Dulu
waktu SMP, mata pelajaran yang paling kusukai adalah kesenian. Lebih tepatnya
seni menggambar dan kerajinan tangan. Kapan aku mulai menyukainya? Entahlah.
Karena
jadwal mata pelajaran ini di hari Rabu, maka Rabu adalah hari yang selalu
kutunggu-tunggu. Aku tak mengerti mengapa sampai begitu menyukai mata pelajaran
ini. Yang jelas, setiap akan memulai pelajaran ini aku selalu bersemangat
menanti sang guru segera memasuki kelas. Sambil membayangkan, gambar apalagi
yang ditugaskan minggu ini. Sampai-sampai mataku tak berkedip sedikitpun
mengikuti langkah sang guru saat perlahan memasuki kelasku.
Teman-teman
sekelas bilang, aku terlalu gila dengan mata pelajaran ini. Betapa tidak. Saat
belajar yang kutunggu-tunggu itu, ya kesenian. Aku selalu berusaha duduk di
bangku paling depan. Dan saat guru menerangkan di depan, mataku hampir tak
berkedip. Dan tentu saja, nilai kesenianku lah yang tertinggi di kelas.
Tapi
sekarang sungguh jauh berbeda. Saat SMA, aku tak segila itu lagi pada kesenian.
Bahkan aku mulai membenci mata pelajaran itu. Terang saja. Kecintaanku pada
seni menggambar saat SMP, berganti dengan seni musik dan tari di SMA.
Uh…sungguh membosankan.
Aku
harus mencatat not balok untuk tangga lagu yang berbeda-beda tiap mingggunya.
Parahnya lagi, aku diminta memainkannya dengan alat musik. Ini sungguh bukan
hobiku. Dari kecil, aku sangat tak suka memainkan alat musik. Apapun itu. Tapi
malah penderitaan itu yang harus kutanggung selama di SMA ini. Belum lagi,
minggu depan kelasku malah ditugaskan membuat lagu. Apa-apaan si Guru.
Pikirnya, semua orang di kelasku ini adalah musisi apa. Atau berbakat jadi
musisi. Pokoknya aku jadi sangat belajar benci kesenian.
Sekarang,
belajar kesenian ini tak lagi kutunggu-tunggu. Malah aku berharap, mata
pelajaran ini ditiadakan saja. Tapi, apalah dayaku.
Setiap
minggu makin menjadi-jadi saja guru kesenianku itu. Setelah ia menyuruh kami
sekelas jadi musisi, sekarang malah harus jadi penari. Yang benar saja. Aku
harus menari?
Oh…ini
sungguh menjengkelkan. Betapa tidak. Aku dan teman-teman dibagi dalam beberapa
kelompok. Masing-masing kelompok ditugaskan membawakan tarian Minang. Tari Pasambahan. Bukan hanya itu, tarian itu
harus dikreasikan sekreatif mungkin oleh masing-masing kelompok. Anggotanya pun
harus ada anak lelakinya. Hebatnya lagi, kostum saat penampilannya juga harus
ikut dikreasikan. Dan itu harus dilakukan hanya dalam waktu satu bulan.
Di
sanalah letak repotnya. Membayangkannya saja, kepalaku sudah minta ampun
pusingnya. Apa jadinya tarian itu bila dipadukan dengan cengkok tegangku?
Betapa kasihan mereka yang sekelompok denganku nanti.
Saat
menuju pintu setelah bel pulang dibunyikan, tiba-tiba Riri menghadangku. Ia
ketua di kelompokku. Dianggap begitu karena ia yang paling bersemangat soal
tari-menari ini.
“Kapan
kita latihannya?” sergah Riri setelah berhasil menggagalkan rencana kaburku untuk
hari ini.
“E...eh….iya,
kapan ya?” tanyaku balik tak dapat lagi mengelak.
Tanpa
terlebih dahulu memberi jawaban, Riri langsung menarik tanganku. “Hari ini!
Semua telah menunggu.” Dalam hati aku berkata, ini akan benar-benar kacau.
Ini sebuah pemaksaan, pikirku. Aku mesti
mengikuti gerakan yang dikreasikan Riri dan yang lainnya. Sudah tiga jam, namun
aku belum juga bisa. Hanya aku yang belum bisa. Setelah setengah hari,
gerakanku masih tak ubahnya seperti robot. Akhirnya mereka menyerah untuk
melatihku, sebab dua hari lagi kami harus tampil untuk mendapatkan nilai akhir
semester.
Tapi,
ternyata ada yang terlupakan. Karena terlalu fokus pada kreasi tari dan melatih
gerakan robotku, kreasi kostum untuk penampilan jadi terlupakan. Semua jadi panik
dan kebingungan. Belum lagi memikirkan biaya. Kami juga harus menghemat.
Setelah
mencuri-curi informasi dari kelompok lain, akhirnya setelah berembuk cukup
lama, kami memutuskan kain sarung sebagai bawahan untuk kreasi kostum. Dengan
catatan, bukan sarung yang lecek dan motifnya harus bagus. Sedang bagian atas
kami hiasi dengan selendang yang diselempangkan. Hanya itu,…ya hanya itu.
Di
hari H-nya, aku sungguh gugup. Tanganku terus basah oleh keringat meski aku
telah mengelapnya. Dalam hati aku berdoa, guruku itu jangan datang saja. Agar
aku tak perlu menari. Tapi sepertinya Tuhan berkeinginan lain. Beliau datang dengan
semangatnya. Bahkan lebih bersemangat dari minggu-minggu sebelumnya. Tak hanya
berkeringat, dadaku juga serasa mau melompat saat tiba giliran kelompokku yang
tampil.
Posisiku
di tengah-tengah. Riri di posisi paling depan. Masing-masing satu orang di
sampingku dan Riri, dan tiga anak lelaki diposisikan paling belakang. Kami
telah siap dengan setelan gaya yang tak kalah hebohnya. Musik pun di putar. Aku
dan yang lainnya mulai bergerak seirama sesuai latihan selama ini. Tapi,
sepertinya tak berjalan mulus.
Tiba-tiba
kain sarung dua orang anak lelaki di belakang terlepas. Semua teman sekelas
spontan jadi tertawa. Aku malah bertambah grogi. Kupikir mereka meledek cengkok
tegangku. Kulanjutkan saja gerakan maut itu sambil lirik kiri-kanan hingga
sampai pada gerakan saling bertukar posisi ke kiri dan ke kanan.
Di
sanalah letak bencananya. Saat melangkah perlahan ke kiri, tanpa sengaja aku
menginjak balutan sarung Riri yang mulai kedodoran. Sarung itu jadi terlepas
dan tergeletak di lantai. Aku panik. Kami semua panik. Tapi tetap berusaha
dengan lembut melanjutkan gerakan. Namun, sepertinya tindakan antisipasi malu
ini tak cukup ampuh. Giliran Riri dengan mantapnya menginjak balutan sarung
teman di sebelahnya. Oh…tidak. Ini benar-benar bencana.
Alhasil, saat musik tarian yang menyiksa itu
berakhir, hanya aku dan satu anak lelaki di belakang yang masih untuh
mengenakan sarung. Sukses sudah tarian kreasi sarung itu. Yang jelas, aku
semakin benci mata pelajaran kesenian. Saat itu aku berpikir, jika nanti aku
jadi Menteri Pendidikan, mata pelajaran kesenian akan kuhapuskan dari kurikulum
pendidikan. Uh… aku sungguh benci belajar kesenian.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar