Oleh Ulvina Haviza
Matahari pagi baru menyumbul di ufuk timur. Sinarnya membias tipis jatuh di pucuk-pucuk pepohonan hutan yang tumbuh indah. Tinggi-rendah tak beraturan. Ujung pucuk-pucuk itu jadi terang kekuningan, sebagian silau seperti keemasan. Yang kian ke pangkalnya kian pekat. Dan terus semakin pekat, hingga hijau gelap pada dahan paling bawah.
Sementara di ujung barat hutan ini, segalanya masih sangat gelap. Pekat. Rimbunnya pepohonan masih belum terjamah sinar matahari. Masih seperti malam. Yang kemudian sedikit demi sedikit mulai terang karena cahaya langit timur yang mulai merengsek ke barat.
Di sini, di tempat ini barisan bebukitan terhampar seperti membentuk benteng yang kokoh. Sebagian puncaknya rimbun ditutupi pepohonan yang tumbuh lebat. Dan di bagian bukit lain hanya disemai hijaunya rerumputan dan ilalang yang menyemak. Tak hanya itu saja, barisan bebukitan ini juga menyisakan lembah yang membentang di kaki-kakinya. Pun ditutupi hijaunya rerumputan yang ujungnya berkilauan ditumpahi sinar matahari. Yang saat tertiup angin gemerisiknya yang saling beradu menghasilkan irama alam yang sendu.
Burung-burung hutan yang juga terbangun seiring datangnya pagi, serta merta melagukan nyanyian merdu lewat sahut-sahutan kicaunya. Ditemani sejuknya udara pagi. Dan dibelai-belai segarnya hawa pegunungan.
Tepat di bibir lembah, di lereng salah satu bukit, di sanalah gubuk kecil tempatku tinggal didirikan. Terlihat seperti setitik hitam dari kejauhan. Gubuk kecil yang waktu itu didirikan ayah dengan kayu-kayu hutan sebagai tonggaknya. Juga daun rumbia yang terjalin rapi sebagai dinding dan atapnya. Ibu yang menjalinnya.
Gubuk kecil yang masih menyatu dengan tanah. Tak berlantai. Jika turun hujan maka akan terasa lembab dan basah, dan jika musim kemarau, kadang lantainya sampai retak-retak. Meski begitu aku sangat bahagia, karena di sini aku mendapatkan segalanya. Ibu, ayah dan indahnya hutan belantara.
Untuk menyambung hidup, ayah membuka lahan di salah satu lereng perbukitan. Berkilo-kilo jaraknya dari gubuk kami. Tanah di sana digarap ayah dengan bercocok tanam. Tak hanya menanam umbi-umbian untuk dimakan, ayah juga menanam kayu manis untuk dijual ke desa di seberang bukit. Yang keseringan hanya ditukarkan ayah dengan bahan makanan lain, seperti beras dan sayuran. Kiloan meter pula jaraknya.
Waktu itu, hanya ayah sendiri yang pergi ke ladang. Aku dan ibu menunggu di rumah, karena saat itu aku masih sangat kecil. Bertahun-tahun hingga hampir sepuluh tahun usiaku.
Aku jadi jarang bertemu ayah. Betapa tidak. Pagi-pagi sekali, saat masih gelap ayah sudah pergi ke ladang, dan baru tiba lagi di rumah saat hari sudah gelap pula. Dan biasanya saat ayah pulang, aku sudah tertidur pulas. Jadi boleh dikata, bisa dihitung jari jumlah pertemuanku dengan ayah.
Dalam pertemuan yang sedikit itulah ayah selalu bercerita tentang perjalanannya padaku. Kisahnya saat pergi ke ladang atau saat ke pasar di desa seberang bukit. Ayah bilang, saat perjalanan ke ladang, kadang ia bertemu babi hutan, kadang juga bertemu ular besar. Bahkan lain waktu ayah melihat seonggok bangkai yang telah dimangsa oleh binatang lain. Tapi, kata ayah, binatang-binatang itu tak pernah berani mengganggu ayah. “Jika kita tak menganggu mereka, mereka pun tak kan mengganggu kita,” begitu yang selalu diucapkan ayah padaku.
Sekali waktu, ayah pernah lebih lama tak pulang. Ibu bilang ayah pergi menjual kayu manis ke pasar di desa seberang. Tapi apa itu pasar, aku sama sekali tak tahu. Saat kutanya pada ibu, ibu malah menyuruhku bertanya pada ayah saja. Jadinya kali ini aku sangat tak sabar menunggu ayah pulang.
“Pasar itu apa Yah?” desakku saat ayah baru saja pulang, saat ia baru saja sampai di depan pintu, tanpa peduli kelelahan ayah.
Sepertinya ayah kebingungan melihat tingkahku, tapi aku terus saja mendesaknya. Hingga akhirnya ayah menghentikan langkahnya. Perlahan ia menoleh padaku, diperhatikannya aku dalam-dalam. Ditariknya tubuhku ke pangkuannya. Kemudian sambil duduk di bangku depan rumah, ayah mulai melagukan jawaban pertanyaanku padanya tentang pasar.
“Pasar itu tempat orang-orang sangat ramai berkumpul Nak,” jawab ayah lembut, diatara kedua matanya yang mulai sayu dirundung lelah.
“Di sana ada apa Yah? Kenapa banyak orang?” tanyaku lagi dengan keingintahuan yang makin tak terbendung.
Sepertinya ayah tersenyum bangga dengan keingintahuanku. Hingga ia kembali bercerita.
“Di pasar orang-orang membawa hasil kebunnya masing-masing. Menjejerkannya di sepanjang jalan. Lalu menukarkannya dengan beras atau benda-benda lain. Termasuk ayah,” ucap ayah kemudian beranjak meninggalkanku. Sepertinya benar-benar lelah. Hingga kubiarkan saja ayah berlalu.
Begitulah yang kudengar dari ayah. Hanya itu. Sedang tentang ayah sendiri, aku lebih banyak mendengarnya dari ibu. Seperti apa ayah. Tentang sosok dan watak ayah. Sampai suatu hari aku tersadar, sudah lama sekali aku tak bertemu lagi dengan ayah. Terakhir, saat ayah bilang akan pergi lagi ke pasar, menjual kayu manis.
Saat aku bertanya pada ibu, aku hanya mendegar jawaban yang sama. Ayah sedang pergi menjual kulit kayu manis ke desa di seberang bukit. Tapi, sudah berbulan-bulan, aku masih belum juga melihat ayah. Ayah belum pulang juga.
Belakangan kuperhatikan, ibu mulai sering bermenung, terutama bermenung di depan pintu. Sepertinya menunggu ayah yang tak pulang-pulang. Sementara aku yang masih tak tahu apa-apa, juga tak tahu mesti berbuat apa. Hingga tiba pada hari saat persediaan makanan untukku dan ibu sudah tak ada lagi. Semua telah habis. Sementara ayah, belum juga ada tanda-tanda akan pulang.
Akhirnya, sejak saat itu ibu memilih untuk pergi ke ladang, mulai mengolah lahan yang sudah lama ditinggalkan ayah, untuk menyambung hidup. Ibu turut membawaku, karena tak mungkin meninggalkanku yang masih kecil sendirian.
Sejak saat itu, setiap pagi aku dan ibu mulai menyusuri jalan setapak di hutan saat masih gelap. Pagi-pagi sekali agar kami tak keletihan sampai di ladang yang perjalanannya mesti mendaki lereng bukit. Meski tiap sebentar kami harus berhenti untuk istirahat, karena aku yang masih kecil ini mudah keletihan.
Di sepanjang jalan, ilalang dan dedaunan masih terasa basah oleh tetesan embun. Bahkan pagi masih berkabut. Di daerah perbukitan ini, embun lama baru akan menguap. Biasanya, matahari baru akan muncul setelah kami tiba di ladang. Dari sini, dari atas bukit tempat ladangku disemai, semuanya dapat terlihat. Barisan bukit di depanku, rimbunnya semak dan ilalang. Sungguh indah. Termasuk gubuk kecilku yang hanya seperti setitik hitam dari kejauhan.
