Bagi seorang ibu, merasakan bagaimana melahirkan secara
normal adalah hal yang sangat diimpikan. Ingin pula merasakan bagaimana ibunya
melahirkannya dulu.
Sejak awal, doa itu terbesit sudah, terucap di dalam hati
dan terngiang-ngiang dalam pikiran setiap waktu. “Ya Rabb, izinkan hamba untuk
mencicipi rasa bagaimana menjadi ibu sepenuhnya,
seutuhnya, walau hanya sekali.” Dan sejak benih itu Allah karuniakan dalam rahim
ini, semakin kuat ingin dihati untuk mewujudkannya, untuk merasakan bagaimana Ibu
mengandung dan melahirkanku dulu.
Sungguh besar keinginanku untuk merasakan lahiran secara
normal, mengingat anugrah kehamilanku ini tak dikaruniakan Allah secara mudah,
namun dengan usaha yang cukup luar biasa. Maka lahiran normal adalah impian
terbesarku, mengingat entah kapan Allah akan berkenan mengaruniakan kehamilan
lagi padaku kelak.
Maka sejak awal aku rajin membaca segala hal tentang
melahirkan secara normal, segala seluk beluknya. Apapun infonya, dengan
semangat kubaca dan kupelajari. Beruntung sejak awal dipertemukan dengan
seorang sahabat yang sepemahaman, benar-benar pro normal dan dia memperkenalkanku
dengan Gentle Birth, sebuah grup yang dikelola oleh tenaga kesehatan yang
benar-benar pro kelahiran normal. Grup yang menekankan bahwa setiap ibu harus
percaya diri bahwa dirinya bisa melahirkan secara normal. Bahwa tubuh seorang
perempuan telah diseting sedari awal oleh Sang Maha Pencipta untuk melahirkan
keturunan-keturunannya melalui jalan lahir yang diciptakanNya, yaitu vagina bukan
melalui pembedahan pada bagian perut.
Sampai pada suatu waktu aku menemukan tulisan yang menurutku
sangat menarik judulnya “Tuhan hanya menciptakan vagina, Dia tidak menciptakan
“jendela” diperut seorang perempuan”. Ini linknya jika tertarik membaca. (http://bidankita.com/?q=article/%E2%80%9Ctuhan-hanya-menciptakan-vagina-dia-tidak-menciptakan-%E2%80%9Cjendela%E2%80%9D-di-perut-seorang-perempuan%E2%80%9D).
Bagiku judulnya sangat dalam, bahwa dalam melahirkan, tindakan sesar merupakan
pilihan paling terakhir ketika tindakan secara normal sudah tidak memungkinkan
lagi untuk dilakukan, dengan kata lain hanya karena kehendak Allah lah operasi itu
harus dilakukan, bukan karena kehendak tenaga medis atau Rumah Sakit yang
belakangan justru terkesan seperti hanya bertujuan untuk mencari keuntungan.
Alhasil, semakin teguhlah pendirianku untuk mengusahakan
agar bisa melahirkan normal. Langkah awal dengan menemui tenaga medis yang pro
dengan kelahiran normal. Ini juga telah direkomendasikan oleh sahabatku.
Mulanya aku agak sedikit enggan, mengingat jaraknya yang cukup jauh dari tempat
tinggalku, 30-40 menit menggunakan motor dengan kecepatan 40-50 Km/Jam. Aku terus saja bertahan memeriksakan diri ke
dokter di Rumah Sakit Swasta yang hanya berjarak 15 menit dari kediamanku.
Padahal setiap kali periksa, aku harus mengantri dua hingga tiga jam untuk
mendapat giliran UGS dan konsultasi. Mengingat sang dokter enak untuk diajak
konsultasi dan sangat detail jika ada sesuatu yang salah dengan kehamilan
pasiennya. Tapi belakangan kuperhatiakan kebanyakan dari pasiennya melahirkan
secara sesar, setidaknya begitulah yang kudengar dari hasil mengupingku tentang
pembicaraan para ibu yang ikut mengantri jadwal kontrol denganku, bedanya waktu
itu mereka memeriksakan keadaan rahim dan bekas luka sesar setelah melahirkan.
