:Setyo Nugroho
Sayang, kamu ingat saat kali pertama
kita bertemu? Ah, mungkin kamu tidak ingat bahkan mungkin tak pernah tahu. Tapi
aku persis mengingatnya, karena saat itu mungkin hanya aku yang selintas
memperhatikanmu. Ya hanya selintas setelah mendengar sekilas bahwa sebelumnya
kamu berkerja di Stasiun Televisi Trans
7. Aku jadi memperhatikanmu, karena saat itu adalah masa-masa dimana aku masih
sangat antusias dengan dunia media massa, media cetak maupun televisi. Maklum,
sebagai lulusan yang belum lama menamatkan pendidikan, masih terbawa-bawa
semangat mahasiswanya. Sebab dulu aku pernah mengarungi dunia yang hampir sama,
bedanya aku lebih banyak di dunia kepenulisan dan kamu di layar kaca, menjadi
wartawan kampus. Ya, karena itulah aku
menatapmu selintas, tentunya tak begitupun kau sebaliknya.
Aku ingat, saat itu adalah hari
dimana kita mesti melengkapi berkas persyaratan setelah sama-sama diterima
menjadi pegawai negeri. Kebetulan kita duduk di barisan kursi yang sama tapi
tidak berdekatan, ada satu orang yang duduk di antara aku dan kamu saat itu,
menjadi pemisah antara kita. Karena jarak yang cukup dekat, aku jadi bisa mendengar
beberapa pertanyaanmu kepada panitia penerimaan pegawai saat itu. Tentang harus
berhenti bekerja di tempat yang lama setelah diterima di kantor ini, kantor
tempat kita bekerja.
Ya, hanya sebatas itu saja. Kita
pun tak sempat saling bertatap, tak ada suara, tak ada rasa. Berlalu begitu
saja seiring berlalunya waktu mengulang kelipatan detik, menit dan jam setiap harinya.
Hingga saat kita telah sama-sama mulai bekerja, kita tak pernah benar-benar
saling menyapa, meski sesekali mungkin pernah bertatap muka. Namun entah
bagaimana dengan jiwa, barangkali saat itu jiwa-jiwa kita telah saling menyapa,
tentang jodoh yang dulu tertulis di Lauh Mahfuz sebelum kita ada di dunia.
Barangkali saat itu mereka sedang melonjak kegirangan karena kini telah
dipertemukan. Sementara raga kita sama sekali belum bertahuan.
Semuanya berlalu begitu cepat. Hingga
sampai pada saat seorang teman dekat, bukan teman dekatku, tapi teman dekatmu tiba-tiba
menanyakan perihal pendamping hidup padaku. Tentang berpikir mencari pasangan
hidup, tentang kesiapan untuk menikah, dan tentang penawaran seorang lelaki
yang katanya ingin “berta’aruf” denganku. Dan aku sama sekali tak menyadari
bahwa itu adalah kamu. Sebab diri langsung buru-buru menolak halus karena
merasa sama sekali belum ada kesiapan.
Kamu belum menyerah rupanya. Pelan
dan perlahan, tanpa kusadari teman dekatmu yang belakangan menjadi teman dekat
kita berusaha mendekatkanku dengan istrinya, yang pada awalnya aku hanya berpikir
bahwa sangat baik untuk membangun silaturrahmi dan memperbanyak saudara di tengah perantauan,
yang ternyata secara tak langsung juga sebagai jalan tentang usaha mendekatkanku
denganmu, untukmu mengenalku lebih jauh, sepertinya begitu.
Masih kuingat dengan jelas, hari
itu hari ke 28 bulan Ramadhan di tahun 2011. Hari dimana aku menerima kabar
permintaanmu tentang proses ta’arufan menuju pernikahan. Dari siapa lagi kalau
bukan dari sepasang suami istri yang kau tunjuk menjadi perantaramu saat itu.
Dalam hati aku berpikir seandainya saat itu kamu yang langsung menyampaikannya
padaku, mungkin aku akan langsung menolaknya. Tapi entah kenapa saat itu aku
memutuskan untuk diberi waktu memikirkannya. Setelah mendengarkan nasehat dan
beberapa pertimbangan dari mereka.
Kamu tahu, hari itu aku sangat
terkejut, rasanya aku benar-benar kalut, bingung, takut, atau entah perasaan
apa lagi yang sulit untuk kujelaskan. Rasanya hati dan pikiranku diterpa badai yang
mengombang-ambing teramat kencang. Mengaduk-aduk segala perasaan. “Menikah”
secara tiba-tiba pikiranku dipenuhi sesak dengan kata-kata itu, kata yang sama
sekali belum sempat terpikirkan sebelumnya, terlintaspun tidak.
Ah… tanpa terasa ternyata diri ini sudah
dewasa, sudah ada yang berani mengajak untuk menikah. Aku begitu takut, dalam
waktu yang terasa begitu cepat tiba-tiba aku mesti memikirkan jauh tentang masa
depan, tentang pernikahan, tentang hidup bersama dengan seorang lelaki, tentang
membangun rumah tangga, dan masih banyak hal besar lainnya, belum lagi tentang
melangkahi dua orang kakak yang belum menikah, tentang menyatukan dua keluarga
dan tentang latar belakang budaya kita yang jauh berbeda. Aku gadis Minang dan
kau pemuda Jawa. Arrgghhhh….kepalaku mendadak pusing, kuputuskan untuk pergi
tidur, tapi ternyata mataku sulit terpejam.
Pikiranku masih melayang dipenuhi
berbagai pertanyaan. Inikah waktunya bagiku untuk melangkah ke jenjang
pernikahan? Tidakkah ini terlalu cepat? Tegakah aku melukai hati kedua
saudariku dengan menikah terlebih dahulu? Dosakah jika lagi-lagi aku menolak
penawaran yang baik tentang pernikahan? Oh…Tuhan sungguh begitu menggunung
kekalutan yang ingin kuadukan. Akhirnya pada-Mu kuputuskan untuk meng-istikharah-kan.
Entah bisikan dari mana, akhirnya
kuputuskan untuk mau menerima menjalani proses ta’aruf denganmu yang ternyata
berjalan dalam waktu yang tak terlalu lama, hanya dua minggu sejak aku menerima
penawaran itu. Entahlah, kupikir juga akan butuh waktu yang lama untukku berpikir,
mempertimbangkannya, tapi ternyata tidak. Tiba-tiba saja aku merasa yakin untuk
memulai proses ini denganmu. Meski ada terbesit ragu, namun dipikiranku saat
itu terselip keyakinan, dengan pendamping hidup yang sepertimu sisa usiaku akan
dipenuhi dengan kebahagiaan, menikah denganmu rasanya akan memberikan
ketenangan, dan dengan lelaki sepertimu rumah tanggaku akan dikaruniai ketenteraman.
Bismillah…
Sejak saat itulah segala ujian dan
rintangan akan niat baik ini berdatangan. Mulai dari meminta izin untuk melangkahi dua orang saudari, berusaha
menyamakan visi dalam menikah, proses lamaran yang cukup berliku, hingga ihwal perayaan
yang sempat menjadi perdebatan. Namun Alhamdulillah segalanya bisa terlewati
hanya dalam rentang enam bulan perputaran waktu berganti. Benarlah kiranya engkau
yang Allah tuliskan, hingga segala dapat termudahkan.
Setelah perjanjian suci kau
ikrarkan, maka bermulalah kita merenda keluarga. Padamu kutambatkan cinta untuk seorang lelaki pertama kalinya.
Mengejanya mulai dari alif, ba, ta. Membiasakan diri menatap wajahmu di samping
tempat tidur kala terbangun di pagi hari. Melompat kegirangan setiap kali
mendapat panggilan dengan kata “sayang”, bahagia luar biasa saat pertama kali
saling berpegangan tangan. Ya, padamu akhirnya kupercayakan hati, untuk
memperbaiki diri dan membangun rumah tangga yang surgawi.
Kini, telah tiga tahun berlalu, bagiku
rasanya masih tetap sama seperti pertama dulu. Ternyata aku mencintaimu .
Sangat mencintaimu. Jauh melebihi alasan apapun tentang bahwa kamu tampan atau
tidak, berbadan gemuk atau berperut kotak-kotak, atau tentang apa saja. Dan dalam
masa cinta kita Allah telah karuniakan Adlan sebagai buah cinta. Kamu sering
bilang bahwa lebih mencintai dan menyayanginya dari pada diriku. Aku yang nomor
dua setelah Adlan. Tidak apa-apa, sungguh tak apa sayang. Bukankan Adlan adalah
penanda bagi cinta kita, dia merupakan akumulasi perjuangan dan perjalan cinta
yang kita pupuk sejak awal memutuskan untuk hidup bersama.
Tapi cinta bukanlah cinta tanpa
ujian yang membersamainya. Menginjak tiga tahun sudah kita berumah tangga.
Segala burukku, segala burukkmu, tak ada lagi rahasia diantara kita. Namun
tentang burukku, maafkanlah aku jika yang ada padamu, terbanyak adalah penyulut
rasa kecewa.
Maafkan aku sayang, karena seringkali
lupa bahwa kita dibesarkan dengan cara yang jauh berbeda, dengan latar bahasa
yang berbeda, dengan budaya dan kebiasaan dalam keluarga yang tak sama. Bahkan,
seringkali bukan nada lembut yang keluar dari bibirku untukmu. Tidak, sama
sekali aku tidak sedang marah atau bermaksud begitu. Akan tetapi nada yang
meninggi ini tanpa sengaja ternyata telah ikut menjadi kebiasaanku. Yang seringkali
kau tegur unktukku menghilangkannya, dan memang sudah seharusnya aku berupaya menghilangkannya.
Ya, tak sepatutnya memang jika
nanti anak-anak kita mendengarkannya, mendengarkan ibunya bicara dengan nada keras
padanya. Serasa kelak ia menerima kemarahan dariku setiap harinya. Tidak,
sungguh aku tidak ingin itu terjadi. Sama sekali tak ingin buah hati kita merasakan
rasa kehidupan yang berbaur ketakbahagiaan karena keterlebihan kecerewetanku
sebagai ibunya. Setidaknya ada kamu, ayahnya yang super lembut sebagai
penyeimbang rasa.
. Sayang,
mengingatmu saat pertama kali kita bertemu dulu, sungguh sama sekali tak
terpikir bahwa itu adalah kamu. Suamiku, terima kasih telah memilihku. Terima
kasih telah memintaku untuk berada di sisimu. Meski kamu bukan lelaki yang
romantis, tapi kamu adalah suami terbaik dan ayah terhebat sedunia. Selamat ulang
tahun ketiga pernikahan kita sayangku.***
4 Februari 2015
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





4 komentar:
Barakallah... akhirnya sempat juga mampir. Berobat atas rindu.-di pustaka kampus- Akibat suratmu yang tak kunjung tiba.. hehe.. Sibuk kali ya dek? Sepenuh-penuh doa kami untuk Aunty uun, Om Setyo... Semoga samawa dunia akhirat. Jadi orang tua terbaik sedunia untuk Adlan :")
So sweet.. Ehm ehm
So sweet.. Ehm ehm
Thanks to ayahnya AbiqAkhdan yang tak putus asa untuk jadi perantara
Posting Komentar