Pages

Senin, 04 Februari 2013

SATU

Posted by Ulvina Haviza On 00.04 2 comments



:Setyo Nugroho
Satu tahun adalah waktu yang singkat, tapi sekaligus panjang. Tergantung dari sudut mana dan bagaimana kita menilainya. Ah, waktu memang selalu begitu sayang, relatif dan meragukan. Namun bagiku, satu tahun ini adalah tahun terbaik dalam hidupku, saat bersamamu.
Bagaimana rasanya saat melihat seseorang yang terpilih untukmu sedang duduk takzim menunggumu, tertunduk sambil sesekali memberanikan diri menatap ke arahmu, sementara kau pun berjalan perlahan ke arahnya, menggenapkan penjanjian yang dikatakan Allah dalam Al-Quran sebagai sesuatu yang berat, Mitsaqan Ghalizha. Bagaimana rasanya jika langkahmu kian dekat, semakin dekat, dan semakin dekat lagi, hingga membuat dadamu berdebar hebat, sementara untuk mengangkat sedikit saja kepalamu yang tertunduk, kau tak berani. Namun dalam dada ada terasa kebahagiaan yang menusuk-nusuk.
Aku pernah mengalaminya sayangku, sekali  dan hanya sekali untuk selamanya.
***

Sabtu pagi, 4 Februari 2012, pukul sembilan tiga puluh waktu dhuha. Kau mengambil perjanjian itu. Saat itu, aku duduk takzim di belakang mendengar suaramu dari balik dinding. Gugup. Kita berada di ruang yang terpisah. Seperti kepatutan yang seharusnya, kita tak hendak menodai prosesi ikatan suci ini dengan hal-hal kecil yang justru mengurangi kebarokahan di dalamnya. Sebelum terpatri kehalalan, tak hendak sedikitpun aku berada di sampingmu, berdekatan, meski itulah saat pengucapan ijab dan qabul di hadapan Tuhan. Biarlah aku menunggu, dan aku menunggumu dari sini, dari balik dinding yang memisahkan kita.
Aku cemas, teramat cemas. Telah lewat dari waktu yang telah ditentukan, sementara penghulu belum juga datang. Kau tahu sayang, di sana, di belakang sana, keringat dinginku mulai bercucuran, hatiku mulai menghembuskan pikiran-pikiran syetan. Mengapa orang yang bertugas untuk menikahkan kita itu belum juga datang? Sesuatu telah terjadikah? Akankah semuanya nanti berjalan sesuai yang kita rencanakan? Akan kah kau adalah aku dan aku adalah kau dalam sebuah ikatan pernikahan? Akah kah ijab qabul kita Allah izinkan? Oh…aku takut, sungguh takut sayangku, hingga seluruh telapak tanganku telah basah oleh keringat.
Untunglah sepersekian detik setelahnya kegelisahan itu segera berakhir, akhirnya penghulu datang juga setelah mangkir tiga puluh menit dari jadwal yang seharusnya. Hatiku lega, tak henti-hentinya aku bersyukur pada Allah saat itu. Dan segalanya pun segera dimulai.
Dari sana, dari balik dinding, sayup kudengar suara penghulu melalui pengeras suara.
“Sudah siap?” tanya penghulu padamu yang membuyarkan kecemasanku, namun justru semakin bertambah dengan tingkat kecemasan yang lain, mungkin kau pun juga begitu, entahlah.
Tak begitu jelas kudengar jawabanmu, karena pengeras suara hanya dikuasai penghulu saat itu, namun aku tahu pasti apa jawabanmu.
Ah, sayangku, beberapa menit ke depan hidup kita akan segera berubah. Ini bukan hanya tentang menjadi sepasang suami istri, tentang kita hidup bersama setelah ini, tapi ini jauh lebih berat lagi. Bagiku, setelah ijab qabul ini aku akan sepenuhnya menjadi makmummu, makmum dalam artian sebenarnya. Kelak segalanya tentangku adalah atas seizinmu, aku menjadi tanggunganmu dalam segala pengabdianku, kau adalah panutan dan pembimbingku untuk bersama-sama kita ke surga yang aku sendiri takut justru nanti akulah yang mungkin jadi penyebab kita sulit mencapainya.