Di ladang, aku membantu-bantu ibu membersihkan semak belukar yang mengganggu, atau mengumpulkan umbi-umbian yang telah dicabuti ibu saat musim panen. Hal itu aku dan ibu lakukan hingga sekarang. Hingga kami sama sekali tak pernah lagi bertemu dengan ayah, karena ayah yang tak pernah pulang.
Sesekali saat diladang, ibu menanyakan perihal kabar ayah pada peladang lain yang lewat. Kalau-kalau saja mereka pernah melihat ayah. Tapi nihil, tetap saja tak kabar tentang ayah. Ia benar-benar menghilang.
Pernah suatu kali, saat terbangun kudapati bantal ibu basah. Waktu itu aku tak tahu kenapa, tapi lama-kelamaan aku paham. Ibu sering menangis saat tengah malam. Barangkali memikirkan ayah yang tak kunjung pulang.
“Apa suatu hari ayah akan pulang Bu?” tanyaku suatu kali di sela kerisauan karena semakin sering mendapati bantal ibu yang basah saat pagi hari.
“Entahlah. Kita berdoa saja Nak,” ujar ibu dengan wajah yang semakin sedih, seolah memintaku untuk tidak bertanya lebih jauh lagi. Hingga hari-hari berikutnya, kubiarkan saja bantal ibu dibasahi air matanya. Aku tak mau bertanya lagi pada ibu. Juga ibu yang sepertinya tak ingin aku untuk menanyakan apapun juga.
Sejak saat itu, jadilah hanya aku dan ibu penghuni belantara ini. Di tengah rimbun dan sejuknya hutan yang sepi ini. Hingga umurku beranjak ke tahun lima belas, aku hanya ditemani oleh ibu. Yang belakangan, hal itu mulai membuatku merasa sangat sepi juga mulai bosan.
Aku mulai berkeinginan untuk keluar dari gubuk kecilku ini, keluar dari hutan ini. Mencoba mencari kehidupan lain yang tak hanya ada aku dan ibu. Di benakku mulai terpikir, ingin merasakan kehidupan lain seperti di desa tempat ayah pergi, atau tempat di seberang lain perbukitan yang luas ini. Aku ingin melihat orang-orang ramai seperti yang pernah dikatakan ayah.
Suatu hari, kuutarakan niatku itu pada ibu. Tapi ternyata ibu marah besar padaku. Kemarahan yang belum pernah kudapati sebelumnya.
“Jadi kau ingin meninggalkan ibu seperti ayahmu? Kau ingin meninggalkan ibu sendiri di sini? Tega kau Nak! Kau ingin ibu mati sendiri di hutan ini ha….,” umpat ibu tak putus-putus padaku waktu itu.
“Aku hanya ingin merasakan hidup dengan banyak orang Bu, mencari orang lain yang bisa kuajak bicara. Hutan ini mulai terasa sangat sepi Bu,” bantahku mencoba mendapatkan izin ibu. Tapi sepertinya tak berhasil.
“Bukankah ada ibu yang menemanimu sejak kau kecil. Kau tak butuh orang lain. Ibu tak mengizinkanmu pergi meninggalkan ibu sendiri,” bantah ibu sambil air matanya mulai mengalir. Jika ibu sudah menagis, maka tak ada lagi yang bisa kulakukan selain diam.
Tapi, keinginanku untuk pergi melihat kehidupan lain di luar hutan ini malah semakin besar. Aku semakin ingin untuk pergi meski habis-habisan ibu melarangku. Aku ingin melihat kehidupan yang tak hanya ada aku dan ibu. Tapi, memang tak mungkin jika aku meninggalkan ibu sendiri. Tapi hanya sebentar saja. Tapi.…
Aku tak bisa lagi membendung keinginanku. Akhirnya aku pergi juga. Aku janji, hanya beberapa hari saja. Setelah menyiapkan beberapa bekal, aku berangkat pagi-pagi sekali sebelum ibu terbangun dari tidurnya.
