Kejadian Lain,
Sudah pukul 07.35 WIB, lewat lima menit dari jam saat
biasanya kita berangkat ke kantor. Aku keluar rumah tergesa-gesa, sedikit
berlari. Sedangkan kau telah keluar
rumah lebih dulu, mengeluarkan motor katamu. Hingga saat kita bertemu di pertigaan
gang kontrakan kita, kulihat wajahmu sedikit bingung.
“Ban motor kita kempas Dik! Dua-duanya,” katamu tiba-tiba
setelah menghampiriku.
“Lho, kok bisa?”tanyaku sedikit panik, khas perempuan yang
memang gampang panik.
“Ngak tau dik, bocor kali,” ucapmu datar, khas laki-laki
yang selalu bisa menanggapi segala hal dengan santai.
“Kok bisa dua-duanya? Ban depan sama belakang? Dikempesin
orang kali?” tanyaku mulai berpikiran buruk.
“Iya kali ya, kejamnya!” ucapmu. “Eh, tapi jangan suuzhan
dulu, kali aja memang bocor.” sambungmu lagi, mencoba berbaik sangka dan
menularkannya kepadaku.
“Iya,” anggukku setuju, hingga tanpa sadar saat melirik jam
tanganku, kita telah menghabiskan waktu sekitar limat menit atas percakapan
ini.
“Ah, ayuk, sudah jam
berapa ini….!!!!” Ucapku kembali panik, takut kali ini kita akan telat sampai
di tempat kerja. Maklum, akhir-akhir ini para bos sedang gencar-gencarnya
menggalakkan disiplin, imbas pemberian tunjangan kinerja dalam program
Reformasi Birokrasi katanya. Mesti datang sebelum pukul 08.00 WIB, jika tidak,
siap-siap saja Pak Kepala akan menunggu seperti satpam di samping mesin
pencatat absensi. Telat satu menit aja, akan dikirimi surat cinta ke
masing-masing unit kerja. Isinya panggilan untuk menghadap ke bagian yang
bertugas untuk mengaudit untuk menjelaskan ihwal perihal alasan keterlambatan.
Meski tak terlalu genting, tapi mendapat surat panggilan ini cukup membuat tak
enak hati.
Biasanya saat malam kita memasukkan motor ke dalam rumah,
memarkirkannya di ruang tamu kontrakan kita. Biar lebih aman, begitu ucapmu
padaku sebagai alasan. Namun seminggu belakangan motor itu kita parkirkan di
halaman sebuah kos-kosan yang cukup luas, tak jauh dari kontrakan kita. Karena ada
saudara yang datang berkunjung, dan karena ukuran kontrakan kita yang sangat
minimalis, jadinya ruang tamu tempat biasanyanya kau meletakkan motor kita,
dipakai sebagai tempat istirahat untuk saudara, tentunya setelah disulap dan
dirapikan sedemikian rupa.
Lalu kau buru-buru memarkirkan motor kita di sudut lain, bergegas
berlari kearahku setelah meletakkan kunci motor ke dalam rumah. Kemudian kita
melakukan gerak cepat berjalan keluar gang, kita putuskan untuk menggunakan
ojek di depan gang untuk berangkat ke kantor kali ini, mengingat kemacetan
Jakarta, sudah bisa dipastikan kita akan terlambat tiba di kantor jika
menggunakan angkutan kopaja atau taksi sekalipun.
“Pak, Ojeknya dua!” ucapmu pada sekumpulan Bapak-Bapak
pengojek yang sedang duduk ramai di depan gang. “Ke jalan Ampera ya Pak,” katanmu lagi.
“Dimana itu Mas?” tanya sang tukang ojek padamu dengan raut
agak bingung.
“Ke Arsip Nasional Pak, dekat Cilandak,” potongku berusaha
memberi informasi lebih. Hingga sang tukang ojek terlihat mengangguk-angguk
pertanda paham. Gantian kau yang menyalipku, tanpa bertanya basa-basi terlebih
dahulu kau langsung bilang, “Dua ojek 50 ribu ya Pak!” ucapmu yang membuat
mataku tiba-tiba melotot. Naluri keperempuananku kembali bekerja, dalam hati
aku berkata, laki-laki memang selalu loyal terhadap harga, dan tak pernah ada
kata menawar harga dalam kamus mereka, sama halnya dengan perempuan yang selalu
identik lebih perhitungan. Apa daya, kesepakatan antar lelaki itu telah diraih,
dan aku mana bisa turut campur lagi.
Aku sedikit bingung
saat hendak menaiki ojek itu. Bingung dalam posisi apa seharusnya aku
menaikinya. Menyamping atau ngangkang kah? Biasanya jika tak terlalu terpaksa, aku
tak kan mau untuk naik ojek kemanapun. Jika pun harus dan tak ada pilihan lain lagi, maka
aku akan lebih memilih untuk duduk menyamping. Tapi kali ini, kondisinya kami
sudah sangat dikejar waktu, juga mengingat medan kemacetan yang akan ditempuh,
belum lagi kebiasaan tukang ojek yang sering kali selap-selip jalan di antara
kemacetan, akhirnya demi kelancaran dan keselamatan kuputuskan untuk duduk
ngangkang di belakang sopir ojek, tas ranselku kupindahkan ke depan, kusandang
diantara bapak pengojek dan diriku sebagai pembatas. Aku melirik padamu, tak sempat meminta persetujuanmu
terlebih dahulu, karena kepanikan lebih mengalahkan segalanya. Kau melihatku
sesaat yang kuartikan sebagai izin dan persetujuan darimu. Dan lalu kita pun
berangkat. Ngebut dan salip-menyalip, sebagai akibat kau meminta sang pengemudi
untuk agak cepat mengemudikan motornya agar kita tak terlambat. Alhasil lima
menit sebelum jam 08.00 wib kita sudah sampai di kantor. Alhamdulillah kita tak
terlambat.
“Dik, tadi bayar ojeknya kemahalan ya?” tiba-tiba tanyamu
kepadaku, mungkin kau tiba-tiba tersadar mengingat sifat perhitunganku. J
“He em,” gumamku seraya mengangguk.
“Jadi harusnya berapa?” tanyamu lagi.
“Biasanya 15 ribuan mas, paling mahal 20 ribu,” ucapku
datar. Kau lalu tertawa, aku pun tertawa.
“Ya udah, yang 10 ribu diikhlasin aja ya Dik, hitung-hitung
sedekah,” kemudian katamu, yang kubalas dengan anggukan dan senyuman.
Hari itu, sepulangnya dari bekerja, kita lebih memilih naik
angkot dari pada kopaja untuk sampai ke rumah, disambung dengan busway lalu
jalan kaki sekitar sepuluh menit dari jalan utama sampai ke kontrakan. Sudah
lama kita tak jalan kaki seperti ini, hitung-hitung sekalian berolahraga.
Sesampai di kontrakan, kita putuskan untuk segera mencari bengkel motor untuk
membenahi ban motor kita yang kempes. Kau menuntun motor kempes itu itu ke luar
rumah, dan aku memilih menemanimu, tak tega membiarkanmu sendirian. Meskipun
sebenarnya aku tak bisa bantu apa-apa, setidaknya aku bisa menemanimu untuk
ngobrol sepanjang perjalanan. Untunglah, ternyata bengkelnya pun tak terlalu
jauh, sehingga tak terlalu menguras tenagamu.
Setelah diperiksa, ternyata motor kita tidak bocor,hanya
iseng dikempesin seseorang dengan cara menekan lubang anginnya. Kau dan aku
bingung tentunya, siapa yang tega membuat motor kita jadi kempes seperti itu
hingga membuat kita hampir terlambat dampai ke kantor.
“Kejam,” ucapmu saat itu, namun sambil tersenyum ke arahku.
Ya, kita sama-sama tidak tahu, tapi kita sama-sama sepakat,
mungkin ini adalah akibat kita yang kurang bersosialisasi dengan para tetangga,
sibuk dengan urusan kita sendiri. Senin hingga Jumat, pagi hingga sore kita bekerja,
Sabtu Minggu sibuk bersih-bersih, mencuci dan memasak, waktu kita seakan habis. Kau dan akupun seolah
enggan ikut bergabung saat kumpulan bapak atau kumpulan ibu bergerombol di
depan rumah kita, bergosip atau membicarakan hal-hal lainnya. Paling kita hanya
sekadar lewat dan menyapa. Hingga kita tak tahu-menahu kabar tetangga-tetangga
kita. Ke depan, sepertinya kebiasaan ini harus segera kita perbaiki.***
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





6 komentar:
lama tak mendengar kabarmu.. ternyata banyak cerita di ruang ini :')
so sweet... :)
tapi eh, makanya Un... bergabung dg tetangga. :) hehe
hehe...Kak tut, kbr Makasar gmn? kt kak mit April ini kak tut balik Padang...
Siaaap rahma!!!!hehe
:) teduh sekali....
Dan... sungguh sama nasib sosialisasi dengan tetangga itu...
Padahal kak juga pernah dihadiahi Tarbawi yang isinya juga tentang 'bertetangga'
hiks..iya kak,biasanya di dpn kontrakan bpk2ny sering nongkrong, pada bergosip semua, ibu2ny juga. kita jarang bgt mau gabung, hampir dak pernah malah, dgn alasan menghindari ghibah..hehe, tp jdny malah hampir ga ada interaksi.. :)
Posting Komentar