Semoga kita bisa melakukannya bersama-sama, menjadi Adam dan Hawa yang boleh jadi melakukan kesalahan-kesalahan yang membuat Tuhan murka, tetapi bersedia menebusnya dengan segala yang kita punya untuk kembali menemukan surga. Kita akan melakukannya, berdua, dalam langkah-langkah kecil yang kadang membuat kita letih atau tertatih, tetapi kita tak akan putus asa, sebab sepenuh cinta kita akan selalu bersama untuk tetap berangkulan hingga di akhirat sana.
Dan kini, terdengar suara Papa terbata-bata menyerahkan kewajibannya untuk menikahkanku kepada Paman. Ya, karena Papa telah kesulitan untuk berbicara akibat serangan penyakit stroke-nya. Dan Paman menerima perwalian itu. Agaknya, paman kini sedang menggenggam erat tanganmu, dan aku tahu betapa cemasnya kamu saat itu, aku pun begitu. Bibirku tak henti mengucap bismillah dan doa-doa lainnya untuk mengusir ketaktenanganku.
Suasana menjadi hening seketika. Khidmat. Setelah lantunan shalawat kepada Nabi Muhammad dan beberapa kali kalimat istigfar disusul kalimat syahadat, penghulu mengucapkan kalimat itu dan meminta paman untuk mengikutinya.
“Ya Setyo Nugroho bin Sukamto, saya nikahkan dan saya kawinkan keponakan saya Ulvina Haviza binti Ahmad Gusti yang walinya telah berwakil kepada saya, Saya nikahkan kepada engkau dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas seberat 11,9 gram dibayar tunai.” Demikian paman membacakan kalimat itu, yang tanpa banyak jeda langsung kau jawab dengan qabul.
“Saya terima nikahnya Ulvina Haviza binti Ahmad Gusti dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas seberat 11,9 gram dibayar tunai,” kau mengucapkannya dalam satu tarikan nafas, di tengah keheningan semua orang.
“Syah?” tanya penghulu kepada para saksi dan hadirin tiba-tiba memecah hening. Sementara aku masih dalam kecemasan di balik sana.
“Syah, syah,…” ucap suara-suara di luar sana hampir serempak. Hingga seketika kelegaan menghampiriku, ada rasa sejuk yang mengalir disana, ke dalam dada. Suasana berubah menjadi suka cita. Air mata mengambang di pelupuk mataku di seberang sana. Kini kita telah menjadi sepasang suami istri, gemetar dalam hati aku berbisik, mampukah ku untuk berusaha sebaik-baiknya menjadi Khadijah kepada Muhammad untukmu, Zhulaikha kepada Yusuf dan Fatimah kepada Ali untukmu….mendampingimu.
Kedatangan bibi dan kakak perempuanku membuyarkan lamunanku. Mereka menjemputku untuk saatnya bersanding denganmu. Kemudian aku keluar, berjalan perlahan didampingi mereka, menuju ke arahmu. Tak sedikitpun berani aku mengangakat wajah untuk sekadar menatapmu. Lalu aku duduk di sampingmu, menerima nasihat tentang pernikahan dari penghulu hingga kita menerima bukti tentang pernikahan kita berupa buku kecil. Kau berwarna merah dan aku hijau.
Aku menoleh ke arahmu, kau juga menoleh ke arahku. Kita saling bertukar senyuman dengan cara yang asing. Aku lalu mencium tanganmu pertanda hormatku pada imamku untuk pertama kalinya. Namun mereka meminta kau mencium keningku setelah itu. Aku malu. Kau pun malu, gugup, tapi aku mau.
***
Sesaat setelah riuh dalam suka cita, aku mencium tangan Papa, tanpa kata, hanya air mata yang saling membasahi tebing pipi. Hingga saat memeluk ibumu, rasa haru semakin membanjiriku.
“Yang rukunlah berumah tangga nanti, titip anak ibu,” ucap ibumu yang juga telah berkaca-kaca, yang hanya bisa kubalas dengan anggukan karena menahan sesak di dada. Dalam hati aku berbisik, tak akan pernah mengambilnya dari ibu, dia tetap anak ibu, dan ibu tetap yang terutama.
“Semoga pernikahan kalian selalu mendapat keberkahan,” kemudian bisik ayahmu.
Di hadapan mereka, aku hanya bisa menangis. Kita semua menangis dalam sedih namun ada kebahagiaan yang menyesak disana. Aku menatapmu.
Apakah kau masih ingat semua yang terjadi hari itu Sayangku?