“Maafkan aku Bu, aku pergi. Aku hanya ingin melihat bagaimana dunia di luar sana. Aku janji secepatnya akan pulang,” gumanku tak henti-hentinya sambil terus berjalan. Berjalan entah ke mana, sebenarnya aku tak tahu pula. Aku belum pernah keluar hutan ini tanpa ditemani ibu sebelumnya.
Berhari-hari aku terus berjalan di tengah hutan ini. Sampai di bagian hutan yang gelap. Yang tak tercapai oleh sinar matahari. Dan aku terus saja berjalan. Bekal yang sudah habis, kuganti dengan apa saja yang kutemui di hutan selama jauh berjalan. Tapi belum juga kutemui desa di seberang bukit seperti yang pernah dikatakan ayah.
Aku mulai merasa lelah dan putus asa. Hingga tiba-tiba aku jadi teringat ibu. Bagaimana keadaan ibu sekarang? Apa ibu baik-baik saja. Oh, maafkan aku ibu.
Aku mulai merasa menyesal dengan langkahku ini. Setiap detik berjalan, aku jadi terus teringat ibu. Sementara di sini tak juga kutemukan apa yang ingin kucari. Aku mulai merasa ingin pulang saja. Pulang untuk bertemu ibu. Lagi pula aku sudah berjanji hanya pergi beberapa hari saja. Sedang sekarang, sudah hampir dua minggu aku tak pulang, dan tak pula menemukan kehidupan yang kucari. Selama dua minggu hanya terus berputar di dalam dinginnya hutan. Di antara kokohnya pepohonan yang tinggi menjulang. Dan aku mulai tak tahan.
Aku menyerah. Aku ingin pulang. Dan kuputuskan, aku pulang saja. Aku ingin kembali menemui ibu. Saat itu juga, segera aku berbalik, memutar arah perjalananku menuju gubuk kecilku dan ibu. Aku kembali berjalan di antara siang dan gelapnya malam menyusuri hutan. Tapi, setelah berhari-hari pula aku berjalan, masih belum juga aku menemukan tanda-tanda jalan pulang ke gubuk kecilku.
Kemudian hari pun beranjak minggu, dan masih tetap sama. Aku masih berada dalam hutan yang tak tertembus oleh sinar matahari ini. Aku masih belum menemukan jalan pulang ke gubukku. Aku mulai merasakan takut. Sangat takut. Sepertinya aku tersesat. Tapi kuputuskan untuk terus berjalan. Entah sampai kapan.
Tapi, rasanya aku sudah sangat letih. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Kakiku sudah tak sanggup lagi dilangkahkan. Terasa berat. Oh, apa yang harus kulakukan. Apa aku akan mati di sini?
Rasa penyesalan benar-benar menggerogotiku sekarang. Seandainya aku tak memilih pergi meninggalkan ibu.
Aku benar-benar sudah tak kuat, rasanya benar-benar seperti akan mati. Hingga tiba-tiba di depan aku melihat sesosok bayangan lelaki yang berdiri menatapku dari kejauhan, dengan wajah marah. Aku mengusap-usap mataku yang mulai sulit melihat dengan jelas ini. Dan aku mulai ingat, aku mengenalnya. Kalau tak salah aku pernah melihat sosok itu beberapa tahun lalu. Sosok yang selalu ditunggu-tunggu ibu hingga bantalnya basah setiap malam.
Setelah itu sangat gelap. Sementara dalam gelap, aku mendapati ibu terbaring dalam gubuk yang sebagian dinding rumbianya telah rubuh.
“Maaf Bu, aku tak tahu jalan pulang.”
* * *
(Dalam Antologi 20 Cerpen Pilihan Lomba Cipta Cerpen Pemuda Tingkat Nasional Tahun 2011, Kemenpora: Ketika Pemuda Membangun Masyarakatnya)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar