Pages

Jumat, 06 Februari 2015

TIGA

Posted by Ulvina Haviza On 01.57 4 comments

:Setyo Nugroho

Sayang, kamu ingat saat kali pertama kita bertemu? Ah, mungkin kamu tidak ingat bahkan mungkin tak pernah tahu. Tapi aku persis mengingatnya, karena saat itu mungkin hanya aku yang selintas memperhatikanmu. Ya hanya selintas setelah mendengar sekilas bahwa sebelumnya kamu berkerja di Stasiun Televisi  Trans 7. Aku jadi memperhatikanmu, karena saat itu adalah masa-masa dimana aku masih sangat antusias dengan dunia media massa, media cetak maupun televisi. Maklum, sebagai lulusan yang belum lama menamatkan pendidikan, masih terbawa-bawa semangat mahasiswanya. Sebab dulu aku pernah mengarungi dunia yang hampir sama, bedanya aku lebih banyak di dunia kepenulisan dan kamu di layar kaca, menjadi wartawan kampus.  Ya, karena itulah aku menatapmu selintas, tentunya tak begitupun kau sebaliknya.

Aku ingat, saat itu adalah hari dimana kita mesti melengkapi berkas persyaratan setelah sama-sama diterima menjadi pegawai negeri. Kebetulan kita duduk di barisan kursi yang sama tapi tidak berdekatan, ada satu orang yang duduk di antara aku dan kamu saat itu, menjadi pemisah antara kita. Karena jarak yang cukup dekat, aku jadi bisa mendengar beberapa pertanyaanmu kepada panitia penerimaan pegawai saat itu. Tentang harus berhenti bekerja di tempat yang lama setelah diterima di kantor ini, kantor tempat kita bekerja.
Ya, hanya sebatas itu saja. Kita pun tak sempat saling bertatap, tak ada suara, tak ada rasa. Berlalu begitu saja seiring berlalunya waktu mengulang kelipatan detik, menit dan jam setiap harinya. Hingga saat kita telah sama-sama mulai bekerja, kita tak pernah benar-benar saling menyapa, meski sesekali mungkin pernah bertatap muka. Namun entah bagaimana dengan jiwa, barangkali saat itu jiwa-jiwa kita telah saling menyapa, tentang jodoh yang dulu tertulis di Lauh Mahfuz sebelum kita ada di dunia. Barangkali saat itu mereka sedang melonjak kegirangan karena kini telah dipertemukan. Sementara raga kita sama sekali belum bertahuan.
Semuanya berlalu begitu cepat. Hingga sampai pada saat seorang teman dekat, bukan teman dekatku, tapi teman dekatmu tiba-tiba menanyakan perihal pendamping hidup padaku. Tentang berpikir mencari pasangan hidup, tentang kesiapan untuk menikah, dan tentang penawaran seorang lelaki yang katanya ingin “berta’aruf” denganku. Dan aku sama sekali tak menyadari bahwa itu adalah kamu. Sebab diri langsung buru-buru menolak halus karena merasa sama sekali belum ada kesiapan.
Kamu belum menyerah rupanya. Pelan dan perlahan, tanpa kusadari teman dekatmu yang belakangan menjadi teman dekat kita berusaha mendekatkanku dengan istrinya, yang pada awalnya aku hanya berpikir bahwa sangat baik untuk membangun silaturrahmi  dan memperbanyak saudara di tengah perantauan, yang ternyata secara tak langsung juga sebagai jalan tentang usaha mendekatkanku denganmu, untukmu mengenalku lebih jauh, sepertinya begitu.
Masih kuingat dengan jelas, hari itu hari ke 28 bulan Ramadhan di tahun 2011. Hari dimana aku menerima kabar permintaanmu tentang proses ta’arufan menuju pernikahan. Dari siapa lagi kalau bukan dari sepasang suami istri yang kau tunjuk menjadi perantaramu saat itu. Dalam hati aku berpikir seandainya saat itu kamu yang langsung menyampaikannya padaku, mungkin aku akan langsung menolaknya. Tapi entah kenapa saat itu aku memutuskan untuk diberi waktu memikirkannya. Setelah mendengarkan nasehat dan beberapa pertimbangan dari mereka.
Kamu tahu, hari itu aku sangat terkejut, rasanya aku benar-benar kalut, bingung, takut, atau entah perasaan apa lagi yang sulit untuk kujelaskan. Rasanya hati dan pikiranku diterpa badai yang mengombang-ambing teramat kencang. Mengaduk-aduk segala perasaan. “Menikah” secara tiba-tiba pikiranku dipenuhi sesak dengan kata-kata itu, kata yang sama sekali belum sempat terpikirkan sebelumnya, terlintaspun tidak.
Ah… tanpa terasa ternyata diri ini sudah dewasa, sudah ada yang berani mengajak untuk menikah. Aku begitu takut, dalam waktu yang terasa begitu cepat tiba-tiba aku mesti memikirkan jauh tentang masa depan, tentang pernikahan, tentang hidup bersama dengan seorang lelaki, tentang membangun rumah tangga, dan masih banyak hal besar lainnya, belum lagi tentang melangkahi dua orang kakak yang belum menikah, tentang menyatukan dua keluarga dan tentang latar belakang budaya kita yang jauh berbeda. Aku gadis Minang dan kau pemuda Jawa. Arrgghhhh….kepalaku mendadak pusing, kuputuskan untuk pergi tidur, tapi ternyata mataku sulit terpejam.
Pikiranku masih melayang dipenuhi berbagai pertanyaan. Inikah waktunya bagiku untuk melangkah ke jenjang pernikahan? Tidakkah ini terlalu cepat? Tegakah aku melukai hati kedua saudariku dengan menikah terlebih dahulu? Dosakah jika lagi-lagi aku menolak penawaran yang baik tentang pernikahan? Oh…Tuhan sungguh begitu menggunung kekalutan yang ingin kuadukan. Akhirnya pada-Mu kuputuskan untuk meng-istikharah-kan.
Entah bisikan dari mana, akhirnya kuputuskan untuk mau menerima menjalani proses ta’aruf denganmu yang ternyata berjalan dalam waktu yang tak terlalu lama, hanya dua minggu sejak aku menerima penawaran itu. Entahlah, kupikir juga akan butuh waktu yang lama untukku berpikir, mempertimbangkannya, tapi ternyata tidak. Tiba-tiba saja aku merasa yakin untuk memulai proses ini denganmu. Meski ada terbesit ragu, namun dipikiranku saat itu terselip keyakinan, dengan pendamping hidup yang sepertimu sisa usiaku akan dipenuhi dengan kebahagiaan, menikah denganmu rasanya akan memberikan ketenangan, dan dengan lelaki sepertimu rumah tanggaku akan dikaruniai ketenteraman. Bismillah…
Sejak saat itulah segala ujian dan rintangan akan niat baik ini berdatangan. Mulai dari meminta  izin untuk melangkahi dua orang saudari, berusaha menyamakan visi dalam menikah, proses lamaran yang cukup berliku, hingga ihwal perayaan yang sempat menjadi perdebatan. Namun Alhamdulillah segalanya bisa terlewati hanya dalam rentang enam bulan perputaran waktu berganti. Benarlah kiranya engkau yang Allah tuliskan, hingga segala dapat termudahkan.
Setelah perjanjian suci kau ikrarkan, maka bermulalah kita merenda keluarga. Padamu kutambatkan cinta  untuk seorang lelaki pertama kalinya. Mengejanya mulai dari alif, ba, ta. Membiasakan diri menatap wajahmu di samping tempat tidur kala terbangun di pagi hari. Melompat kegirangan setiap kali mendapat panggilan dengan kata “sayang”, bahagia luar biasa saat pertama kali saling berpegangan tangan. Ya, padamu akhirnya kupercayakan hati, untuk memperbaiki diri dan membangun rumah tangga yang surgawi.
Kini, telah tiga tahun berlalu, bagiku rasanya masih tetap sama seperti pertama dulu. Ternyata aku mencintaimu . Sangat mencintaimu. Jauh melebihi alasan apapun tentang bahwa kamu tampan atau tidak, berbadan gemuk atau berperut kotak-kotak, atau tentang apa saja. Dan dalam masa cinta kita Allah telah karuniakan Adlan sebagai buah cinta. Kamu sering bilang bahwa lebih mencintai dan menyayanginya dari pada diriku. Aku yang nomor dua setelah Adlan. Tidak apa-apa, sungguh tak apa sayang. Bukankan Adlan adalah penanda bagi cinta kita, dia merupakan akumulasi perjuangan dan perjalan cinta yang kita pupuk sejak awal memutuskan untuk hidup bersama.
Tapi cinta bukanlah cinta tanpa ujian yang membersamainya. Menginjak tiga tahun sudah kita berumah tangga. Segala burukku, segala burukkmu, tak ada lagi rahasia diantara kita. Namun tentang burukku, maafkanlah aku jika yang ada padamu, terbanyak adalah penyulut rasa kecewa.
Maafkan aku sayang, karena seringkali lupa bahwa kita dibesarkan dengan cara yang jauh berbeda, dengan latar bahasa yang berbeda, dengan budaya dan kebiasaan dalam keluarga yang tak sama. Bahkan, seringkali bukan nada lembut yang keluar dari bibirku untukmu. Tidak, sama sekali aku tidak sedang marah atau bermaksud begitu. Akan tetapi nada yang meninggi ini tanpa sengaja ternyata telah ikut menjadi kebiasaanku. Yang seringkali kau tegur unktukku menghilangkannya, dan memang sudah seharusnya aku berupaya menghilangkannya.
Ya, tak sepatutnya memang jika nanti anak-anak kita mendengarkannya, mendengarkan ibunya bicara dengan nada keras padanya. Serasa kelak ia menerima kemarahan dariku setiap harinya. Tidak, sungguh aku tidak ingin itu terjadi. Sama sekali tak ingin buah hati kita merasakan rasa kehidupan yang berbaur ketakbahagiaan karena keterlebihan kecerewetanku sebagai ibunya. Setidaknya ada kamu, ayahnya yang super lembut sebagai penyeimbang rasa.
.               Sayang, mengingatmu saat pertama kali kita bertemu dulu, sungguh sama sekali tak terpikir bahwa itu adalah kamu. Suamiku, terima kasih telah memilihku. Terima kasih telah memintaku untuk berada di sisimu. Meski kamu bukan lelaki yang romantis, tapi kamu adalah suami terbaik dan ayah terhebat sedunia. Selamat ulang tahun ketiga pernikahan kita sayangku.***

4 Februari 2015



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

4 komentar:

Barakallah... akhirnya sempat juga mampir. Berobat atas rindu.-di pustaka kampus- Akibat suratmu yang tak kunjung tiba.. hehe.. Sibuk kali ya dek? Sepenuh-penuh doa kami untuk Aunty uun, Om Setyo... Semoga samawa dunia akhirat. Jadi orang tua terbaik sedunia untuk Adlan :")

Thanks to ayahnya AbiqAkhdan yang tak putus asa untuk jadi perantara

Posting Komentar