Sejak saat itu kuputuskan untuk mengunjungi bidan yang
disarankan oleh sahabatku. Meski jauh tak apalah, demi lahiran normal yang
dicita-citakan. Lokasinya terhitung pinggiran kota, melewati jalan sempit dan
di seberangnya ada kali atau sungai kecil yang lumayan ramai direnangi sampah,
namun kliniknya cukup bersih. Mulanya aku agak ragu, membayangkan jika nanti tiba saat persalinan, aku mesti melewati jalan kecil ini, entah menggunakan
kendaraan apa nanti. Tapi keraguanku sirna sudah setelah bertemu sang bidan
yang begitu empati dan enak untuk diajak bicara, dia memposisikan diri sebagai
teman yang setia mendengarkan setiap keluhan ibu hamil, bukan sebagai tenaga
medis yang kaku dan memberi nasehat ini itu serta kertas resep yang mesti
ditebus setelahnya. Yang lebih membuatku tenang, ia selalu memberi semangat
agar kita selalu berupaya memberdayakan diri untuk bisa menuju lahiran normal.
Mengubah mainset serta rajin berolah
raga, minimal jalan kaki, agar otot-otot yang menunjang proses kelahiran tidak
kaku dan mampu bekerja maksimal saat persalinan. (Wah…. pembahasannya jadi
kemana-mana)
Aku ingat, kandunganku masih berusia 16 minggu saat itu.
Berkat saran sang bidan aku mengikuti kelas yoga hamil yang diinstrukturi dia
sendiri. Karena kehamilanku masih kecil, aku hanya disarankan ikut kelas yoga
sebulan sekali, baru setelah usia 30 minggu aku melakukannya seminggu sekali,
dan mesti diulang-ulang sendiri di rumah minimal 2 kali seminggu, begitu
katanya. Ini salah satu jalan demi lahiran normal, disamping doa pada Allah
yang tiada henti tentunya.
Aku mulai gelisah, pasalnya hingga kehamilanku memasuki usia
ke 40, belum juga ada tanda-tanda kontraksi yang berarti menuju persalinan, hanya kontraksi palsu
saat perut tiba-tiba mengejang kemudian hilang beberapa menit kemudian. Hari itu, Sabtu 29 Maret 2014 saat jadwal kontrol kehamilanku. Aku mengeluhkan pada sang bidan tentang kecemasanku, ia berusaha
menenangkanku dengan berkata bahwa banyak juga para ibu yang melahirkan diatas
40 minggu, karena batas maksimalnya adalah 42 minggu, begitu menurutnya. Sebelum
pulang, aku disarankan untuk makan makanan yang bisa memicu kontraksi seperti
nenas, durian, atau daging kambing, juga disarankan untuk sering-sering induksi
alami.
Benar saja, diperjalanan pulang aku dan suami mampir untuk
makan Tongseng Kambing di pinggir jalan. Sempat mencari durian, tapi tak ada
yang matang karena belum musimnya. Di rumah, buah nenas yang sempat kubeli
sehari sebelumnya juga kulahap habis. Dan sepertinya itu bekerja. Alhasil,
malamnya, kira-kira pukul 22.30 WIB, pinggangku mulai terasa sakit, juga mulai
mengeluarkan noda darah dan lendir. Dalam pikiranku, mungkin ini lah tanda-tandanya,
kontraksi menjelang melahirkan.
Malam itu, kupaksakan membawa badan untuk tetap
tidur, tapi ternyata tak bisa. Kontraksi itu semakin menjadi-jadi, setiap
sepuluh menit pinggangku serasa dibetoti, sakit luar biasa yang hilang timbul.
Semalaman aku tak bisa tidur. Hingga Pukul 04.00 subuh, suamiku memutuskan
untuk menelepon sang bidan. Dan atas
instruksinya selepas subuh kami langsung berangkat ke klinik bersalinnya,
lengkap dengan tas siaga. Plus ditemani Kakak Perempuanku beserta putra dan
putrinya yang memang sejak sebulan yang lalu tinggal dirumahku turut menanti si
buah hati.
Sesampai di sana, sang bidan belum datang. Hanya ada dua
orang asistennya yang biasa menemani pasien lahiran. Sabar menanti, akhirnya
bidan yang bagiku modis itu datang juga. Kubilang modis karena ia selalu
menggunakan pakaian-pakaian yang casual dan
santai, lengkap dengan tata rias wajah yang cukup tebal tapi rapi. Jarang
sekali kulihat dia menggunakan pakaian formal atau seragam putih-putih yang
identik dengan tenaga kesehatan. “Baru bukaan satu Mbak,” jawabnya santai
setelah melakukan pemeriksaan terhadapku. “Santai aja mba, dibawa rileks aja.
Lebih baik Mbak pulang dulu aja biar lebih tenang,” terang sang bidan padaku.
Menurutnya, jika masih pembukaan satu, biasanya pertambahan ke pembukaan
berikutnya belum bisa dipastikan, bisa jadi sehari semalam bahkan lebih. Aku
disuruh kembali lagi jika kontraksi sudah konsisten setiap lima menit sekali
dan lama kontraksi lebih dari 30 detik.
Akhirnya aku kembali ke rumah, mencoba sesekali memejamkan
mata di tempat tidur sambil menghitung jumlah kontraksi. Selepas zhuhur
akhirnya durasi kontraksi itu meningkat, setiap lima menit. Terus menerus
begitu hingga sore hari. Karena takut akan melewati semalam lagi dengan cemas
tanpa kepastian menahan sakit, kuputuskan untuk kembali ke klinik. Setelah
diperiksa, pembukaannya memang bertambah, tapi hanya setengah senti. Ah, aku
lemas mendengarnya. Dalam pikiranku, ini baru tahap awal yang entah berapa lama
lagi aku akan kuat menahan pinggang yang serasa mau patah ini. Tapi, demi
lahiran normal, bukankah segala semangat dan doa harus dikerahkan.
“Enggak apa-apa, insyaAllah lepas tengah malam nanti bayinya
udah bisa lahir,” ucap sang bidan yang entah hanya berusaha menghiburku, entah
apa. Akhirnya kuputuskan untuk bermalam disana saja agar ada yang mengawasi
sambil dipantau terus oleh kedua asistennya. Kontraksi itu terus terjadi, sudah
lima menit sekali, tapi kadang malah balik sepuluh menit sekali lagi. Hal itu
membuat kecemasanku semakin bertambah-tambah. Terlebih lagi, rasa sakit di
pinggangku semakin menjadi-jadi. Setiap kali kontraksi itu datang, rasanya
seperti sesak, meskipun sejak beberapa bulan belakangan sudah sering latihan
pernafasan saat jadwal yoga. Aku jadi merintih-rintih kesakitan tiap melewati
detik-detik kontraksi itu datang. Ditengah kantuk luar biasa dalam kesakitan dan
tak tidur sehari semalam, melihat suami yang tertidur pulas juga karena
kelelahan, rasanya iri luar biasa. Ada terbesit sedih karena saat kesakitan,
diri ini hanya bisa merintih dan menahannya sendirian. Tapi apalah daya, bukankah sang suami juga letih tak terkira menemaniku melewati kontraksi sejak kemarin malam.
Sudah lewat tengah malam dan hampir subuh, namun tanda-tanda
adanya kemajuan berarti belum didapati. Rasanya hampir ingin menyerah pada rasa
sakit ini, sempat terbesit dalam hati apakah nanti ujung-ujungnya akan disesar juga karena
masih belum ada kemajuan. Aku takut jika nanti tiba-tiba aku menyerah pada rasa sakit ini. Tanganku jadi gemetar, keringat terus bercucuran, bajuku telah basah, bibirku semakin sibuk
memanjatkan doa pada Allah agar jangan sampai itu terjadi, aku berusaha
berdzikir sebanyak-banyaknya, kalimat apa saja yang bisa kuingat saat
itu.
Tabiat manusia, di tengah deraan rasa sakit, barulah teringat tentang banyaknya dosa yang telah
diperbuat, tiba-tiba menyusup takut bahwa
ini adalah saat akhir dari segalanya. Ditengah rintihan dan kesakitan,
kugenggam erat tangan suami yang terbangun mendengar rintihanku. Kutatap
matanya yang teduh, lalu kubisikkan, “Mas, Dinda banyak salah sama Mas, maafin
Dinda ya Mas,” bisikku lirih.
“Iya Dik, sama-sama. Mas juga banyak salah. Yang sabar ya
Dik,” ucapnya lembut. Aku takut, tapi setidaknya aku telah mengantongi maaf dan
rihdomu suamiku, begitulah pikirku yang membuatku sedikit tenang andaikan ini jadi saat terakhirku ada di
sisinya. Dia melempar senyum yang kali ini seolah dipaksakan, berusaha menguatkan
sambil tanganku digenggamnya dengan tak kalah kuat.
