Tentang kematian, seperti apapun
ceritanya, tetap meninggalkan bekas disini, di dalam dada, meski hanya setitik,
jauh di dasarnya…..
Ah, Ma, tiba-tiba selintas
bayanganmu menyergap ingatanku. Kenanganku melayang ke masa lima tahun lalu,
tak terasa begitu cepat waktu berlari. Telah berbilang tahun sudah Ma. Tiga
hari pasca gempa dahsyat yang mengguncang kampung halaman kita. Bukan, bukan
karena gempanya, tapi memang itulah waktu dimana kita harus berpisah selamanya
di dunia.
Sudah menahun kau menahan sakit di
badanmu. Entah sakit apa, sampai saat inipun aku tak tahu menamainya bahkan
sulit untuk menjelaskannya menjadi kata-kata. Hingga tubuhmu kurus dan semakin
kurus saja jadinya. Tentang obat, janganlah lagi ditanya, segalanya telah kita coba
terutama yang alternatif tentunya, karena memang kebiasaanmu yang sejak dulu
jarang mau mengunjungi dokter. Tapi untuk sakitmu kali ini sudah dua kali kita
mendatangi dokter,dengan segala paksaan kami tentunya, anak-anakmu. Dan masih
belum ditemukan penyebab yang jelas, hingga kau pun menyerah untuk kembali
kesana. Setahun belakangan, Mama mulai terlihat pasrah dan menyerah tersebab
sakit yang menjangkitinya itu tak kunjung hilang ataupun sekadar berkurang.
Ma, mengingatnya tiba-tiba dadaku
terasa sesak, sempit. Akhirnya hari itu tiba juga, hari dimana engkau menyerah
pada rasa sakit itu. Seharian kau terlihat aneh bagiku Ma. Tiba-tiba memintaku
mengambilkan air di dalam baskom untukmu, untuk mencuci mukamu, kepanasan
keluhmu saat itu. Kau terus saja menciduk air dari dalam baskom itu lalu mengusapkannya
ke muka dengan tangan ringkihmu. Aku bingung, tapi hanya bisa diam
memperhatikanmu.
Terlalu banyak drama kesedihan yang
terjadi setelah itu, gemetar dadaku menguraikannya kembali satu-persatu.
Dua hari pasca gempa Sumatera Barat,
sore itu Jumat 2 Oktober 2009. Sore yang masih biasa seperti hari-hari sebelumnya.
Tapi tidak, hari itu tubuhku rasanya seperti tercekat, dadaku serasa sesak, aku
takut. Dari siang aku mulai merasakan tanda-tanda itu, tapi selalu mencoba menepisnya
dengan berkata dalam hati bahwa masih akan lama, belumlah sekarang saatnya.
Tapi, sore itu nafasmu tiba-tiba saja sesak Ma, tubuhmu seperti kepanasan,
berkali-kali meminta agar mukamu diguyur dengan air dingin. Dan sesaat setelah
itu, kau meminta untuk diambilkan segelas air putih, ingin minum katamu. Tapi entah
kenapa air itu sulit melewati tenggorokanmu, lehermu seperti tercekat. Nafasmu
tiba-tiba sesak memburu, dan matamu membelalak.
Aku takut Ma, teramat takut. Entah
kenapa dalam sekejap tiba-tiba seolah merasakan firasat itu. Begitu pula Uni
Sri, kakak perempuanku kurasa. Seketika ia panik, tiba-tiba terisak, dan dengan
kalut ia membaca kalimat “Laailaahaillaah” berkali-kali dan meminta Mama untuk
mengulanginya. Sementara aku hanya bisa menangis saat itu Ma. Otakku seperti
tiba-tiba buntu, tak tahu mesti melakukan apa. Dengan panik pula aku meminta
Lona, saudara sepupu yang tinggal dengan kita untuk memanggil tetangga depan rumah,
mencoba meminta bantuan. Karena saat itu hanya ada kita berempat di rumah,
perempuan semua. Sama-sama tak tahu mesti bagaimana.
Seketika beberapa orang datang,
termasuk salah seorang Ustadz yang pernah menjadi guru mengajiku saat duduk di
bangku Sekolah Dasar dulu, tinggalnya tak begitu jauh dari rumah. Beliau lalu
memintaku mengambilkan segelas air putih dan sendok, lalu mencoba menyuapinya
ke mulut Mama, tapi sepertinya tubuh Mama menolak, lagi-lagi air itu tak bisa
lewat sedikitpun ke kerongkongan Mama, tetap tercekat, tumpah kemana-mana.
Kemudian kurasakan kasur Mama basah, Mama baru saja buang air kecil karena
menahan sakit. Sementara itu oleh si Ustadz, aku dan Uni Sri diminta untuk
terus membacakan asma Allah, dekat ke telinga mama. Terus dan terus di samping
Mama yang bagiku terlihat sedang sekarat. Dalam hati aku selalu mencoba menepis
dengan berkata, Mama belum akan pergi, belum ini saatnya.
Hingga malam, semakin banyak
tetangga yang berdatangan, turut membacakan ayat-ayat Allah. Di tengah sayup
lantunan Al-Quran, Mama kemudian berbisik, meminta didudukkan. Kupikir mungkin
seperti biasa, Mama merasa lelah untuk terus berbaring. Kukatakan pada Uni Sri,
tapi ia tak mau melakukannya karena takut terjadi apa-apa pada mama, takut
malah membuat mama jadi semakin lelah. Tapi mama tetap meminta dengan nada
suara yang kali ini mulai meninggi, yang kutahu pasti ia sangat kesulitan
mengumpulkan kekuatan untuk mengeluarkan suara sekeras itu. Akhirnya kuberanikan
diri mengangkat tubuh mama. Perlahan menyelipkan kedua lenganku ke bawah
punggung mama yang ringkih. Pelan kuangkat sampai posisi ia terduduk. Lalu mama
memelukku kuat, sangat kuat. Pelukan yang entah kapan, dulu pernah kurasakan.
Aku lupa. Dadaku bergetar menyadari tubuh mama sudah sangat kurus, hingga kurasakan
tulang-tulangnya diantara lengan dan telapak tanganku.
Tubuh kurus Mama ada dipelukanku. Kepalanya terkulai lemah dan kutahan dengan
tanganku. Hanya sebentar, pelukannya kemudian mulai melemah, tanggannya tak
lagi merangkul tubuhku. Aku takut, segera kukembalikan mama ke posisi tertidur,
sementara mataku kembali basah menganak sungai. Menatap perempuan tua
dihadapanku itu, pikirianku kembali melayang ke masa bertahun-tahun yang lalu.
Sungguh betapa besar pengorbanannya membesarkan kami anak-anaknya, dulu betapa
kuatnya dia, mengambil alih tugas menghidupi kami semenjak Papa tak lagi
bekerja. Kini Ma, hanya air mata yang terus mengalir, getir menatap
penderitaanmu.
Sekitar pukul 22.00 WIB, adik
perempuan mama datang, ibunya Lona. Ia adik perempuan Mama satu-satunya dan
orang yang memang paling banyak membantu kami selama ini. Setelah berunding
dengan saudara yang lain dan beberapa tetangga akhirnya diputuskan akan membawa
Mama ke kampung halaman, karena disana akan banyak orang yang mengurusi,
sementara disini tak ada siapa-siapa. Lagi pula, dulu mama sering bilang kalau
nanti ia meninggal ingin dikubur di kampung halamannya.
Rencananya akan membawa mama dengan
menggunakan ambulans, namun karena kondisi pasca gempa, tak ada satupun ambulas
yang bisa digunakan. Dipakai semua untuk membawa korban gempa. Akhirnya
diputuskan, membawa Mama dengan mobil Tek Eli saja. Aku dan Uni Sri yang
memangku Mama di bangku tengah. Lona dan adik perempuannya terpaksa duduk di
bagasi. Karena tipe mobilnya yang kecil, kaki mama tak bisa diluruskan, terpaksa
kami tekukkan lutut Mama. Dari wajahnya aku tahu Mama kesakitan, tapi mesti
bagaimana? Maafkan kami ya Ma.
Tepat pukul 23.30 WIB kami berangkat
setelah berpamitan dengan para tetangga sebelumnya. Mobil pun berjalan pelan,
membelah kesunyian kota Padang yang gelap gulita pasca gempa. Sunyi, serasa
kota mati. Tak ada cahaya, sepanjang jalan hanya terlihat bangunan yang roboh
dan hancur karena gempa. Di hatiku mulai menyusup dingin, tiba-tiba membayangkan
tentang perjalanan kematian, terasa seperti memaksa pulang kampung seolah
memaksa kematian Mama. Lagi, air mataku mengalir perlahan. Ada perih yang tak
bisa kutahan, jauh di dalam dada.
