Oleh Ulvina Haviza
Lama sudah aku tak pernah lagi ke sini. Sudah bertahun-tahun. Kalau tak salah, terakhir kali aku datang sekitar empat atau lima tahun lalu. Ternyata tempat ini sungguh jauh berubah. Semakin banyak penghuninya. Tak terhitung. Rasanya, dulu tak sebanyak ini.
Sekarang tempat ini benar-benar terasa asing bagiku. Sungguh berbeda. Bahkan aku sama sekali tak ingat, di mana persisnya tempat yang aku cari. Kalau tak salah, letaknya pada bagian yang dekat ke sungai. Tapi, yang mana.
Kususuri perlahan tepian sungai itu. Lamat-lamat membaca tulisan yang tertera pada masing-masing nisan yang tertancap pada gundukan-gundukan tanah di tempat itu. Mataku liar mencari. Tak satupun nisan yang terlewatkan. Tapi, belum juga kutemukan. Ah, di mana letaknya? Bagaimana bisa lupa?
* * *
Tahun ini istriku memaksa pulang ke kampung halamannya di Padang. Katanya, biar bisa melaksanakan puasa dan lebaran bersama-sama keluarganya. Sudah terlalu lama tak pulang ke kampung.
Sebenarnya, itu juga kampung halamanku. Hanya saja, tak ada lagi keluargaku yang tinggal di sana. Semenjak ayah dan ibu sudah tak ada, tak ada pula yang mau menetap tinggal di rumah. Pergi merantau semua. Aku, termasuk dua adik lelakiku.
Ayah lebih dulu meninggal. Dua tahun sebelum ibu. Atas permintaan pihak keluarganya, ayah dimakamkan di tanah kelahirannya. Batu Sangkar. Cukup jauh memang, tapi saat itu ibu dan kami semua tak dapat menolak. Semua keluarga ayah begitu bersikeras. Katanya, pusara ayah harus dekat dengan sanak keluarga juga seluruh famili ayah. Tapi apa ibu, aku juga adik-adik bukan sanak keluarga? Keluarga terdekat malah. Akhirnya, karena tak mau terus berdebat, ibu mengalah.
Sejak kepergian ayah, aku memilih merantau ke pulau Jawa. Mencoba peruntunganku di sana, mencari pekerjaan. Dan kupikir, agar tak lagi membebani ibu setelah kepergian ayah. Syukurlah tak lama-lama aku menganggur di sana, sebuah perusahaan percetakan menerimaku sebagai salah satu karyawannya, meski tak bisa dipungkiri semua juga berkat bantuan kenalan keluarga ibu di Jakarta.
Sejak saat itu kurasakan kehidupan mulai membaik. Setiap bulan aku dapat mengirimi separuh gajiku kepada ibu. Kadang disertai beberapa bingkisan untuk adik-adik. Betapa leganya aku. Hingga tiba-tiba aku mendapat kabar yang begitu mengejutkanku. Ibu jatuh sakit, dan memaksaku untuk pulang ke Padang. Mau bagaimana lagi, akhirnya aku pulang juga. Rupanya, itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan ibu.
Aku kembali ke tanah Jawa, melanjutkan pekerjaanku. Dan sejak saat itu tak pernah lagi pulang ke kampung hingga sekarang. Bahkan hingga aku memperistri seorang gadis di sana. Dahlia. Meski lancar berbahasa Sunda, sebenarnya kami masih sama-sama orang sekampung, orangtua Dahlia keturunan Minang dan kini juga menetap di Padang.
Sementara kedua adik lelakiku, mereka lebih memilih mencari pekerjaan ke luar kota. Tak mau menetap di Padang. Takut kepikiran terus sama ibu katanya.