Hingga pagi, saat bidan kembali datang untuk mengontrol,
ternyata sudah pembukaan tiga. Tapi masih belum ada kepastian kapan kesakitan
ini akan berakhir. Menurut sang bidan, proses dari pembukaan satu hingga empat
itu memang tak bisa ditentukan berapa lama waktunya, tapi setelah empat dan
seterusnya barulah biasanya pembukaan berjalan dengan cepat, rata-rata 30 menit
setiap pertambahan pembukaan. Dan difase
inilah aku sekarang, penantian yang belum jelas dalam kesakitan yang luar
biasa. Aku disarankan untuk jalan-jalan kaki keluar atau melakukan birthing ball (duduk di atas bola besar
berdiameter 1 meter, lalu melakukan goyangan panggul agar bayi cepat turun dan
bukaan segera lengkap). Sepertinya memang mudah untuk dilakukan, tapi tidak
saat kontraksi itu kembali menyerang tiap menitnya. Karena aku harus berhenti
dan kembali menikmati rintihan yang mulai konstan setiap lima menit sekali.
Kupaksakan untuk mencoba duduk di atas birthing ball, menggoyang-goyangkan panggul perlahan, berharap si bayi segera turun ke jalan lahirnya. Awalnya mencoba jalan kaki ke luar ditemani sang suami, tapi
ternyata aku tak kuat, baru tiga langkah
berjalan, aku merintih kesakitan memegangi pinggang, melangkah lagi, merintih
lagi. Akhirnya kuputuskan untuk duduk saja sambil terus berusaha mengatur
nafas. Katanya, dengan oksigen yang cukup, si ibu dan bayi akan jadi lebih
tenang.
Menjelang siang, aku merasakan ada yang sedikit berbeda. Setiap
kali kontraksi datang lagi, aku seperti ingin mengeden. Rasanya sangat ingin
buang air kecil, tapi saat ke kamar mandi malah tak keluar apa-apa. Rasa sakitnya
pun semakin menjadi-jadi. Seperti ada yang mengganjal di bawah perutku. Kali ini kupaksakan
berjalan-jalan di sekeliling klinik, meski sakit aku terus berjalan. Aku takut
akan bermalam lagi di klinik tanpa kepastian, karena ini sudah lewat tengah
hari.
Kira-kira pukul 14.00 WIB, saat giliran cek tekanan darah
yang rutin sekali dalam sejam oleh asisten sang bidan, tiba-tiba serasa ada
yang merembes di bawah saat kontraksi. Seperti ada bunyi ban yang tiba-tiba kempes.
“Tusss!!!” Dan benar saja, ternyata ketubanku pecah.
Setelah itu kulihat si asisten sibuk menelepon sang bidan,
dan dalam waktu yang tak berapa lama bidannya sudah datang. Langsung menghampiriku
dan memeriksa, “Alhamdulillah sudah pembukaan 6,” ucapnya tersenyum. “Dari
kemarin kontraksi yang seperti ini yang ditunggu-tunggu, eh baru sekarang
datangnya,” sambung si bidang lagi masih dengan wajah yang sumringah.
Seketika ia dan asistennya sibuk menyiapkan peralatan
persalinan. Aku sedikit lega, itu berarti tak akan lama lagi waktunya untukku
bertemu si buah hati. Masih menunggu pembukaan lengkap, tapi dipembukaan 7 aku
sudah semakin sering ngeden setiap kali kontraksi.
“Jangan ngeden dulu Mbak!” kata si bidan padaku ku. Tapi aku
mesti bagaimana. Sudah sekuat tenaga kutahan untuk tak mengeden, tapi tak bisa.
Telah kuatur nafas, kuhirup dalam-dalam dan kubuang perlahan, tetap saja mengeden lagi dan lagi saat
kontraksi. Setelah diperiksa lagi oleh si bidan, ternyata posisi bayi sudah
sangat di bawah, sudah kelihatan ujung kepala dan rambutnya, sementara pembukaan
belum lengkap. Itulah yang menyebabkan aku terus-menerus mengeden. Dan kata si
bidan, sekeras apapun aku mengeden, kalau pembukaan masih belum lengkap, bayi
tak akan bisa keluar, meskipun hanya kurang setengah senti pembukaan.
Kamu semakin mendesak ingin keluar Nak, tapi pembukaan
bejalan dengan lambat setelah sembilan sentimeter. Entah telah berapa lama, barulah
pertambahannya sedikit merangkak ke sembilan setengah sentimeter. Tapi setelah itu
kembali berjalan dengan lambat. Hingga akhirnya bidan menawarkan padaku untuk
dilakukan anestesi, suntikan untuk membantu penipisan dinding vagina, karena
menurutnya vaginaku tebal sehingga pembukaannya jadi berjalan lama, sementara
bayi sudah ingin keluar. Sang bidan meyakinkan ini bukanlah suntikan untuk induksi,
karena memang kesepakatan dan komitmen kita dari awal untuk tidak ada
intervensi sama sekali pada si bayi, biarkan dia keluar dengan sendirinya
secara alami tanpa adanya pemaksaan melalui induksi.
Setelah pembukaan lengkap, aku mulai di bebaskan untuk
mengeden. Bidanpun bertanya, posisi mana yang aku paling merasa nyaman untuk
melahirkan. Jongkok atau telentang. Kupilih untuk tetap telentang karena
mungkin sudah terlanjur merasa nyaman. Tapi setelah beberapa kali ngeden, bayi belum
juga mau keluar. Akhirnya si bidan menyarankanku untuk mencoba posisi jongkok,
agar bisa terbantu juga dengan gaya grafitasi. Aku mengubah posisi, mengangkat
tubuhku sambil dibantu ditopang asisten dan suami.
Aku berjongkok sambil memeluk suami dihadapanku. Tugas suami adalah
menopang tubuhku dengan tangan bergelelayutan di lehernya. Aku mengeden lagi dan
lagi, entah berapa kali hingga aku merasa lelah, tapi aku tahu, ini bukan lah
saatnya untuk menyerah, ini adalah puncaknya. Mengeden lagi sambil pelukanku
semakin kukencangkan tanpa sadar karena menahan sakit. Entah sudah mengeden yang ke berapa, Alhamdulillah
akhirnya kepalamu keluar Nak.
Aku mengeden lagi, kali ini rasanya tak karuan luar biasa. Sulit
diungkapkan dengan kata-kata. Perobekan yang tak tahu entah seberapa. Keringat
yang tak henti bercucuran, mata yang hampir terpejam menahan kesakitan. Sementara
kata si bidan aku tak boleh memicingkan mata agar tetap tersadar. Dalam kelelahan,
akhirnya kamu keluar Nak. Tepat pukul 16.00 WIB, di hari Senin pada 31 Maret 2014. Bayi merah yang cukup besar untuk ukuran baru lahir,
3,9 kg dan panjang 50 cm. Alhamdulillahi Rabbil’alamin, puji-pujian pada Allah terdengar bersahut-sahutan di ruangan itu. Kutatap lemah ayahmu yang masih terlihat takjub, dengan bibir yang tak henti memuji Allah, ia daratkan ciuman lembut di keningku. Ingin rasanya aku berteriak, "kita telah menjadi orang tua Sayang!"
Kamu tenang, dan tak menangis Nak. Ternyata bayi yang lahir
dengan sehat dan selamat tak harus menangis. Tapi kakak perempuanku yang turut
menemani persalinanku mempermasalahkan hal itu. Akhirnya sang bidan menyentil
bagian tubuhmu entah yang mana sehingga kamu berteriak dengan kerasnya. Seketika
ruangan itu menjadi ramai.
Sambil bidan menjahit luka bekas robekan, entah berapa jahitan, kamu lalu diletakkan didadaku Nak, untuk IMD (Inisiasi
Menyusui Dini). Ada rasa aneh, luapan kebahagiaan yang sulit terkatakan, yang juga diakui kebanyakan ibu yang baru melahirkan, rasa bahagia yang mengharu biru inilah yang menyebabkan sakitnya tusukan jarum jahitan luka itu jadi tak terasa. Saat pertama
kali kulit merahmu, bersentuhan dengan kulitku, saat mengelus-elus rambutmu
yang masih basah, rambut yang hitam dan tebal. Ada rasa haru yang tak
terbendung, sekarang aku adalah seorang Ibu, Nak. Menatapmu yang masih sibuk
menangis sekuat-kuatnya, semakin menyusupkan bahagia di hatiku. Selamat datang
Nak, dan warnai hidupku!!!
“Maka nikmat Tuhanmu
yang mana lagikah yang kamu dustakan?” ***
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





1 komentar:
Luar biasa..... :D
Posting Komentar