopaja atau taksi sekalipun.
“Pak, Ojeknya dua!” ucapmu pada sekumpulan Bapak-Bapak pengojek yang sedang duduk ramai di depan gang.  “Ke jalan Ampera ya Pak,” katanmu lagi.
“Dimana itu Mas?” tanya sang tukang ojek padamu dengan raut agak bingung.
“Ke Arsip Nasional Pak, dekat Cilandak,” potongku berusaha memberi informasi lebih. Hingga sang tukang ojek terlihat mengangguk-angguk pertanda paham. Gantian kau yang menyalipku, tanpa bertanya basa-basi terlebih dahulu kau langsung bilang, “Dua ojek 50 ribu ya Pak!” ucapmu yang membuat mataku tiba-tiba melotot. Naluri keperempuananku kembali bekerja, dalam hati aku berkata, laki-laki memang selalu loyal terhadap harga, dan tak pernah ada kata menawar harga dalam kamus mereka, sama halnya dengan perempuan yang selalu identik lebih perhitungan. Apa daya, kesepakatan antar lelaki itu telah diraih, dan aku mana bisa turut campur lagi.
 Aku sedikit bingung saat hendak menaiki ojek itu. Bingung dalam posisi apa seharusnya aku menaikinya. Menyamping atau ngangkang kah? Biasanya jika tak terlalu terpaksa, aku tak kan mau untuk naik ojek kemanapun.  Jika pun harus dan tak ada pilihan lain lagi, maka aku akan lebih memilih untuk duduk menyamping. Tapi kali ini, kondisinya kami sudah sangat dikejar waktu, juga mengingat medan kemacetan yang akan ditempuh, belum lagi kebiasaan tukang ojek yang sering kali selap-selip jalan di antara kemacetan, akhirnya demi kelancaran dan keselamatan kuputuskan untuk duduk ngangkang di belakang sopir ojek, tas ranselku kupindahkan ke depan, kusandang diantara bapak pengojek dan diriku sebagai pembatas. Aku  melirik padamu, tak sempat meminta persetujuanmu terlebih dahulu, karena kepanikan lebih mengalahkan segalanya. Kau melihatku sesaat yang kuartikan sebagai izin dan persetujuan darimu. Dan lalu kita pun berangkat. Ngebut dan salip-menyalip, sebagai akibat kau meminta sang pengemudi untuk agak cepat mengemudikan motornya agar kita tak terlambat. Alhasil lima menit sebelum jam 08.00 wib kita sudah sampai di kantor. Alhamdulillah kita tak terlambat.
“Dik, tadi bayar ojeknya kemahalan ya?” tiba-tiba tanyamu kepadaku, mungkin kau tiba-tiba tersadar mengingat sifat perhitunganku. J
“He em,” gumamku seraya mengangguk.
“Jadi harusnya berapa?” tanyamu lagi.
“Biasanya 15 ribuan mas, paling mahal 20 ribu,” ucapku datar. Kau lalu tertawa, aku pun tertawa.
“Ya udah, yang 10 ribu diikhlasin aja ya Dik, hitung-hitung sedekah,” kemudian katamu, yang kubalas dengan anggukan dan senyuman.
Hari itu, sepulangnya dari bekerja, kita lebih memilih naik angkot dari pada kopaja untuk sampai ke rumah, disambung dengan busway lalu jalan kaki sekitar sepuluh menit dari jalan utama sampai ke kontrakan. Sudah lama kita tak jalan kaki seperti ini, hitung-hitung sekalian berolahraga. Sesampai di kontrakan, kita putuskan untuk segera mencari bengkel motor untuk membenahi ban motor kita yang kempes. Kau menuntun motor kempes itu itu ke luar rumah, dan aku memilih menemanimu, tak tega membiarkanmu sendirian. Meskipun sebenarnya aku tak bisa bantu apa-apa, setidaknya aku bisa menemanimu untuk ngobrol sepanjang perjalanan. Untunglah, ternyata bengkelnya pun tak terlalu jauh, sehingga tak terlalu menguras tenagamu.
Setelah diperiksa, ternyata motor kita tidak bocor,hanya iseng dikempesin seseorang dengan cara menekan lubang anginnya. Kau dan aku bingung tentunya, siapa yang tega membuat motor kita jadi kempes seperti itu hingga membuat kita hampir terlambat dampai ke kantor.
“Kejam,” ucapmu saat itu, namun sambil tersenyum ke arahku.
Ya, kita sama-sama tidak tahu, tapi kita sama-sama sepakat, mungkin ini adalah akibat kita yang kurang bersosialisasi dengan para tetangga, sibuk dengan urusan kita sendiri. Senin hingga Jumat, pagi hingga sore kita bekerja, Sabtu Minggu sibuk bersih-bersih, mencuci dan memasak, waktu  kita seakan habis. Kau dan akupun seolah enggan ikut bergabung saat kumpulan bapak atau kumpulan ibu bergerombol di depan rumah kita, bergosip atau membicarakan hal-hal lainnya. Paling kita hanya sekadar lewat dan menyapa. Hingga kita tak tahu-menahu kabar tetangga-tetangga kita. Ke depan, sepertinya kebiasaan ini harus segera kita perbaiki.***



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

6 komentar:

lama tak mendengar kabarmu.. ternyata banyak cerita di ruang ini :')

so sweet... :)

tapi eh, makanya Un... bergabung dg tetangga. :) hehe

hehe...Kak tut, kbr Makasar gmn? kt kak mit April ini kak tut balik Padang...

:) teduh sekali....
Dan... sungguh sama nasib sosialisasi dengan tetangga itu...
Padahal kak juga pernah dihadiahi Tarbawi yang isinya juga tentang 'bertetangga'

hiks..iya kak,biasanya di dpn kontrakan bpk2ny sering nongkrong, pada bergosip semua, ibu2ny juga. kita jarang bgt mau gabung, hampir dak pernah malah, dgn alasan menghindari ghibah..hehe, tp jdny malah hampir ga ada interaksi.. :)

Posting Komentar