Oleh Ulvina haviza
Katanya, aku harus bertanggung jawab karena telah menghilangkan surat itu. Padahal, bukan aku yang menghilangkannya. Padahal pihak kantor poslah yang salah dalam hal ini menurutku. Surat itu memakai jasanya, hingga hamper sebulan surat itu tak jua sampai. Padahal, alamat telah kutuliskan dengan sangat jelas.
Kata petugas di kantor pos tempat aku mengirimkannya, surat itu akan sampai dalam waktu tiga hari, apalagi aku memilih “kilat khusus”. Tapi aku mendapat kabar dari seberang, sampai hari ini surat itu belum sampai juga. Berkali-kali kuurus ke kantor pos, menanyakan, kenapa suratnya kok enggak sampai. Pihak kantor pos, lagi-lagi minta aku menunggu saja, sambil dia mencek kemana surat itu kira-kira.
“Gimana nih, Surat Keterangan pindah dari kantor lurah itu belum sampai juga. Aku butuh KTP secepatnya. Enggak mungkin dong di kota besar ini aku enggak punya tanda pengenal satu pun,” desak saudara perempuanku yang baru beberapa bulan pindah ke Jakarta itu. Ia baru mendapat pekerjaan di sana. Otomatis status kependudukannya di sini tak berlaku lagi. Mesti segera ditukar dengan tanda pengenal merek Kota Jakarta pula. Ya, mau tak mau akulah yang mesti mengurus surat pengantar kepindahannya itu. Nah, itu pula kini jadi masalah.
“Sabar ya, tunggu saja. Sebentar lagi juga sampai,” ucapku berusaha membujuk, sekadar mencoba menghentikan omelannya padaku. Aku hibur juga kakakku, kalau orang kantor pos sudah berjanji menyelesaikan masalah ini.
“Enggak bisa! Aku mesti mengurus asuransi dan surat-surat lain secepatnya. Aku butuh KTP. Kamu mesti minta lagi surat itu ke kantor lurah, karena kamu yang menghilangkannya.”
Dan pembicaraan di telepon itu pun ditutup dengan perintah aku mesti membuat ulang surat itu ke kantor lurah. Huff, sesungguhnya aku malas berurusan ke kantor kelurahan itu. Entah kenapa, setiap kali ke sana, mereka para petugas di kantor kelurahan itu selalu menunjukkan ketakramahan. Tak hanya padaku, tapi hampir pada semua orang yang berurusan ke sana. Begitu kuperhatikan.
* * *
Setiap kali ke kantor lurah, kantor ini tak pernah sepi. Selalu ramai oleh orang-orang yang terbentur dengan persoalan administrasi kependudukan. Saat baru melangkahkan kaki di pintu masuk saja, sudah ada lima orang yang antre menunggu untuk dilayani. Dan aku berada di urutan ke enam.
Segera saja aku menghampiri petugas yang mengurusi soal pindah-memindahkan penduduk. Aku sudah hapal wajahnya, sebab sebelumnya aku juga berurusan dengan laki-laki paruh baya yang berperut buncit itu. Seperti kemarin-kemarin, ia masih saja memasang wajah dingin padaku. Mungkin ia tahu, kalau di kantor sekecil ini dia dibutuhkan. Dasar orang kecil, berjabatan secuil saja sudah angkuh, batinku.
“Begini Pak, saya mau minta tolong,” ucapku berusaha seramah mungkin dengan maksud agar ia tak mempersulitku.
“Ada apa?” ucapnya singkat.
Kujelaskanlah semua duduk perkara. Mulai dari mengingatkan sang bapak bahwa aku pernah berurusan dengannya, soal Surat Keterangan Pindah itu, hingga perihal aku menghilangkannya. Ah, bukan, bukan aku. Pihak kantor pos yang menghilangkannya.
“O, kalau itu tidak bisa. Mana bisa membuat Surat Keterangan Pindah dua kali,” ucap petugas itu datar padaku dengan garis-garis wajah yang semakin mengerut di keningnya. Kulihat miskin sekali keramahan di wajahnya. Dia seolah tak memikirkan perasaanku, apalagi raut wajah sedihku yang mulai memelas.
“Tolonglah Pak! Saudara perempuan saya butuh surat itu untuk membuat KTP secepatnya,” bujukku kian memelas dan berusaha tetap dengan nada seramah mungkin.
“Ya enggak bisa semudah itu Dik, mana bisa bikin surat yang sama dua kali,” ucap sang bapak, masih dengan nada datar dan kesan dingin yang seolah dipaksakan padaku.
“Aduh, tolonglah Pak. Bukti pengiriman dari kantor pos-nya kebetulan hilang. Jadi saya tak bisa menuntut ke kantor pos. Usahakan lah Pak,” ujarku setengah merengek, masih belum mau menyerah.
Bapak yang bagiku berwajah cukup sanggar itu lalu menatapku lama. Entah kenapa aku tak tahu. Yang jelas aku terus saja memasang wajah memelas.
“Begini saja Nak, kamu mesti minta Surat Keterangan Hilang dulu ke kantor polisi. Bilang kalau Surat Keterangan Pindah itu hilang karena pengiriman melalui pos. Setelah itu Bapak akan bantu mengurus surat itu lagi,” ujar petugas itu mulai terasa ramah padaku. Sepertinya ia merasa kasihan karena wajah memelasku. Atau jangan-jangan…. Ah, entahlah.
Tanpa pikir-pikir lagi aku langsung saja melesat menuju kantor polisi yang dimaksud dengan angkutan umum. Sementara dalam hati aku mulai merasa cemas. Bukannya apa-apa, selama ini aku sama sekali belum pernah berurusan dengan kepolisian.
Benar saja, kakiku mulai gemetar saat baru sampai di sana, di depan kantor polisi itu. Tapi apa boleh dikata, sudah sampai di sini, mau tak mau aku harus melakukannya. Pagi itu kantor polisi masih terlihat sepi. Hanya ada satu buah mobil bak belakang bermerek “Polisi” yang parkir di depannya. Sementara mataku masih sibuk mencoba mengamati ke dalam kantor, mencari tahu kepada siapa aku harus bertanya nantinya.
Akhirnya kutemukan seorang lelaki berseragam sekitar dua puluhan duduk manis di pintu masuk. Ia sibuk menonton sinetron yang sedang diputar pada televisi yang menempel pada dinding di depannya, hingga kemudian ia tersadar dengan kedatanganku. Tanpa pikir panjang lagi, langsung saja kuutarakan maksud pada polisi yang kurus tinggi ini.
“Permisi Pak, saya mau bikin Surat Keterangan Hilang, dimana ya Pak?” tanyaku dengan suara agak gemetar.
“Di dalam,” ujarnya singkat sambil tangannya menunjuk ke salah satu ruangan.
“Oo, makasih ya Pak,” ucapku berusaha ramah, yang hanya dibalas polisi ceking itu dengan anggukan. Sebelum beranjak, sempat terpikir, ternyata laki-laki kurus juga bisa jadi polisi.
Tepat di depan ruangan yang dimaksud, langkahku terhenti. “Tunggu di luar dulu Dik,” kata petugas yang duduk di balik meja di ruangan tersebut. Rupanya seorang perempuan berpakaian dinas juga sedang mengurus surat yang sama denganku. Kalau tak salah dengar, ia kehilangan passport. Jadinya aku duduk manis saja di kursi tunggu.
Hampir setengah jam menghabiskan waktu menunggu, barulah aku mendapat giliran. Segera saja aku masuk ke ruangan itu. Petugas yang ada di depanku ini sedikit lebih tua dari polisi kurus di depan tadi, dan wajahnya terlihat sedikit lebih ramah.
“Apa yang hilang Dik,” ucapnya langsung tanpa basa-basi padaku.
“Oh, itu Pak,” ujarku, kemudian mulai bercerita panjang lebar, sama seperti yang kulakukan di kantor kelurahan sebelumnya. Hanya saja kali ini ditambah dengan kalimat penutup agar permohonanku di kabulkan. “Menurut petugas kelurahan, saya harus minta Surat Keterangan Hilang dari kepolisian ini dulu Pak,” ucapku selugu mungkin.
“Namanya Dik?” ucap Pak Polisi itu kemudian. “Ah, KTP saja, KTP-nya mana?” tambahnya.
Aku mengeluarkan tanda pengenalku itu dari dalam dompet, lalu menyodorkannya pada si petugas. Kemudian ia sibuk mengetikkan sesuatu pada layar komputer di depannya sambil sesekali mengajukan beberapa pertanyaan padaku. Soal suku bangsa, pekerjaan, dan pertanyaan menyangkut administrasi lainnya. Tak lama berselang, ia memintaku menandatangani selembar Surat Keterangan Hilang yang sudah jadi itu, kemudian menyerahkannya padaku.
Kupandangi surat yang baru saja diberikan pak polisi itu. Kutatap dia, lalu mengangguk-angguk kecil, “Terima kasih, Pak!”
“Ya, administrasinya Dik!” ujarnya kemudian padaku.
Mulanya aku bingung. Berusaha berpikir keras memahami maksud perkataan polisi di depanku ini. Administrasi? Oh, tiba-tiba aku mengerti. Biaya administrasi ya. “Berapa Pak?” ucapku agak ragu.
“Terserah Adik saja,” jawabnya padaku.
“Waduh, terserahnya berapa ya Pak?” tanyaku lagi berlagak bodoh.
“Ya terserah. Kalau mau kasih 20 juta juga enggak apa-apa. Biar saya ambilin dulu tas buat duitnya,” ujar polisi itu sambil tertawa padaku.
Ah, ada-ada saja polisi ini. Aku pun balas tertawa sambil mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan dari dalam tas sandangku. Kusodorkan kepada pak polisi itu lalu cepat-cepat pamit. Takut kalau-kalau sang polisi meminta uang tambahan, karena jumlah itu tak ada apa-apanya dibanding 20 juta yang disampaikan dalam guraunya tadi.
Setelah mengantongi surat dari kepolisian itu, dengan cepat aku kembali melesat ke kantor kelurahan. Dengan senyum bangga aku menyodorkan Surat Keterangan Hilang tersebut kepada petugas yang tadi kutemui.
“Tolong secepatnya ya Pak,” ucapku sambil bersiap-siap beranjak meninggalkan ruangan itu. Tapi sang petugas hanya balas menatapku lama. Ada apa ya? Apa ada yang salah denganku. Oh, aku lupa, “administrasi”, pikir otakku yang bekerja cepat.
“Berapa ya Pak?” tanyaku mulai fasih.
“Terserah Adik saja,” ucap petugas itu.
Ah, lagi-lagi jawaban yang sama seperti di Kantor Polisi tadi.
“Untuk ongkos pergi mengurus surat ini ke catatan sipil saja sudah sepuluh ribu Dik,” ucap sang bapak saat aku masih sibuk berpikir berapa ribuan yang harus kuberikan pada bapak bertubuh gempal ini.
Akhirnya kusodorkan selembar dua puluh ribuan kepada sang bapak. Dua kali lipat dari yang tadi kuberikan pada petugas di kantor polisi. Kuharap dia cukup senang dengan selembar uang hijau muda itu.
Aku kemudian beranjak berdiri sebelum kemudian petugas kelurahan itu kembali menghentikan langkahku. “Tambah lima ribu lagi Dik,” ucapnya datar tapi kedengaran agak memelas di telingaku.
“Wah, apa masih kurang Pak? Saat mengurus surat sebelumnya, saya juga sudah bayar 30 ribu lho Pak.”
“Ya enggak bisa begitu Dik. Saya mesti ngongkos lagi buat ke catatan sipil, belum lagi bayar kertasnya,” ucap bapak yang kurasa mulai mencari-cari alasan ini.
Apa? Masa untuk mengurus selembar surat itu saja sebegitu mahalnya. Bapak kan sudah digaji tiap bulannya. Memangnya tidak cukup ya? Sampai-sampai mesti meminta uang saku pada rakyat kecil seperti saya ini, gumamku dalam hati. Hampir saja sumpah serapah itu keluar dari mulutku. Tapi kutahan. Aku tak berani mengatakannya. Bisa-bisa repot urusannya nanti, surat yang kuminta bakal tak selesai-selesai.
Dengan kejengkelan yang tertahan, kusodorkan juga selembar uang lima ribuan pada petugas itu. Lalu secepat mungkin meninggalkan kantor kelurahan itu. Lega rasanya setelah sampai di luar.
Dan saatnya aku menuju ke kampus. Kali ini aku mesti mendapatkan surat sehat untuk mengurus beasiswa kuliahku. Ah, maksudku Surat Keterangan Sehat. Sebenarnya tak harus mengurusnya di poliklinik kampus, ke rumah sakit manapun bisa. Tapi, demi menekan biaya pengeluaran, aku lebih memilih mengurusnya di kampus. Karena untuk mahasiswa, urusan ke poliklinik ini selalu tanpa bayar, semua sudah ditanggung universitas. Memang hebat universitasku ini.
Aku mulai merasa sedikit lelah saat baru tiba di satu-satunya bangunan bercat putih di kampusku itu. Tak hanya bangunan, semua orang yang ada di sini pun berseragam serba putih. Dan kali ini aku benar-benar sial, sudah banyak yang duluan datang mengantre sebelumku. Belasan, atau mungkin hampir puluhan banyaknya. Ah, tentu saja, bukan hanya aku yang mengurus dan butuh beasiswa buka. Apa boleh dikata. Kali ini aku benar-benar hanya bisa menunggu. Hingga tiba giliranku yang ke dua puluh sekian.
Aku dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan oleh salah seorang perawat yang bertugas. Ia lalu mengukur tinggi dan berat badanku, serta tekanan darahku. Lalu menuliskan hasilnya pada buku catatan di depannya. Itu saja, lalu menyuruhku keluar. Tak lama berselang, petugas yang berjaga di depan memanggilku, pertanda Surat Keterangan Sehat milikku telah selesai. Bergegas aku mendekatinya. Dan benar saja, ia lalu menyerahkan surat sehat milikku yang sudah jadi.
“Makasih ya Bu,” ucapku lalu beranjak pergi.
“Eh, biaya administrasinya sepuluh ribu Dik,” ucap petugas itu yang tiba-tiba membuat langkahku terhenti.
“Lah, ada biaya administrasinya juga Bu? Bukannya kalau berurusan ke sini biasanya gratis,” bantahku setengah tak percaya.
“Ya sekarang bayar Dik, biaya administrasi buat kertas sama stempelnya.”
“Kalau saya enggak mau bayar, gimana Bu?” ujarku berusaha berkilah.
“Ya, mana bisa begitu. Yang lain semuanya juga pada bayar,” ujarnya dengan nada yang mulai meninggi. Aku tertegun. ;agi, biaya administrasi. Yah, memang hebat universitasku ini, batinku dengan sinis. Padahal semua tahu, mahasiswa gratis, karena ini adalah hak mahasiswa.
Wah, mulai gawat nih. Kalau petugas ini terus-terusan berteriak, bisa malu aku, pikirku. Akhirnya dengan terpaksa lagi-lagi aku mengeluarkan selembar sepuluh ribuan untuk mendapatkan surat itu. Dengan perasaan kesal segera kutinggalkan poliklinik itu.
Aku benar-benar kesal jadinya. Hingga tiba-tiba aku baru menyadari, ada selembar surat lagi yang mesti kuurus. Surat Izin Penelitian ke Balai Kota untuk tugas kuliahku. Ah, bagaimana bisa lupa.
Hari sudah beranjak siang. Segera saja kuambil angkutan menuju Kantor Balaikota. Sayangnya, kantor itu baru pindah lokasi ke daerah pinggir kota yang jauhnya bukan main, sehingga aku harus menyambung angkutan dan hampir menghabiskan waktu satu jam untukku menuju ke sana. Udara yang panas pun benar-benar tak mendukung.
Tak hanya itu saja, sesampainya di sana, aku pun tak tahu di mana tempat pengurusan suratnya. Terlalu banyak ruangan di sini. Jadilah aku bertanya kian kemari. Hingga setelah lewat setengah jam, barulah aku menemukannya. Dan lagi-lagi aku mesti berurusan dengan lelaki lima puluhan. Tapi kali ini sedikit lebih kurus dan lebih sering tertawa.
Karena mulai merasa kelelahan, tanpa basa-basi kusodorkan surat pengantar dari kampusku padanya. Surat itu berisi permohonan izin penelitian di kantor tersebut. Setelah beberapa saat memahaminya, sang bapak kemudian membuatkan salinannya. Aku disuruh menunggu sebentar. Dan, wah, surat itu selesai dalam sekejap.
Petugas itu lalu menyodorkannya padaku setelah membungkusnya rapi dengan amplop putih. “Berapa Pak?” tanyaku tak mau kecolongan lagi perihal biaya administrasi.
“Berapa yang ada saja Dik,” ucapnya ramah.
Berapa yang ada? Lah kalau aku cuma punya seratus rupiah, apa dia mau menerimanya. Tapi sebelumnya sempat kuperhatikan seseorang yang juga mengurus surat sebelumku, ia menyerahkan selembar lima ribuan pada sang bapak. Tanpa basa-basi lagi kuberikan pula lima ribuan terakhir yang kupunya dari dalam tasku. Awas saja kalau dia minta tambah, pikirku.
“Terima kasih Pak!” ucapku lalu melesat secepat mungkin, sambil sesekali melihat kebelakang, takut kalau-kalau sang bapak kembali memanggilku. Ah, ternyata tidak.
Aku kemudian beranjak pulang. Rasa lelah dan kantuk benar-benar telah menghantuiku. Hampir saja aku tertidur di atas angkutan saat perjalanan pulang. Akhirnya urusan surat-menyurat ini berakhir juga. Hari ini aku menghabiskan 50 ribu rupiah utuk bisa mendapatkan empat lembar surat.
Dalam hati aku berdoa, “Tuhan, selalulah beri aku uang, agar aku dapat mengurus surat-surat dalam hidupku.” Setelah doa itu, sms dari kakakku muncul di handphone bututku dengan pesan: Dik, Alhamdulillah surat keterangan yang hilang di kantor pos itu sudah datang.’’’’
* * *
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar