Pages

Selasa, 18 September 2012

Tarian Sarung

Posted by Ulvina Haviza On 01.51 No comments



Dulu waktu SMP, mata pelajaran yang paling kusukai adalah kesenian. Lebih tepatnya seni menggambar dan kerajinan tangan. Kapan aku mulai menyukainya? Entahlah.
Karena jadwal mata pelajaran ini di hari Rabu, maka Rabu adalah hari yang selalu kutunggu-tunggu. Aku tak mengerti mengapa sampai begitu menyukai mata pelajaran ini. Yang jelas, setiap akan memulai pelajaran ini aku selalu bersemangat menanti sang guru segera memasuki kelas. Sambil membayangkan, gambar apalagi yang ditugaskan minggu ini. Sampai-sampai mataku tak berkedip sedikitpun mengikuti langkah sang guru saat perlahan memasuki kelasku.
Teman-teman sekelas bilang, aku terlalu gila dengan mata pelajaran ini. Betapa tidak. Saat belajar yang kutunggu-tunggu itu, ya kesenian. Aku selalu berusaha duduk di bangku paling depan. Dan saat guru menerangkan di depan, mataku hampir tak berkedip. Dan tentu saja, nilai kesenianku lah yang tertinggi di kelas.

Tapi sekarang sungguh jauh berbeda. Saat SMA, aku tak segila itu lagi pada kesenian. Bahkan aku mulai membenci mata pelajaran itu. Terang saja. Kecintaanku pada seni menggambar saat SMP, berganti dengan seni musik dan tari di SMA. Uh…sungguh membosankan.
Aku harus mencatat not balok untuk tangga lagu yang berbeda-beda tiap mingggunya. Parahnya lagi, aku diminta memainkannya dengan alat musik. Ini sungguh bukan hobiku. Dari kecil, aku sangat tak suka memainkan alat musik. Apapun itu. Tapi malah penderitaan itu yang harus kutanggung selama di SMA ini. Belum lagi, minggu depan kelasku malah ditugaskan membuat lagu. Apa-apaan si Guru. Pikirnya, semua orang di kelasku ini adalah musisi apa. Atau berbakat jadi musisi. Pokoknya aku jadi sangat belajar benci kesenian.
Sekarang, belajar kesenian ini tak lagi kutunggu-tunggu. Malah aku berharap, mata pelajaran ini ditiadakan saja. Tapi, apalah dayaku.
Setiap minggu makin menjadi-jadi saja guru kesenianku itu. Setelah ia menyuruh kami sekelas jadi musisi, sekarang malah harus jadi penari. Yang benar saja. Aku harus menari?
Oh…ini sungguh menjengkelkan. Betapa tidak. Aku dan teman-teman dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok ditugaskan membawakan tarian Minang. Tari Pasambahan. Bukan hanya itu, tarian itu harus dikreasikan sekreatif mungkin oleh masing-masing kelompok. Anggotanya pun harus ada anak lelakinya. Hebatnya lagi, kostum saat penampilannya juga harus ikut dikreasikan. Dan itu harus dilakukan hanya dalam waktu  satu bulan.
Di sanalah letak repotnya. Membayangkannya saja, kepalaku sudah minta ampun pusingnya. Apa jadinya tarian itu bila dipadukan dengan cengkok tegangku? Betapa kasihan mereka yang sekelompok denganku nanti.
Saat menuju pintu setelah bel pulang dibunyikan, tiba-tiba Riri menghadangku. Ia ketua di kelompokku. Dianggap begitu karena ia yang paling bersemangat soal tari-menari ini.
“Kapan kita latihannya?” sergah Riri setelah berhasil menggagalkan rencana kaburku untuk hari ini.
“E...eh….iya, kapan ya?” tanyaku balik tak dapat lagi mengelak.
Tanpa terlebih dahulu memberi jawaban, Riri langsung menarik tanganku. “Hari ini! Semua telah menunggu.” Dalam hati aku berkata, ini akan benar-benar kacau.
 Ini sebuah pemaksaan, pikirku. Aku mesti mengikuti gerakan yang dikreasikan Riri dan yang lainnya. Sudah tiga jam, namun aku belum juga bisa. Hanya aku yang belum bisa. Setelah setengah hari, gerakanku masih tak ubahnya seperti robot. Akhirnya mereka menyerah untuk melatihku, sebab dua hari lagi kami harus tampil untuk mendapatkan nilai akhir semester.
Tapi, ternyata ada yang terlupakan. Karena terlalu fokus pada kreasi tari dan melatih gerakan robotku, kreasi kostum untuk penampilan jadi terlupakan. Semua jadi panik dan kebingungan. Belum lagi memikirkan biaya. Kami juga harus menghemat.
Setelah mencuri-curi informasi dari kelompok lain, akhirnya setelah berembuk cukup lama, kami memutuskan kain sarung sebagai bawahan untuk kreasi kostum. Dengan catatan, bukan sarung yang lecek dan motifnya harus bagus. Sedang bagian atas kami hiasi dengan selendang yang diselempangkan. Hanya itu,…ya hanya itu.
Di hari H-nya, aku sungguh gugup. Tanganku terus basah oleh keringat meski aku telah mengelapnya. Dalam hati aku berdoa, guruku itu jangan datang saja. Agar aku tak perlu menari. Tapi sepertinya Tuhan berkeinginan lain. Beliau datang dengan semangatnya. Bahkan lebih bersemangat dari minggu-minggu sebelumnya. Tak hanya berkeringat, dadaku juga serasa mau melompat saat tiba giliran kelompokku yang tampil.
Posisiku di tengah-tengah. Riri di posisi paling depan. Masing-masing satu orang di sampingku dan Riri, dan tiga anak lelaki diposisikan paling belakang. Kami telah siap dengan setelan gaya yang tak kalah hebohnya. Musik pun di putar. Aku dan yang lainnya mulai bergerak seirama sesuai latihan selama ini. Tapi, sepertinya tak berjalan mulus.
Tiba-tiba kain sarung dua orang anak lelaki di belakang terlepas. Semua teman sekelas spontan jadi tertawa. Aku malah bertambah grogi. Kupikir mereka meledek cengkok tegangku. Kulanjutkan saja gerakan maut itu sambil lirik kiri-kanan hingga sampai pada gerakan saling bertukar posisi ke kiri dan ke kanan.
Di sanalah letak bencananya. Saat melangkah perlahan ke kiri, tanpa sengaja aku menginjak balutan sarung Riri yang mulai kedodoran. Sarung itu jadi terlepas dan tergeletak di lantai. Aku panik. Kami semua panik. Tapi tetap berusaha dengan lembut melanjutkan gerakan. Namun, sepertinya tindakan antisipasi malu ini tak cukup ampuh. Giliran Riri dengan mantapnya menginjak balutan sarung teman di sebelahnya. Oh…tidak. Ini benar-benar bencana.
Alhasil, saat musik tarian yang menyiksa itu berakhir, hanya aku dan satu anak lelaki di belakang yang masih untuh mengenakan sarung. Sukses sudah tarian kreasi sarung itu. Yang jelas, aku semakin benci mata pelajaran kesenian. Saat itu aku berpikir, jika nanti aku jadi Menteri Pendidikan, mata pelajaran kesenian akan kuhapuskan dari kurikulum pendidikan. Uh… aku sungguh benci belajar kesenian.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar