Pages

Jumat, 05 September 2014

Nak, Selamat Datang dan Warnai Hidupku!

Posted by Ulvina Haviza On 02.36 1 comment



Bagi seorang ibu, merasakan bagaimana melahirkan secara normal adalah hal yang sangat diimpikan. Ingin pula merasakan bagaimana ibunya melahirkannya dulu.
Sejak awal, doa itu terbesit sudah, terucap di dalam hati dan terngiang-ngiang dalam pikiran setiap waktu. “Ya Rabb, izinkan hamba untuk mencicipi rasa bagaimana menjadi ibu sepenuhnya, seutuhnya, walau hanya sekali.” Dan sejak benih itu Allah karuniakan dalam rahim ini, semakin kuat ingin dihati untuk mewujudkannya, untuk merasakan bagaimana Ibu mengandung dan melahirkanku dulu.

Sungguh besar keinginanku untuk merasakan lahiran secara normal, mengingat anugrah kehamilanku ini tak dikaruniakan Allah secara mudah, namun dengan usaha yang cukup luar biasa. Maka lahiran normal adalah impian terbesarku, mengingat entah kapan Allah akan berkenan mengaruniakan kehamilan lagi padaku kelak.

Maka sejak awal aku rajin membaca segala hal tentang melahirkan secara normal, segala seluk beluknya. Apapun infonya, dengan semangat kubaca dan kupelajari. Beruntung sejak awal dipertemukan dengan seorang sahabat yang sepemahaman, benar-benar pro normal dan dia memperkenalkanku dengan Gentle Birth, sebuah grup yang dikelola oleh tenaga kesehatan yang benar-benar pro kelahiran normal. Grup yang menekankan bahwa setiap ibu harus percaya diri bahwa dirinya bisa melahirkan secara normal. Bahwa tubuh seorang perempuan telah diseting sedari awal oleh Sang Maha Pencipta untuk melahirkan keturunan-keturunannya melalui jalan lahir yang diciptakanNya, yaitu vagina bukan melalui pembedahan pada bagian perut. 

Sampai pada suatu waktu aku menemukan tulisan yang menurutku sangat menarik judulnya “Tuhan hanya menciptakan vagina, Dia tidak menciptakan “jendela” diperut seorang perempuan”. Ini linknya jika tertarik membaca. (http://bidankita.com/?q=article/%E2%80%9Ctuhan-hanya-menciptakan-vagina-dia-tidak-menciptakan-%E2%80%9Cjendela%E2%80%9D-di-perut-seorang-perempuan%E2%80%9D). Bagiku judulnya sangat dalam, bahwa dalam melahirkan, tindakan sesar merupakan pilihan paling terakhir ketika tindakan secara normal sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan, dengan kata lain hanya karena kehendak Allah lah operasi itu harus dilakukan, bukan karena kehendak tenaga medis atau Rumah Sakit yang belakangan justru terkesan seperti hanya bertujuan untuk mencari keuntungan.

Alhasil, semakin teguhlah pendirianku untuk mengusahakan agar bisa melahirkan normal. Langkah awal dengan menemui tenaga medis yang pro dengan kelahiran normal. Ini juga telah direkomendasikan oleh sahabatku. Mulanya aku agak sedikit enggan, mengingat jaraknya yang cukup jauh dari tempat tinggalku, 30-40 menit menggunakan motor dengan kecepatan 40-50 Km/Jam.  Aku terus saja bertahan memeriksakan diri ke dokter di Rumah Sakit Swasta yang hanya berjarak 15 menit dari kediamanku. Padahal setiap kali periksa, aku harus mengantri dua hingga tiga jam untuk mendapat giliran UGS dan konsultasi. Mengingat sang dokter enak untuk diajak konsultasi dan sangat detail jika ada sesuatu yang salah dengan kehamilan pasiennya. Tapi belakangan kuperhatiakan kebanyakan dari pasiennya melahirkan secara sesar, setidaknya begitulah yang kudengar dari hasil mengupingku tentang pembicaraan para ibu yang ikut mengantri jadwal kontrol denganku, bedanya waktu itu mereka memeriksakan keadaan rahim dan bekas luka sesar setelah melahirkan.

Sejak saat itu kuputuskan untuk mengunjungi bidan yang disarankan oleh sahabatku. Meski jauh tak apalah, demi lahiran normal yang dicita-citakan. Lokasinya terhitung pinggiran kota, melewati jalan sempit dan di seberangnya ada kali atau sungai kecil yang lumayan ramai direnangi sampah, namun kliniknya cukup bersih. Mulanya aku agak ragu, membayangkan jika nanti tiba saat persalinan, aku mesti melewati jalan kecil ini, entah menggunakan kendaraan apa nanti. Tapi keraguanku sirna sudah setelah bertemu sang bidan yang begitu empati dan enak untuk diajak bicara, dia memposisikan diri sebagai teman yang setia mendengarkan setiap keluhan ibu hamil, bukan sebagai tenaga medis yang kaku dan memberi nasehat ini itu serta kertas resep yang mesti ditebus setelahnya. Yang lebih membuatku tenang, ia selalu memberi semangat agar kita selalu berupaya memberdayakan diri untuk bisa menuju lahiran normal. Mengubah mainset serta rajin berolah raga, minimal jalan kaki, agar otot-otot yang menunjang proses kelahiran tidak kaku dan mampu bekerja maksimal saat persalinan. (Wah…. pembahasannya jadi kemana-mana)

Aku ingat, kandunganku masih berusia 16 minggu saat itu. Berkat saran sang bidan aku mengikuti kelas yoga hamil yang diinstrukturi dia sendiri. Karena kehamilanku masih kecil, aku hanya disarankan ikut kelas yoga sebulan sekali, baru setelah usia 30 minggu aku melakukannya seminggu sekali, dan mesti diulang-ulang sendiri di rumah minimal 2 kali seminggu, begitu katanya. Ini salah satu jalan demi lahiran normal, disamping doa pada Allah yang tiada henti tentunya.

Aku mulai gelisah, pasalnya hingga kehamilanku memasuki usia ke 40, belum juga ada tanda-tanda kontraksi yang berarti menuju persalinan, hanya kontraksi palsu saat perut tiba-tiba mengejang kemudian hilang beberapa menit kemudian.  Hari itu, Sabtu 29 Maret 2014 saat jadwal kontrol kehamilanku. Aku mengeluhkan pada sang bidan tentang kecemasanku, ia berusaha menenangkanku dengan berkata bahwa banyak juga para ibu yang melahirkan diatas 40 minggu, karena batas maksimalnya adalah 42 minggu, begitu menurutnya. Sebelum pulang, aku disarankan untuk makan makanan yang bisa memicu kontraksi seperti nenas, durian, atau daging kambing, juga disarankan untuk sering-sering induksi alami. 

Benar saja, diperjalanan pulang aku dan suami mampir untuk makan Tongseng Kambing di pinggir jalan. Sempat mencari durian, tapi tak ada yang matang karena belum musimnya. Di rumah, buah nenas yang sempat kubeli sehari sebelumnya juga kulahap habis. Dan sepertinya itu bekerja. Alhasil, malamnya, kira-kira pukul 22.30 WIB, pinggangku mulai terasa sakit, juga mulai mengeluarkan noda darah dan lendir. Dalam pikiranku, mungkin ini lah tanda-tandanya, kontraksi menjelang melahirkan. 

Malam itu, kupaksakan membawa badan untuk tetap tidur, tapi ternyata tak bisa. Kontraksi itu semakin menjadi-jadi, setiap sepuluh menit pinggangku serasa dibetoti, sakit luar biasa yang hilang timbul. Semalaman aku tak bisa tidur. Hingga Pukul 04.00 subuh, suamiku memutuskan untuk  menelepon sang bidan. Dan atas instruksinya selepas subuh kami langsung berangkat ke klinik bersalinnya, lengkap dengan tas siaga. Plus ditemani Kakak Perempuanku beserta putra dan putrinya yang memang sejak sebulan yang lalu tinggal dirumahku turut menanti si buah hati.

Sesampai di sana, sang bidan belum datang. Hanya ada dua orang asistennya yang biasa menemani pasien lahiran. Sabar menanti, akhirnya bidan yang bagiku modis itu datang juga. Kubilang modis karena ia selalu menggunakan pakaian-pakaian  yang casual dan santai, lengkap dengan tata rias wajah yang cukup tebal tapi rapi. Jarang sekali kulihat dia menggunakan pakaian formal atau seragam putih-putih yang identik dengan tenaga kesehatan. “Baru bukaan satu Mbak,” jawabnya santai setelah melakukan pemeriksaan terhadapku. “Santai aja mba, dibawa rileks aja. Lebih baik Mbak pulang dulu aja biar lebih tenang,” terang sang bidan padaku. Menurutnya, jika masih pembukaan satu, biasanya pertambahan ke pembukaan berikutnya belum bisa dipastikan, bisa jadi sehari semalam bahkan lebih. Aku disuruh kembali lagi jika kontraksi sudah konsisten setiap lima menit sekali dan lama kontraksi lebih dari 30 detik.

Akhirnya aku kembali ke rumah, mencoba sesekali memejamkan mata di tempat tidur sambil menghitung jumlah kontraksi. Selepas zhuhur akhirnya durasi kontraksi itu meningkat, setiap lima menit. Terus menerus begitu hingga sore hari. Karena takut akan melewati semalam lagi dengan cemas tanpa kepastian menahan sakit, kuputuskan untuk kembali ke klinik. Setelah diperiksa, pembukaannya memang bertambah, tapi hanya setengah senti. Ah, aku lemas mendengarnya. Dalam pikiranku, ini baru tahap awal yang entah berapa lama lagi aku akan kuat menahan pinggang yang serasa mau patah ini. Tapi, demi lahiran normal, bukankah segala semangat dan doa harus dikerahkan.

“Enggak apa-apa, insyaAllah lepas tengah malam nanti bayinya udah bisa lahir,” ucap sang bidan yang entah hanya berusaha menghiburku, entah apa. Akhirnya kuputuskan untuk bermalam disana saja agar ada yang mengawasi sambil dipantau terus oleh kedua asistennya. Kontraksi itu terus terjadi, sudah lima menit sekali, tapi kadang malah balik sepuluh menit sekali lagi. Hal itu membuat kecemasanku semakin bertambah-tambah. Terlebih lagi, rasa sakit di pinggangku semakin menjadi-jadi. Setiap kali kontraksi itu datang, rasanya seperti sesak, meskipun sejak beberapa bulan belakangan sudah sering latihan pernafasan saat jadwal yoga. Aku jadi merintih-rintih kesakitan tiap melewati detik-detik kontraksi itu datang. Ditengah kantuk luar biasa dalam kesakitan dan tak tidur sehari semalam, melihat suami yang tertidur pulas juga karena kelelahan, rasanya iri luar biasa. Ada terbesit sedih karena saat kesakitan, diri ini hanya bisa merintih dan menahannya sendirian. Tapi apalah daya, bukankah sang suami juga letih tak terkira menemaniku melewati kontraksi sejak kemarin malam.

Sudah lewat tengah malam dan hampir subuh, namun tanda-tanda adanya kemajuan berarti belum didapati. Rasanya hampir ingin menyerah pada rasa sakit ini, sempat terbesit dalam hati apakah nanti ujung-ujungnya akan disesar juga karena masih belum ada kemajuan. Aku takut jika nanti tiba-tiba aku menyerah pada rasa sakit ini. Tanganku jadi gemetar, keringat terus bercucuran, bajuku telah basah, bibirku semakin sibuk memanjatkan doa pada Allah agar jangan sampai itu terjadi, aku berusaha berdzikir sebanyak-banyaknya, kalimat apa saja yang bisa kuingat saat itu. 

Tabiat manusia, di tengah deraan rasa sakit, barulah  teringat tentang banyaknya dosa yang telah diperbuat,  tiba-tiba menyusup takut bahwa ini adalah saat akhir dari segalanya. Ditengah rintihan dan kesakitan, kugenggam erat tangan suami yang terbangun mendengar rintihanku. Kutatap matanya yang teduh, lalu kubisikkan, “Mas, Dinda banyak salah sama Mas, maafin Dinda ya Mas,” bisikku lirih.

“Iya Dik, sama-sama. Mas juga banyak salah. Yang sabar ya Dik,” ucapnya lembut. Aku takut, tapi setidaknya aku telah mengantongi maaf dan rihdomu suamiku, begitulah pikirku yang membuatku sedikit tenang  andaikan ini jadi saat terakhirku ada di sisinya. Dia melempar senyum yang kali ini seolah dipaksakan, berusaha menguatkan sambil tanganku digenggamnya dengan tak kalah kuat.

Hingga pagi, saat bidan kembali datang untuk mengontrol, ternyata sudah pembukaan tiga. Tapi masih belum ada kepastian kapan kesakitan ini akan berakhir. Menurut sang bidan, proses dari pembukaan satu hingga empat itu memang tak bisa ditentukan berapa lama waktunya, tapi setelah empat dan seterusnya barulah biasanya pembukaan berjalan dengan cepat, rata-rata 30 menit setiap pertambahan pembukaan.  Dan difase inilah aku sekarang, penantian yang belum jelas dalam kesakitan yang luar biasa. Aku disarankan untuk jalan-jalan kaki keluar atau melakukan birthing ball (duduk di atas bola besar berdiameter 1 meter, lalu melakukan goyangan panggul agar bayi cepat turun dan bukaan segera lengkap). Sepertinya memang mudah untuk dilakukan, tapi tidak saat kontraksi itu kembali menyerang tiap menitnya. Karena aku harus berhenti dan kembali menikmati rintihan yang mulai konstan setiap lima menit sekali.

Kupaksakan untuk mencoba duduk di atas birthing ball, menggoyang-goyangkan panggul perlahan, berharap si bayi segera turun ke jalan lahirnya. Awalnya mencoba jalan kaki ke luar ditemani sang suami, tapi ternyata  aku tak kuat, baru tiga langkah berjalan, aku merintih kesakitan memegangi pinggang, melangkah lagi, merintih lagi. Akhirnya kuputuskan untuk duduk saja sambil terus berusaha mengatur nafas. Katanya, dengan oksigen yang cukup, si ibu dan bayi akan jadi lebih tenang.

Menjelang siang, aku merasakan ada yang sedikit berbeda. Setiap kali kontraksi datang lagi, aku seperti ingin mengeden. Rasanya sangat ingin buang air kecil, tapi saat ke kamar mandi malah tak keluar apa-apa. Rasa sakitnya pun semakin menjadi-jadi. Seperti ada yang mengganjal di bawah perutku. Kali ini kupaksakan berjalan-jalan di sekeliling klinik, meski sakit aku terus berjalan. Aku takut akan bermalam lagi di klinik tanpa kepastian, karena ini sudah lewat tengah hari.

Kira-kira pukul 14.00 WIB, saat giliran cek tekanan darah yang rutin sekali dalam sejam oleh asisten sang bidan, tiba-tiba serasa ada yang merembes di bawah saat kontraksi. Seperti ada bunyi ban yang tiba-tiba kempes. “Tusss!!!” Dan benar saja, ternyata ketubanku pecah. 

Setelah itu kulihat si asisten sibuk menelepon sang bidan, dan dalam waktu yang tak berapa lama bidannya sudah datang. Langsung menghampiriku dan memeriksa, “Alhamdulillah sudah pembukaan 6,” ucapnya tersenyum. “Dari kemarin kontraksi yang seperti ini yang ditunggu-tunggu, eh baru sekarang datangnya,” sambung si bidang lagi masih dengan wajah yang sumringah. 

Seketika ia dan asistennya sibuk menyiapkan peralatan persalinan. Aku sedikit lega, itu berarti tak akan lama lagi waktunya untukku bertemu si buah hati. Masih menunggu pembukaan lengkap, tapi dipembukaan 7 aku sudah semakin sering ngeden setiap kali kontraksi.

“Jangan ngeden dulu Mbak!” kata si bidan padaku ku. Tapi aku mesti bagaimana. Sudah sekuat tenaga kutahan untuk tak mengeden, tapi tak bisa. Telah kuatur nafas, kuhirup dalam-dalam dan kubuang perlahan, tetap saja mengeden lagi dan lagi saat kontraksi. Setelah diperiksa lagi oleh si bidan, ternyata posisi bayi sudah sangat di bawah, sudah kelihatan ujung kepala dan rambutnya, sementara pembukaan belum lengkap. Itulah yang menyebabkan aku terus-menerus mengeden. Dan kata si bidan, sekeras apapun aku mengeden, kalau pembukaan masih belum lengkap, bayi tak akan bisa keluar, meskipun hanya kurang setengah senti pembukaan.

Kamu semakin mendesak ingin keluar Nak, tapi pembukaan bejalan dengan lambat setelah sembilan sentimeter. Entah telah berapa lama, barulah pertambahannya sedikit merangkak ke sembilan setengah sentimeter. Tapi setelah itu kembali berjalan dengan lambat. Hingga akhirnya bidan menawarkan padaku untuk dilakukan anestesi, suntikan untuk membantu penipisan dinding vagina, karena menurutnya vaginaku tebal sehingga pembukaannya jadi berjalan lama, sementara bayi sudah ingin keluar. Sang bidan meyakinkan ini bukanlah suntikan untuk induksi, karena memang kesepakatan dan komitmen kita dari awal untuk tidak ada intervensi sama sekali pada si bayi, biarkan dia keluar dengan sendirinya secara alami tanpa adanya pemaksaan melalui induksi.

Setelah pembukaan lengkap, aku mulai di bebaskan untuk mengeden. Bidanpun bertanya, posisi mana yang aku paling merasa nyaman untuk melahirkan. Jongkok atau telentang. Kupilih untuk tetap telentang karena mungkin sudah terlanjur merasa nyaman. Tapi setelah beberapa kali ngeden, bayi belum juga mau keluar. Akhirnya si bidan menyarankanku untuk mencoba posisi jongkok, agar bisa terbantu juga dengan gaya grafitasi. Aku mengubah posisi, mengangkat tubuhku sambil dibantu ditopang asisten dan suami.

Aku berjongkok sambil memeluk suami dihadapanku. Tugas suami adalah menopang tubuhku dengan tangan bergelelayutan di lehernya. Aku mengeden lagi dan lagi, entah berapa kali hingga aku merasa lelah, tapi aku tahu, ini bukan lah saatnya untuk menyerah, ini adalah puncaknya. Mengeden lagi sambil pelukanku semakin kukencangkan tanpa sadar karena menahan sakit. Entah sudah mengeden yang ke berapa, Alhamdulillah akhirnya kepalamu keluar Nak. 

Aku mengeden lagi, kali ini rasanya tak karuan luar biasa. Sulit diungkapkan dengan kata-kata. Perobekan yang tak tahu entah seberapa. Keringat yang tak henti bercucuran, mata yang hampir terpejam menahan kesakitan. Sementara kata si bidan aku tak boleh memicingkan mata agar tetap tersadar. Dalam kelelahan, akhirnya kamu keluar Nak. Tepat pukul 16.00 WIB, di hari Senin pada 31 Maret 2014. Bayi merah yang cukup besar untuk ukuran baru lahir, 3,9 kg dan panjang 50 cm. Alhamdulillahi Rabbil’alamin, puji-pujian pada Allah terdengar bersahut-sahutan di ruangan itu. Kutatap lemah ayahmu yang masih terlihat takjub, dengan bibir yang tak henti memuji Allah, ia daratkan ciuman lembut di keningku. Ingin rasanya aku berteriak, "kita telah menjadi orang tua Sayang!"

Kamu tenang, dan tak menangis Nak. Ternyata bayi yang lahir dengan sehat dan selamat tak harus menangis. Tapi kakak perempuanku yang turut menemani persalinanku mempermasalahkan hal itu. Akhirnya sang bidan menyentil bagian tubuhmu entah yang mana sehingga kamu berteriak dengan kerasnya. Seketika ruangan itu menjadi ramai. 

Sambil bidan menjahit luka bekas robekan, entah berapa jahitan, kamu lalu diletakkan didadaku Nak, untuk IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Ada rasa aneh, luapan kebahagiaan yang sulit terkatakan, yang juga diakui kebanyakan ibu yang baru melahirkan, rasa bahagia yang mengharu biru inilah yang menyebabkan sakitnya tusukan jarum jahitan luka itu jadi tak terasa. Saat pertama kali kulit merahmu, bersentuhan dengan kulitku, saat mengelus-elus rambutmu yang masih basah, rambut yang hitam dan tebal. Ada rasa haru yang tak terbendung, sekarang aku adalah seorang Ibu, Nak. Menatapmu yang masih sibuk menangis sekuat-kuatnya, semakin menyusupkan bahagia di hatiku. Selamat datang Nak, dan warnai hidupku!!!
“Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kamu dustakan?” ***



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

1 komentar:

Posting Komentar