Biar Cepat Asal Selamat
Memasuki kota Jakarta, tepat pukul 12 siang, Kamis (13/8). Apa yang dikatakan orang-orang, Jakarta itu panas mulai terasa ketika pertama kali melangkah menuruni Bus Sumbangan Presiden RI Tahun 2005 Universitas Negeri Padang (UNP). Sejuk dari AC bus mendadak berganti udara Jakarta yang terik dan pengap. Jika menengadah ke langit, cuaca terlihat seolah mendung karena langit seperti diselimuti kabut gelap. Namun anehnya, keringat terus tak henti mengucur dari badan. Gerah dan kepanasan.
Bingung, ternyata bukan langit dan cuaca yang “bikin gara-gara”, polusi dan kabut asap Jakartalah yang memang menggila. Di atas sana, lingkaran matahari terlihat bulat sempurna dan memerah karena tertutup kabut, langit biru tak sedikitpun terlihat walau untuk sekadar mengintip, segalanya rata dengan warna kelabu. Ah…kota Jakarta….
Kunjungan pertama ke Jakarta adalah media nasional yang membesarkan nama politikus Surya Paloh, Media Indonesia (MI). 28 kru Surat Kabar Kampus Ganto UNP ditunggu di gedung yang satu atap dengan Metro TV itu pada pukul 14.00 WIB. Karena ini pengalaman pertama ke Ibu Kota, jadi sangat menimbang-nimbang agar tak terjebak macet. Maklumlah, Jakarta.
Saking ingin tepat waktu, tak mau dibilang ngaret, pukul 09.30 WIB kami langsung bertolak dari Bogor, tempat persinggahan sebelumnya. Alhasil, kita adalah orang yang lebih dari pada tepat waktu. Sebelum tengah hari, kami sudah sampai di lokasi. Karena sedari pagi perut belum menyentuh yang namanya nasi, warteg pinggir jalan di depan MI pun menjadi pilihan, sekalian menghabiskan waktu yang masih sisa dua jam sebelum pertemuan dengan kru MI. Makan mesra di Jakarta masih ala anak kost Ganto, sepiring berdua. Di sanalah letak kebersamaannya.
Warung Tegal kecil ini memiliki bangunan yang sangat irit. Dinding bangunannya menyatu dengan dinding pagar pembatas jalan umum. Namun ketika telah masuk ke dalam, ternyata cukup luas juga. Cukup untuk menampung 28 orang, meski jadi sesak juga. Sempat terpikir, apa seperti ini rumah-rumah penduduk kecil di Jakarta. Tersembunyi dan menjorok ke dalam. Di belakang warung nasi ini terdapat kali kecil yang Subhanallah kotornya. Warnanya telah kelabu tak karuan, diselang-selingi sampah-sampah yang cukup menambah warna-warninya kali. Ditambah lagi bau yang cukup menyengat penciuman. Untunglah bau tak sedap itu tak sampai tercium ke lokasi santap-menyantap.
Selesai makan nasi pulen ciri khas Jawa itu, beringsut-ingsut menuju mushala kecilnya Metro TV menghadap Sang Penguasa. Masih 13.30 WIB, namun rombongan yang bisa dikategorikan besar ini bersemangat langsung menuju Kantor Redaksi MI, meski tetap harus mondar-mandir tak jelas di halaman tempat parkir. Seperti biasa kamera yang ada di tangan tak bisa dibiarkan begitu saja. Bukan kru Ganto, bila tak gila melihat kamera, gila untuk bergaya tentunya.
Mulai dari Terjun ke Lapangan
Penantian kemudian dengan cepat berakhir. Tepat pukul 14.00 kurang lima, akhirnya rombongan mahasiswa Minang ini dipersilahkan masuk juga. Langsung dituntun menuju ruang pertemuan yang biasa digunakan MI untuk rapat perencanaan. Disambut ramah oleh Cusomer Service dan Marketing MI, Farah, yang sejak dari Padang gigih meminta kami untuk konfirmasi jadwal kunjungan.
Di MI kami didampingi pemateri Asisten Kepala Divisi Pemberitaan, Ade Alawi. Farah sendiri yang langsung bertindak sebagai moderatornya. Metode yang digunakan seperti acara seminar biasa. Penyampaian materi serta diskusi tanya jawab. Namun sebelumnya kami disuguhkan film pendek yang menceritakan sistem kerja MI, mulai dari mencari berita hingga cetak. Bisa dikatakan arus berita dalam satu harinya MI.
Pertama, tentunya rapat perencanaan yang bagi MI disebut rapat proyeksi redaksi pada pukul 09.00 pagi setiap harinya. Merencanakan peristiwa yang sudah ataupun telah terjadi untuk diangkatkan menjadi berita. Tentu tetap memperhatikan unsur aktualitas dan menariknya. Yang dikerahkan adalah wartawan yang paling dekat dengan peristiwa. Lalu reporter mencari tahu dan menanyai narasumber untuk mendapatkan data seakurat mungkin. Dengan demikian reporter dapat memilih angle beritanya sendiri di lapangan. Agar tak basi, reporter harus jeli mengambil angle yang menarik dan berbeda, karena media harian sering saling bertarung agar beritanya menarik dan diminati pembaca.
Kemudian, reporter melaporkan fakta peristiwa yang terjadi di lapangan kepada redaktur, lalu didiskusikan secara mendalam di rapat pengecekan berita pukul 12.00 siang. Hampir sama dengan rapat perencanaan, setiap orang memiliki suara untuk memberikan masukan dan tanggapan mengenai masalah berita yang diangkat. Jika masih banyak yang belum lengkap, reporter sendiri harus melengkapinya. Seperti dengan berdiskusi dengan rekan kerja untuk melengkapi data.
Tak jauh berbeda dengan Ganto, setiap kegiatan penerbitan dimulai dengan rapat perencanaan. Merencanakan peristiwa dan isu yang terjadi yang akan dibahas, tapi ruang lingkupnya kebanyakan adalah mahasiswa dan kampus. Namun, penugasan reporter di Ganto tak selalu mereka yang terdekat dengan peristiwa. Karena pengelolanya adalah mahasiswa yang masih terikat pada payung universitas, sehingga mahasiswa di suatu fakultas dianjurkan untuk tidak membuat berita mengenai peristiwa atau penyimpangan yang terjadi di fakultasnya sendiri. Ini untuk menghindari intervensi oleh pihak-pihak tertentu di fakultasnya sendiri nantinya, juga untuk melindungi si reporter apabila berita yang dibuatnya menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa kurang senang atau dirugikan.
Karena tak selalu reporter yang yang dekat dengan peristiwa yang terjun ke lapangan, sehingga memakan waktu lagi bagi reporter lain untuk mencari data selengkap mungkin dan terjun ke lapangan. Untuk pengambilan angle pun kita masih sering memaparkan secara biasa apa yang terjadi di lapangan, keseringan masih belum menemukan sisi menarik yang benar-benar berbeda. Mungkin karena di universitas kitalah satu-satunya koran kampus yang bisa dikatakan eksis, sehingga tidak adanya saingan yang dapat memotivasi untuk mendapatkan berita dengan sisi yang paling menarik. Berbeda dengan koran harian, terutama media nasional yang terus berlomba-lomba untuk mendapatkan dan menghasilkan berita yang terbaik. Tapi saya pikir ini adalah proses belajar untuk menuju ke-real-an itu nantinya.
Satu hal menarik dari MI, setiap pukul 12.00 WIB, mereka selalu melakukan rapat cheking atau pengecekan berita, ini belum dilakukan Ganto, meski bukan dengan skala harian tentunya. Di Ganto, setelah pembagian penanggung jawab berita dan reporter turun ke lapangan, selanjutnya reporter hanya berdiskusi dan berkonsultasi dengan redakturnya masing-masing. Menurut pandangan saya, pengetahuan dan informasi yang didapat terkadang bisa jadi belum sepenuhnya. Karena pada saat rapat pengecekan berita, yang memiliki informasi dan mengetahui perkembangan berita yang kita buat dapat memberikan masukan dan tanggapan untuk berita kita. Ini juga dapat memperkaya pengetahuan si reporter tentunya.
Hal lain yang berbeda, apabila berita yang dibuat serta data yang dibutuhkan masih belum lengkap, di MI reporter cukup bertanya kepada sesama rekan kerjanya atau mencari lewat dunia maya (internet). Namun di Ganto, reporter harus terjun lagi kelapangan bila memang belum lengkap. Bahkan bila perlu, melakukan wawancara ulang. Hal ini mungkin karena jangka waktu terbit, MI harian sementara Ganto bulanan, bahkan terkadang dwibulan.
Selanjutnya apabila berita telah selesai, tim artistik menyiapkan desain perwajahan surat kabar termasuk desain iklan. Hasilnya dijadikan dalam bentuk Dami (kerangka tata letak dan isi surat kabar sebelum cetak) yang kemudian dibagikan kepada semua redaktur, termasuk kepada bagian foto agar dapat mengancang-ancang letak foto yang akan dimasukkan. Ini agar redaktur dapat memantau sendiri bahan masuk yang menjadi tanggung jawabnya. Saya rasa Ganto telah menjalankan hal ini, hanya saja mungkin belum maksimal. Apabila bahan dari redaktur telah masuk proses layout, keseringan redaktur tak tahu-menahu lagi mengenai tata letaknya. Semua diserahkan kepada layuoter dan Pemimpin Redaksi, begitupun fotonya. Namun akhir-akhir ini sudah dimulai langkah tersebut meski tetap belum maksimal. Setidaknya sudah ada usaha ke arah itu.
Maksimalkan Riset
Media yang baik, idealnya selalu mensinergikan alat pengendalian fakta secara maksimal dalam menghasilkan produk jurnalistiknya, yaitu wawancara, reportase dan riset. Sebagai media kampus, Ganto telah berusaha menjalankannya. Hanya saja Ganto belum melakukan riset secara maksimal.
Pada MI, apapun peristiwa atau permasalahannya mereka selalu berusaha melakukan riset. Menurut Ade Alawi, untuk laporan harus selalu dilakukan riset kecil-kecilan, dan untuk riset tersebut data harus kuat. Tak hanya itu, riset juga dilakukan untuk mengetahui permasalahan-permasalahan nasional, seperti korupsi yang menjangkit di suatu tempat dengan skala yang besar. Pengungkapannya dilakukan setelah melakukan riset secara mendalam.
Memang untuk laporan Ganto telah melakukan pencarian data awal, namun saya rasa belum begitu maksimal untuk pengembangan suatu masalah yang terjadi apabila dibahas. Ade Alawi menambahkan, Ganto sebagai media kampus yang bisa dikatakan paling eksis di Sumatera Barat bisa lebih mempertajam taring dengan menangkap isu-isu nasional untuk dijadikan laporan. Misalnya dengan melakukan riset terhadapat infra struktur Sumbar yang dikatakan lebih bagus dari pada profinsi-profinsi lain di Indonesia. Menurut saya sendiri, kenapa tidak. Ulvina Haviza
(Awal Agustus 2009, Mengenang Perjalanan bersejarah kita kala berusaha menakhlukkan Pulau Jawa untuk pertama kalinya. Dengan mimpi-mimpi dan idealisme yang masih membuncah.)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar