:Setyo Nugroho
Satu tahun adalah waktu yang singkat, tapi sekaligus
panjang. Tergantung dari sudut mana dan bagaimana kita menilainya. Ah, waktu
memang selalu begitu sayang, relatif dan meragukan. Namun bagiku, satu tahun
ini adalah tahun terbaik dalam hidupku, saat bersamamu.
Bagaimana rasanya saat melihat seseorang yang terpilih
untukmu sedang duduk takzim menunggumu, tertunduk sambil sesekali memberanikan
diri menatap ke arahmu, sementara kau pun berjalan perlahan ke arahnya,
menggenapkan penjanjian yang dikatakan Allah dalam Al-Quran sebagai sesuatu
yang berat, Mitsaqan Ghalizha. Bagaimana rasanya jika langkahmu kian dekat,
semakin dekat, dan semakin dekat lagi, hingga membuat dadamu berdebar hebat,
sementara untuk mengangkat sedikit saja kepalamu yang tertunduk, kau tak
berani. Namun dalam dada ada terasa kebahagiaan yang menusuk-nusuk.
Aku pernah mengalaminya sayangku, sekali dan hanya sekali untuk selamanya.
***
Sabtu pagi, 4 Februari 2012, pukul sembilan tiga puluh waktu
dhuha. Kau mengambil perjanjian itu. Saat itu, aku duduk takzim di belakang
mendengar suaramu dari balik dinding. Gugup. Kita berada di ruang yang
terpisah. Seperti kepatutan yang seharusnya, kita tak hendak menodai prosesi
ikatan suci ini dengan hal-hal kecil yang justru mengurangi kebarokahan di
dalamnya. Sebelum terpatri kehalalan, tak hendak sedikitpun aku berada di
sampingmu, berdekatan, meski itulah saat pengucapan ijab dan qabul di hadapan
Tuhan. Biarlah aku menunggu, dan aku menunggumu dari sini, dari balik dinding
yang memisahkan kita.
Aku cemas, teramat cemas. Telah lewat dari waktu yang telah
ditentukan, sementara penghulu belum juga datang. Kau tahu sayang, di sana, di
belakang sana, keringat dinginku mulai bercucuran, hatiku mulai menghembuskan
pikiran-pikiran syetan. Mengapa orang yang bertugas untuk menikahkan kita itu
belum juga datang? Sesuatu telah terjadikah? Akankah semuanya nanti berjalan
sesuai yang kita rencanakan? Akan kah kau adalah aku dan aku adalah kau dalam
sebuah ikatan pernikahan? Akah kah ijab qabul kita Allah izinkan? Oh…aku takut,
sungguh takut sayangku, hingga seluruh telapak tanganku telah basah oleh
keringat.
Untunglah sepersekian detik setelahnya kegelisahan itu
segera berakhir, akhirnya penghulu datang juga setelah mangkir tiga puluh menit
dari jadwal yang seharusnya. Hatiku lega, tak henti-hentinya aku bersyukur pada
Allah saat itu. Dan segalanya pun segera dimulai.
Dari sana, dari balik dinding, sayup kudengar suara penghulu
melalui pengeras suara.
“Sudah siap?” tanya penghulu padamu yang membuyarkan
kecemasanku, namun justru semakin bertambah dengan tingkat kecemasan yang lain,
mungkin kau pun juga begitu, entahlah.
Tak begitu jelas kudengar jawabanmu, karena pengeras suara
hanya dikuasai penghulu saat itu, namun aku tahu pasti apa jawabanmu.
Ah, sayangku, beberapa menit ke depan hidup kita akan segera
berubah. Ini bukan hanya tentang menjadi sepasang suami istri, tentang kita
hidup bersama setelah ini, tapi ini jauh lebih berat lagi. Bagiku, setelah ijab
qabul ini aku akan sepenuhnya menjadi makmummu, makmum dalam artian sebenarnya.
Kelak segalanya tentangku adalah atas seizinmu, aku menjadi tanggunganmu dalam
segala pengabdianku, kau adalah panutan dan pembimbingku untuk bersama-sama
kita ke surga yang aku sendiri takut justru nanti akulah yang mungkin jadi
penyebab kita sulit mencapainya.
Semoga kita bisa melakukannya bersama-sama, menjadi Adam dan
Hawa yang boleh jadi melakukan kesalahan-kesalahan yang membuat Tuhan murka,
tetapi bersedia menebusnya dengan segala yang kita punya untuk kembali
menemukan surga. Kita akan melakukannya, berdua, dalam langkah-langkah kecil yang
kadang membuat kita letih atau tertatih, tetapi kita tak akan putus asa, sebab
sepenuh cinta kita akan selalu bersama untuk tetap berangkulan hingga di
akhirat sana.
Dan kini, terdengar suara Papa terbata-bata menyerahkan
kewajibannya untuk menikahkanku kepada Paman. Ya, karena Papa telah kesulitan untuk
berbicara akibat serangan penyakit stroke-nya. Dan Paman menerima perwalian
itu. Agaknya, paman kini sedang menggenggam erat tanganmu, dan aku tahu betapa
cemasnya kamu saat itu, aku pun begitu. Bibirku tak henti mengucap bismillah
dan doa-doa lainnya untuk mengusir ketaktenanganku.
Suasana menjadi hening seketika. Khidmat. Setelah lantunan
shalawat kepada Nabi Muhammad dan beberapa kali kalimat istigfar disusul
kalimat syahadat, penghulu mengucapkan kalimat itu dan meminta paman untuk
mengikutinya.
“Ya Setyo Nugroho bin Sukamto, saya nikahkan dan saya kawinkan
keponakan saya Ulvina Haviza binti Ahmad Gusti yang walinya telah berwakil
kepada saya, Saya nikahkan kepada engkau dengan mas kawin seperangkat alat
shalat dan perhiasan emas seberat 11,9 gram dibayar tunai.” Demikian paman
membacakan kalimat itu, yang tanpa banyak jeda langsung kau jawab dengan qabul.
“Saya terima nikahnya Ulvina Haviza binti Ahmad Gusti dengan mas
kawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas seberat 11,9 gram dibayar
tunai,” kau mengucapkannya dalam satu tarikan nafas, di tengah keheningan semua
orang.
“Syah?” tanya penghulu kepada para saksi dan hadirin tiba-tiba
memecah hening. Sementara aku masih dalam kecemasan di balik sana.
“Syah, syah,…” ucap suara-suara di luar sana hampir serempak. Hingga
seketika kelegaan menghampiriku, ada rasa sejuk yang mengalir disana, ke dalam
dada. Suasana berubah menjadi suka cita. Air mata mengambang di pelupuk mataku
di seberang sana. Kini kita telah menjadi sepasang suami istri, gemetar dalam
hati aku berbisik, mampukah ku untuk berusaha sebaik-baiknya menjadi Khadijah
kepada Muhammad untukmu, Zhulaikha kepada Yusuf dan Fatimah kepada Ali
untukmu….mendampingimu.
Kedatangan bibi dan kakak perempuanku membuyarkan lamunanku.
Mereka menjemputku untuk saatnya bersanding denganmu. Kemudian aku keluar,
berjalan perlahan didampingi mereka, menuju ke arahmu. Tak sedikitpun berani
aku mengangakat wajah untuk sekadar menatapmu. Lalu aku duduk di sampingmu,
menerima nasihat tentang pernikahan dari penghulu hingga kita menerima bukti
tentang pernikahan kita berupa buku kecil. Kau berwarna merah dan aku hijau.
Aku menoleh ke arahmu, kau juga menoleh ke arahku. Kita saling
bertukar senyuman dengan cara yang asing. Aku lalu mencium tanganmu pertanda
hormatku pada imamku untuk pertama kalinya. Namun mereka meminta kau mencium
keningku setelah itu. Aku malu. Kau pun malu, gugup, tapi aku mau.
***
Sesaat setelah riuh dalam suka cita, aku mencium tangan Papa,
tanpa kata, hanya air mata yang saling membasahi tebing pipi. Hingga saat
memeluk ibumu, rasa haru semakin membanjiriku.
“Yang rukunlah berumah tangga nanti, titip anak ibu,” ucap ibumu
yang juga telah berkaca-kaca, yang hanya bisa kubalas dengan anggukan karena
menahan sesak di dada. Dalam hati aku berbisik, tak akan pernah mengambilnya
dari ibu, dia tetap anak ibu, dan ibu tetap yang terutama.
“Semoga pernikahan kalian selalu mendapat keberkahan,” kemudian
bisik ayahmu.
Di hadapan mereka, aku hanya bisa menangis. Kita semua menangis
dalam sedih namun ada kebahagiaan yang menyesak disana. Aku menatapmu.
Apakah kau masih ingat semua yang terjadi hari itu Sayangku?
***
Sehari setelah pernikahan kita, kau membawaku ke sebuah kontrakan
tak jauh dari tempat kita bekerja. Kecil, namun lebih dari cukup. Alhamdulillah
perabotannyapun sudah jauh dari terlengkapi. Sudah ada kasur dan lemari
pakaian, dan kau juga telah punya televisi dan kipas angin sebelumnya.
Sementara peralatan dapur yang cukup lengkap dihadiahi teman-teman satu kantor
kita. Ah, betapa baiknya mereka.
Aku yakin, kita punya banyak cinta. Cukup untuk mengarungi bahtera
rumah tangga kita ke depannya, mulai sejak saat ini.
Setiap hari, aku bisa memperhatikanmu yang tertidur di lantai
karena kelelahan setelah seharian bekerja, atau sibuk mengamati para politikus
yang sedang berdebat di televisi, atau membantuku membilas pakaian yang telah
kukuceki, atau yang paling kusenangi saat kau bercerita apa saja tentang masa
perjuangan di zaman Nabi. Ah, sayang, aku berjanji untuk lebih setia lagi
mendampingi, lebih sigap lagi untuk melayani keperluamu, untuk sebaik-baiknya
menjadi tulang rusukmu. Untuk kebahagiaan kita.
Entah kesabaran yang keberapa milikmu atas diriku, kesabaran yang
kesekian kalinya yang masih menguji kita.
Empat bulan setelah pernikahan kita, kabar bahagia itu datang, aku hamil
dan kita akan memiliki buah cinta kita. Namun sepertinya Allah kendak menguji
kesabaran dan kesetiaan kita pada-Nya. Hanya dua setengah bulan janin itu
bersarang di rahimku, Allah kemudian kembali mengambilnya.
Aku menangis, kau pun menangis, tetapi tak sederas isakanku. Saat
itu kau menunjukkan kesabaran luar biasamu.
“Sabar ya Sayang, insyaAllah Allah akan mengantinya dengan yang
lebih baik, mungkin saat ini kita belum siap,” katamu saat itu menenangkanku.
Entah apa jadinya jika itu bukan kamu. Kau selalu bisa untuk
bersikap tenang, seperti apapun kondisinya. Hingga setelah setahun pernikahan
kita, tak sekalipun pernah kau memarahiku, atas kecerobohanku, atas sifat kekanak-kanakanku,
atas hatiku yang mudah basah, atas kecerewetanku, atas khilafku selama
melayanimu sebagai pendampingmu, terdengar nadamu yang sedikit meninggipun
tidak. Kau ingat, aku pernah membuatmu menitikkan air mata, karena janji yang
telah kita sepakati bersama terlanggar olehku. Aku sedih luar biasa, terlebih
kau tentunya. Kita menangis bersama, aku tenggelam dalam sesalku, kau tenggelam
dalam dukamu. Maafkan aku ya Sayang, sungguh pelajaran berharga untuk tak
sekali-kali lagi menyakitimu, mengecewakanmu. Entah apa jadinya jika itu bukan
kamu.
Tepat beberapa hari sebelum setahun pernikahan kita, kita telah
punya rumah yang jauh lebih dari nyaman, juga punya tabungan yang cukup untuk menyicil
satu-satu perabotannya. Di atas semua itu, aku sudah punya kamu, lelaki paling
istimewa dan suami paling hebat sedunia.
Terima kasih telah selalu ada untukku, dengan banyak cinta.
***
Sayangku, hari ini tepat satu tahun pernikahan kita. Aku memandang
foto pernikahan kita, tiba-tiba satu tahun terasa begitu cepat, sebab telah
banyak peristiwa yang kita lewati bersama sebagai suami istri yang bahagia. Dan
waktu memang selalu begitu sayang, menyisakan ruang untuk kita bisa selalu
berupaya melakukan perbaikan dalam perputarannya yang panjang.
Jika suatu hari aku ditanya keputusan terbaik yang pernah aku
ambil dalam hidupku, aku tak akan ragu menjawabnya: menikah denganmu adalah
keputusan terbaik dalam hidupku.
Selamat ulang tahun pernikahan kita Sayangku. ***
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





2 komentar:
whoaaa... tulisan yg iko memotivasi bana ko ha, Un... wkwkwkwk... indak gai doh, Un. Bagarahnyo. ^_*
Happy anniversary Un...
mksh rahma,..iyo, pacapek lah, manyasa lamo2 bna beko..hehe
Posting Komentar