Serasa dilingkupi aura kematian, dingin,
sunyi. Yang lagi-lagi kutepis dengan mencoba membohongi nurani, berkata dalam
hati, “Sebentar lagi akan sampai di kampung, lalu Mama akan tidur di kasur
tipisnya, di lantai, di ruang tengah rumah seperti biasa.” Aku masih diam,
hanya diam, mencoba mengendalikan pikiran-pikiran buruk yang mulai menggerogoti
hati, sementara Uni Sri yang posisi kepala mama ada di pangkuannya, masih
membisikkan asma Allah “Laailaahaillah,” berulang-ulang. Dan mama sekuat tenaga
mengikutinya, meski yang terdengar hanya ucapan Allah karena Mama yang kelihatan
semakin payah untuk sekadar menggerakkan bibirnya. Seringkali yang terdengar
hanya erangan dan rintihan, entah karena kesakitan atau memang nafas yang
semakin susah diatur.
Mama terlihat gelisah, pelan ia menggerak-gerakkan
kakinya, sepertinya tak nyaman dan kesakitan karena kaki yang ditekuk.
Sementara tangan kiriku terus saja memegangi kakinya yang terasa semakin dingin,
sangat dingin. Sesekali Mama meminta minum dan Uni Sri menyuapinya dengan
sendok perlahan. Sepertinya kali ini air itu bisa melewati kerongkongan Mama,
meski sangat sedikit.
Tak berapa lama, Uni Sri merasakan
mual di perutnya, lalu memintaku menggantikannya membisikkan asma Allah pada Mama,
akupun melakukannya dengan menyebutkannya agak keras karena posisiku berada di bagian
kaki mama. Hanya sebentar, sekitar 10 menitan mungkin, kemudian Uni Sri kembali
menggantikan, lalu akupun tertidur karena kantuk yang sebenarnya sudah sedari
tadi kutahan. Aku tahu Uni sri pun pasti tak kalah lelah dan mengantuk luar
biasa. Namun mataku telah terlanjur terpejam hingga tak tahu lagi apa yang
terjadi beberapa menit setelahnya.
Tiba-tiba aku tersentak, terbangun
dari tidurku. Sedikit pusing, mengerjap-ngerjap berusaha menajamkan
penglihatan. Uni Sri terlihat panik di sampingku. Kualihkan pandangan pada Mama,
tangan kanannya menjulur keatas, seperti menggapai sesuatu. Uni Sri memintaku
memegangi tangan Mama. Dia semakin panik, akupun yang tak kalah panik. Gelagapan
dia mencari-cari jejak nadi di tangan mama dan mendekatkan tangannya ke hidung Mama.
“Un baa ko Un?” teriaknya padaku. Air
mukanya pucat ketakutan. “Coba dekatkan tangan kehidung Mama!” perintahnya
padaku. Gemetar perlahan kudekatkan tanganku ke hidung mama, detik pertama,
lima detik berikutnya,dan detik setelahnya. Oh Tuhan, tak kurasakan apa-apa di
sana. Aku ragu, kalut, mulai ketakutan, tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Apakah ini benar-benar sebuah kenyataan? Benarkah Mama sudah pergi? Oh…. Tidak!!
Tidakkah aku hanya sedang bermimpi, mimpi yang teramat buruk? Aku mulai
histeris, menangis sejadi-jadinya. Kudekatkan lagi tanganku ke hidung Mama, kali
ini seolah kurasakan sedikit hawa panas disana, dan kupikir kurasakan sedikit hembusan
angin. Tapi tidak, hal itu sama sekali tidak terjadi. Aku hanya sedang
menghibur diriku sendiri. Entah karena belum bisa menerima kenyataan atau
memang alam bawah sadarku yang tak mau
menerimanya.
Air mataku semakin deras mengalir membanjiri
tebing pipi. Apakah ini benar-benar terjadi? Inikah saat perpisahan kami dengan
Mama? Tidak,kumohon jangan sekarang. Siapa saja, tolonglah bangunkan aku dari
mimpi ini, mimpi yang sama sekali tak ingin kualami. Oh… kumohon jangan
hancurkan hatiku seperti ini. Dalam isakan, keperhatikan wajah Mama lamat-lamat.
Mama hanya diam, desahan nafasnya tak lagi terdengar, wajah putihnya pucat pasi.
Tanpa kusadari, ternyata kaki mama telah terkulai lemah di atas pangkuanku.
Seperti es, kurasakan dingin dan beku. Beku yang kemudian juga menjalari
hatiku.
“Sudahlah, Mama sudah pergi,” kata
Tek Eli pelan mencoba menenangkan aku dan Uni Sri. Tapi percuma, saat ini yang
kuinginkan hanya menangis, menangis sejadi-jadinya, mungkin hingga aku lelah
atau hingga air mata enggan keluar lagi. Perlahan Uni Sri menutup mata Mama yang
masih sedikit terbuka dengan jemarinya, sementara aku masih tenggelam dalam isak.
Meski Tek Eli dan suaminya mencoba menenangkan, meminta berhenti menangis, sama
sekali tak kupedulikan. Aku dan Uni Sri terus dan terus saja menangis.
Aku masih menangis. Terus menangis
seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesukaannya, menangis seperti seorang
kekasih yang berpisah dari orang yang teramat dicintainya, menangis hingga
suaraku hampir habis. Hatiku patah. Lama kupandangi Mama yang kini seperti
orang tertidur, pucat pasi di pangkuanku. Kugenggam tangannya yang dingin dan
kaku. Kini yang ada di pangkuanku hanyalah jasad mama yang tak kan mungkin lagi
nanti kudengar rintihannya atau sekadar suaranya yang sibuk menyuruh kami
bangun pagi sejak saat masa sekolah dulu. Ah Ma, engkau membuatku merasakan
kesedihan yang sama sekali tak pernah kurasa sebelumnya, sedih yang
menusuk-nusuk sampai jauh ke dasar hati sana, sedih yang rasanya melemahkan
tulang dan raga. Hari itu, 3 Oktober 2009, Pukul 02.00 dini hari, tepat di
kebun Teh daerah Kayo Jao tempat mama pergi selamanya.
Mobil terus berjalan perlan membawa
jasad mama. Sementara suami Tek Eli sibuk menelepon sanak keluagra, memberi
tahu semua orang berita duka ini. Pandanganku kosong menatap keluar jendela,
termenung. Di luar, malam masih gelap dan sepi. Tak terasa waktu sudah hampir
mendekati subuh saat kami baru tiba di kampung. Dan saat tubuh itu diangkat Paman
dari pangkuanku lalu dibawa masuk ke dalam rumah, tangisku lagi-lagi pecah, tak bisa kutahan.
Mama memang ditidurkan di kasur
tempatnya biasa, tapi kali ini tidur yang tak kan pernah bangun lagi. Lembut
kucium keningnya yang seputih kertas, sangat dingin saat bersentuhan dengan
bibirku. Rasa dingin yang mungkin tak kan pernah bisa kulupa sepanjang hidup.
Kukalungkan tangan kiriku di dada Mama, memeluk tubuhnya dengan sebelah tangan
seperti ia selalu memelukku saat akan tidur di waktu kecil dulu. Selamat jalan Ma.
Maafkan aku yang sering memberimu luka, sepanjang hidupmu.
***
Setelah kita benar-benar berpisah,
takdir kehidupan membawaku jauh ke seberang pulau sana. Ma, menatap gundukan
tanah yang mengubur tubuhmu setelah dua tahun kutinggalkan, kembali ada rasa
muram di sana. Mengingatmu, betapa kini segala desakan sesal menyalak, meraja tak berdaya. Kini telah ada
cucumu Ma, membuatku lebih paham betapa beratnya, menjaga dan setia melindungi semua
anak-anakmu. Ma, ketakutanku kian bertambah, setelah cucumu lahir menjadi
semakin menggununglah rasa sesalku padamu, yang tak mencintaimu sebagaimana
mestinya, yang tak membalas jerihmu dengan senyum dan bahagia.***
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





1 komentar:
Sedih bacanya Un...semoga Mama Un tenang di sisiNya..
Posting Komentar