***
Sehari setelah pernikahan kita, kau membawaku ke sebuah kontrakan tak jauh dari tempat kita bekerja. Kecil, namun lebih dari cukup. Alhamdulillah perabotannyapun sudah jauh dari terlengkapi. Sudah ada kasur dan lemari pakaian, dan kau juga telah punya televisi dan kipas angin sebelumnya. Sementara peralatan dapur yang cukup lengkap dihadiahi teman-teman satu kantor kita. Ah, betapa baiknya mereka.
Aku yakin, kita punya banyak cinta. Cukup untuk mengarungi bahtera rumah tangga kita ke depannya, mulai sejak saat ini.
Setiap hari, aku bisa memperhatikanmu yang tertidur di lantai karena kelelahan setelah seharian bekerja, atau sibuk mengamati para politikus yang sedang berdebat di televisi, atau membantuku membilas pakaian yang telah kukuceki, atau yang paling kusenangi saat kau bercerita apa saja tentang masa perjuangan di zaman Nabi. Ah, sayang, aku berjanji untuk lebih setia lagi mendampingi, lebih sigap lagi untuk melayani keperluamu, untuk sebaik-baiknya menjadi tulang rusukmu. Untuk kebahagiaan kita.
Entah kesabaran yang keberapa milikmu atas diriku, kesabaran yang kesekian kalinya yang masih menguji kita.  Empat bulan setelah pernikahan kita, kabar bahagia itu datang, aku hamil dan kita akan memiliki buah cinta kita. Namun sepertinya Allah kendak menguji kesabaran dan kesetiaan kita pada-Nya. Hanya dua setengah bulan janin itu bersarang di rahimku, Allah kemudian kembali mengambilnya.
Aku menangis, kau pun menangis, tetapi tak sederas isakanku. Saat itu kau menunjukkan kesabaran luar biasamu.
“Sabar ya Sayang, insyaAllah Allah akan mengantinya dengan yang lebih baik, mungkin saat ini kita belum siap,” katamu saat itu menenangkanku.  
Entah apa jadinya jika itu bukan kamu. Kau selalu bisa untuk bersikap tenang, seperti apapun kondisinya. Hingga setelah setahun pernikahan kita, tak sekalipun pernah kau memarahiku, atas kecerobohanku, atas sifat kekanak-kanakanku, atas hatiku yang mudah basah, atas kecerewetanku, atas khilafku selama melayanimu sebagai pendampingmu, terdengar nadamu yang sedikit meninggipun tidak. Kau ingat, aku pernah membuatmu menitikkan air mata, karena janji yang telah kita sepakati bersama terlanggar olehku. Aku sedih luar biasa, terlebih kau tentunya. Kita menangis bersama, aku tenggelam dalam sesalku, kau tenggelam dalam dukamu. Maafkan aku ya Sayang, sungguh pelajaran berharga untuk tak sekali-kali lagi menyakitimu, mengecewakanmu. Entah apa jadinya jika itu bukan kamu.
Tepat beberapa hari sebelum setahun pernikahan kita, kita telah punya rumah yang jauh lebih dari nyaman, juga punya tabungan yang cukup untuk menyicil satu-satu perabotannya. Di atas semua itu, aku sudah punya kamu, lelaki paling istimewa dan suami paling hebat sedunia.
Terima kasih telah selalu ada untukku, dengan banyak cinta.
***
Sayangku, hari ini tepat satu tahun pernikahan kita. Aku memandang foto pernikahan kita, tiba-tiba satu tahun terasa begitu cepat, sebab telah banyak peristiwa yang kita lewati bersama sebagai suami istri yang bahagia. Dan waktu memang selalu begitu sayang, menyisakan ruang untuk kita bisa selalu berupaya melakukan perbaikan dalam perputarannya yang panjang.
Jika suatu hari aku ditanya keputusan terbaik yang pernah aku ambil dalam hidupku, aku tak akan ragu menjawabnya: menikah denganmu adalah keputusan terbaik dalam hidupku.
Selamat ulang tahun pernikahan kita Sayangku. ***




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

2 komentar:

whoaaa... tulisan yg iko memotivasi bana ko ha, Un... wkwkwkwk... indak gai doh, Un. Bagarahnyo. ^_*
Happy anniversary Un...

mksh rahma,..iyo, pacapek lah, manyasa lamo2 bna beko..hehe

Posting Komentar