* * *
Setelah sekian lama, inilah kali pertama aku kembali ke Padang. Hampir lima tahun lamanya. Berbagai perasaan kini berkecamuk di dadaku. Perasaan yang sulit kuungkapkan. Aku sungguh bahagia. Kupikir, semenjak kepergian ibu, mungkin aku tak akan pernah pulang lagi ke kampung. Tapi, diam-diam pilu juga menggerogotiku. Anak rantau yang kembali ke kampung halamannya, namun tak satupun sanak keluarga yang menantikan kehadiranku dan mesti kutemui kecuali keluarga istriku. Kedua adikku pun tak sempat datang. Sungguh jauh berbeda dengan bertahun-tahun yang lalu. Ah, aku rindu pada ibu.
Aku dan Dahlia baru saja sampai. Tak sabar menunggu, siang itu juga kuputuskan untuk mengunjungi makam ibu. Setelah meletakkan beberapa barang di rumah mertuaku, aku langsung menuju ke pemakaman. Dahlia tak mau ikut, capai katanya. Maklum, kami memang benar-benar baru sampai. Jadi kuputuskan pergi sendiri saja.
Ibu dimakamkan di pemakaman umum, tak jauh dari rumahku dulu. Sempat berpikir untuk mampir sebentar melihat-lihat rumah yang kini kosong itu, tapi kuurungkan. Kupikir lebih baik ke makam ibu saja dulu. Ah, aku sudah tak sabar. Sudah sekian lama.
Saat tiba di pemakaman, betapa terkejutnya aku. Pemakaman umum itu sungguh penuh. Sesak. Tak terhitung jumlahnya. Bahkan sempat aku berpikir, apa tempat ini benar-benar tempat pemakaman yang dulu. Bukan main banyaknya pekuburan di sana. Orang-orang yang datang berkunjung pun ramainya minta ampun.
Kuingat-ingat lagi, memang benar di sini. Tapi, kenapa bisa sepadat ini. Tak ada lagi sejengkal tanah pun yang kosong. Semuanya rapat terisi oleh makam. Jarak sejengkal saja, tetap dijadikan sebagai makam. Bahkan untuk sekadar berjalan pun susah.
Belum lagi, hari ini sungguh ramai orang yang datang berkunjung. Mungkin karena memang akan menjelang bulan puasa barangkali. Makanya ramai sekali orang-orang yang hendak berziarah. Sudah begitukan tradisinya. Mendoakan si ahli kubur sekaligus membersihkan kuburnya. Atau sekadar menabur bebunga di atas gundukan tanah yang kebanyakan sudah dikeramik itu. Hal yang lima tahun terakhir tak pernah aku lakukan.
Pemandangan ini baru kali pertama kulihat. Jauh dari suasana ketenangan pemakaman yang kubayangkan. Mencari tempat untuk memarkirkan kendaraan saja susahnya bukan main. Penuh. Sudah banyak kendaraan lain yang berjejer di pinggir jalan sepanjang area pemakaman umum itu. Berbagai merek. Mulai dari yang roda dua hingga roda empat, bahkan becak pun ada. Meski sebenarnya itu bukanlah tempat untuk memarkir kendaraan. Tapi mau bagaimana lagi. Tak ada tempat lain.
Saat baru turun dari mobil, beberapa bocah dan ibu-ibu langsung mengerubungiku seperti lalat. Di tangannya, mereka menjinjing beberapa kantong plastik berisi campuran macam-macam bunga dan dedaunan. Mereka berebut menawarkannya padaku.
“Beli bunganya Pak? Cuma seribu,” ujar salah seorang di antara mereka sambil menyodorkan kantong plastik itu padaku.
“Mmm…” aku masih agak bingung sehingga masih sibuk memperhatikan ke sekelilingku, ke kiri ke kanan.
Ternyata tak hanya padaku, bocah-bocah lain juga menawarkan bebunga untuk ditabur di atas makam itu kepada siapa saja yang datang. Mengerubungi mereka.
Akhirnya kuambil dua kantong kecil berisi bunga dari salah seorang bocah itu. Kusodorkan selembar lima puluh ribuan padanya.
“Belum ada kembaliaannya Pak? Apa tak ada uang kecil Pak?” ucap bocah itu padaku.
“Wah, tak ada Dik,” lanjutku karena memang itu lembar uang terkecil yang aku punya.
Lama ia dan teman-temannya menatapku. Agaknya mereka bingung untuk mencarikan uang kembaliannya.
“Ya sudah, buat adik saja,” ujarku kemudian karena tak mau menunggu lama. Lagi pula, sepertinya mereka memang butuh uang, hingga menjadikan tempat pemakaman ini sebagai tempat mencari nafkah.
Akhirnya aku berlalu, memasuki gerbang pemakaman umum itu. Lalu mulai mencari di mana letak pusara ibu.
“Ah, aku lupa di mana letaknya. Di bagian mana ya?” gumamku sendiri.
Kususuri padang makam itu satu persatu. Ribuan banyaknya. Rasanya dulu tak sebanyak ini. Tak kusangka, dalam lima tahun begitu banyak orang yang meninggal.
Hampir dua jam aku berkeliling, belum juga kutemukan pusara ibu. Kalau tak salah letaknya ke arah dekat sungai.Tapi tepatnya aku lupa.
Sudah dua kali aku berkeliling mengitari tepian sungai ini. Kubaca satu-persatu tulisan yang tertera pada ribuan nisan itu. Tak ada. Tetap tak ada. Ah, bagaimana bisa hilang. Kuingat-ingat lagi. Pusara ibu tepat berada di bawah sebuah pohon kamboja. Kalau tak salah lagi, di samping kanan ibu nisannya bertuliskan Siti Sarah.
Kuteliti lagi. Ah, ketemu, Siti Sarah. Tapi nisan disebelahnya bukan milik ibuku. Tapi, pohon kambojanya ada. Ah, mungkin bukan yang ini.
Lagi aku berjalan. Banyaknya makam-makam ini semakin mempersulit pencarianku. Aku mulai merasa putus asa dan lelah. Di bagian mana sebenarnya ibuku dimakamkan. Di antara ribuan makam itu, tetap tak kutemukan pusara ibu. Karena lelah, akhirnya aku memilih beristirahat sebentar. Aku duduk di pinggir salah satu makam, sambil kepalaku masih sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan.
Kalau tak salah, memang di sekitar sini. Tapi…..
Matahari benar-benar menggarang, membuat kelelahanku kian bertambah. Ah, kenapa bisa sesulit ini menemukan makan ibuku. Jika ke makam ayah, pasti tak sesulit ini. Tak kusangka, di kota yang tak terlalu besar ini pun orang-orang tak lagi memiliki tanah sendiri untuk tempat pemakaman. Sehingga menjadikan pemakaman ini padang nisan yang luas. Yang tak terhitung jumlahnya. Hingga begitu menyulitkanku menemukan makam ibu.
Tiba-tiba di antara lamunanku terdengar seperti sebuah suara berat memanggilku.
“Hei Nak! Nak!” ujarnya padaku berulang kali.
Perlahan aku menoleh. Seorang lelaki tua mendekat ke arahku. Mulanya kupikir bukan aku yang dipanggilnya sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. Tapi ternyata memang aku.
“Ya ada apa Pak,” ujarku sedikit heran, sembari berpikir apa aku mengenal pak tua ini.
“Begini Nak, dari tadi Bapak perhatikan, sepertinya kau sibuk mencari sebuah makam, apa sudah ketemu?” tanyanya kemudian padaku.
“Belum Pak.” Ucapku datar, dan aku benar-benar tidak mengenal orang tua ini.
“Makam siapa? Kalau boleh Bapak tahu, siapa namanya?”
“Siti Aminah, Pak. Ibu saya.” Jawabku mulai santai. “Mmm… apa Bapak petugas pemakaman umum di sini?” sambungku.
Lelaki yang kira-kira umurnya telah lewat separuh abad ini tak menjawab pertanyaannku. Ia malah menyuruhku mengikutinya, entah ke mana. Bingung dan ragu. Tapi aku penasaran, akhirnya kuikuti juga ia.
Pak tua itu lalu mengajakku ke sebuah pondok di sudut pemakaman ini. Dindingnya terbuat dari papan. Sudah tua dan seperti hampir roboh. Barangkali sama tuanya dengan umum bapak ini. Kupikir, rumah si bapak barangkali. Tapi sepertinya tidak.
Saat ia baru membuka pintu gubuk itu, hal yang tak biasa terlihat di sana. Hanya ada satu ruangan. Di dalam ruangan yang cukup besar untuk sebuah pondok itu, puluhan nisan berjejer di susun rapi di sana. Berbagai bentuk dan variasi warna. Hijau dan biru tua. Aku jadi semakin heran. Kenapa pak tua ini mengajakku ke sini?
“Apa Bapak seorang pembuat nisan?” lalu tanyaku hati-hati.
“Bukan,” ujar sang bapak singkat sembari tersenyum dingin padaku. Lalu ia sibuk memeriksa nisan-nisan itu. Membolak-baliknya satu persatu.
Aku bingung. Apa yang ingin dilakukan pak tua ini? Apa aku harus menungguinya atau membantunya membongkar puluhan nisan itu. Akhirnya aku berdiri saja memperhatikannya. Hampir lewat setengah jam.
“Pak?” ucapku lagi, berniat untuk pamitan, melanjutkan pencarianku. Aku harus menemukan makam ibu.
“Nah, ketemu,” ujar sang bapak tiba-tiba mengejutkanku sambil memboyong salah satu nisan biru tua ke arahku.
“Ini milik ibumu,” ucap pak tua, lalu menyodorkan nisan bertuliskan nama ibuku padaku. Kuperhatikan nisan itu lekat-lekat. Nama Siti Aminah tertulis dengan huruf kapital di sana, lengkap dengan tanggal lahir dan hari kematiannya. Ya, benar, ini milik ibuku. Tapi….
“Kenapa bisa ada di sini Pak? Lalu makam ibu saya di mana?” tanyaku semakin kebingungan.
“Makam ibumu sudah tak ada. Saya sudah tak tahu di mana letaknya,” ujar sang bapak sambil menunduk. Wajahnya seperti menunjukkan kesedihan. Atau, entahlah.
“Maksud Bapak?” ujarku semakin penasaran, dengan nada yang semakin meninggi.
“Begini Nak, kami pikir makam ibumu sudah tak ada ahli warisnya. Sudah lima tahun tak ada yang pernah menjenguk kuburannya, juga tak ada yang membayar biaya perawatannya. Jadi makam ibumu sudah digantikan dengan makam orang lain.”
“ Tempat ini sudah sangat sempit, sementara tiap tahun semakin banyak orang yang meninggal. Memang sudah begitu aturannya Nak. Perawatan pemakaman ini harus diurus setiap tahunnya kepada pengurus TPU Nak,” sambung pak tua.
Aku tercenung mendengar perkataan pak tua dihadapanku itu. Tubuhku gemetar dan dadaku tiba-tiba sesak. Lututku goyah dan pikiranku seperti melayang entah ke mana, melayang teringat wajah ibu. Tiba-tiba mataku basah. Rasa bersalah kini benar-benar menggerogotiku. Ketidaktahuanku tentang prosedur itu membuatku benar-benar kehilangan ibu.
Aku menangis sesegukan. Tak kuasa aku menahan sesal. Setelah semasa hidup tak pernah merawat ibu, menjaga kuburnya pun aku tak mampu.
“Maafkan Bapak Nak,” ujar pak tua masih berdiri menatapku.* * *
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar