Pages

Jumat, 23 September 2011

Catatan Persaudaraan Kita

Posted by Ulvina Haviza On 01.30 No comments

Sore itu, suaramu terdengar pelan. Terik di luar sudah tak lagi begitu menyengat. Aku menghubungimu.
“Mengapa kau tak membalas pesanku?” tanyaku, juga dalam pelan.
“Untaian pesanmu cukup menyakitkan,” bisikmu padaku.
Lalu kukemukakan alasanku, mulai berkicau, menceracau. Dan kau diam mendengarkan. Hanya diam.
“Mungkin benar,” ucapmu setelah itu tiba-tiba. Mungkin aku yang memang terlalu frontal, mungkin aku yang terlalu berlebihan.
“Tak sepenuhnya begitu,” jawabku lirih. Setengah merasa bersalah padamu, merasa telah menyebabkan jua setitik luka di hatimu. Entah, apa iya hanya setitik.
Tapi tunggu, ada yang berbeda, ada yang jelas berubah dari dirimu. Dulu kau tak begini, tak semudah ini kau akan menerima pernyataanku. Biasanya kita akan keras berdebat. Kau dengan pendapatmu, aku dengan lisanku. Namun sekarang ada yang beda. Kau lebih berlembut dengan hatimu, dan telingamu lebih banyak kau sediakan untuk mendengarkanku.
Aku tersenyum. Simpul menggurat di bibirku. Yang tentunya tak kan bisa kau lihat dari kejauhan sana. Jarak antara kita terlalu panjang untuk bisa bertatap muka.
“Janganlah terlalu memperturutkan sangkaan kita saja,” sambungku padamu, masih dengan senyum, memikirkanmu.
“Itu karena aku menyayangimu adinda-adindaku,” jawabmu kali ini lebih lembut.
Aku diam lagi.
Di luar, sore semakin beranjak. Kemudian kulangkahkan kaki keluar, menuju pulang. Dalam langkahku, teringat lagi yang dulu-dulu. Dulu sangat sulit bagi kita untuk mengekspresikan rasa cinta, malu dan canggung menampakkan rasa sayang. Lidahpun serasa begitu kelu bila mesti meminta maaf saat ada salah yang terlakukan. Sama sekali tak ada rasa di sana.
Teringat masa kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Saat itu sempat kuikrarkan diri untuk membencimu. Karena begitu seringnya kita bertengkar, bahkan karena hal yang teramat kecil sekalipun kita pasti beradu mulut. Bahkan dari lisanmu sempat terucap pula bahwa aku adalah saudaramu yang paling kau benci di antara yang lainnya.
Ah…, benarlah kiranya firman Allah dan Sabda Rasullullah. Jika engkau membenci sesuatu, maka janganlah terlalu dalam membencinya, boleh jadi sesuatu yang kita benci menjadi sesuatu yang teramat kita cintai nantinya. Begitu pula sebaliknya, hal ini juga berlaku dalam mencinta.
Aku tersenyum lagi dalam langkahku. Kali ini barisan gigiku tak mampu lagi kusembunyikan. Teringat lagi pada wasiat indah sang Nabi.
“Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” Wasiat yang dalam praktiknya memang sungguh berat.
Dan bahkan persaudaraan yang disatukan oleh iman pun, lebih kokoh ikatannya dari pada ikatan pertalian darah.
Sementara kita, insyaAllah kita memiliki kedua-duanya. Darahku dan darahmu mengalir dari hulu yang sama. Sayangnya, kita baru saja belajar dan mengerti arti ikatan persaudaraan dalam iman.
Lirih ku eja doaku dalam hati. Semoga kelak di sana, terbangun kokoh menara cahaya, tempat kita bercengkrama di surga.***
Sore yg Cerah
Lewat pertengahan September ‘11





Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar