Hati saya gerimis saat perjalanan pulang, ada perasaan aneh yang menyusup di sana, entah sedih, entah apa, saya bingung mengartikannya. Ini kali pertama saya menjalankan ibadah puasa di negeri rantau. Tentu lagi-lagi mulai belajar tata cara dan kebiasaan orang-orang di dalamnya saat melaksanakan beribadah. Dan benar saja, hmmm….memang cukup jauh berbeda dengan yang biasa saya lakukan di kampung halaman sana. Dalam pelaksanaan shalat tentunya, tentang jumlah rakaat dan berapa kali salamnya.
Ini adalah malam tarawih pertama. Saya dan beberapa teman satu rumah mencoba menunaikannya di Mushala terdekat, kira seratus meterlah jaraknya dari kediaman kita. Tempatnya mungil, tanpa teras dan langsung menyambung dengan jalanan umum. Meskipun begitu, kami tetap Ingin tahu bagaimana rasanya bertarawih disana. Barangkali juga karena memang lokasinya yang paling dekat dengan rumah. Akhirnya malam itu, kaki dilangkahkan juga.
Dan benar saja, inilah yang sejak awal kami takutkan. Mushala mungil itu sudah terisi penuh oleh warga sekitar. Nyaris tak ada lagi tempat tersisa. Sesak. Namun Alhamdulillah keberuntungan hari itu masih berpihak pada kami. Satu barisan paling depan ternyata masih kosong. Dan disanalah akhirnya kami mendaratkan sajadah yang sedari tadi ditenteng ditangan.
Shalat isya pun dimulai, tak ada lagi waktu bagi kami untuk menunaikan shalat sunah rawatib, karena sedari tadi sibuk mencari tempat. Dan dari sanalah dimulai keheranan dan ketaknyamanannya. Sepanjang pelaksanaan shalat yang terdengar hanya teriakan bocah-bocah yang beradu keras mengalahkan suara imam melalui pengeras suara. Bermain dan saling bercanda bahkan diselai dengan isakan akibat pertengkaran kecil yang terjadi di antara mereka. Bahkan sekalimat lugu diantara mereka sempat terekam dibenak saya, “Biarin aja dia nangis, mau anak polisi kek, tentara kek, emang dianya nakal.” Padahal posisinya saya masih sedang menjadi makmum mengikuti imam dalam ruku’ dan sujudnya. Astagfirullahaladzim…. Imam yang bacaan shalatnya pun tak lagi begitu jelas terdengar, suaranya seperti berdengung ketika dipadu dengan pengeras suara, lantunan bacaan shalat itu telah bervariasi dengan banyaknya getaran pada tekanan suara karena faktor usia. Kesempurnaan lafaz dan tajwid pun tak lagi menjadi perhatian utama.
Sambil shalat pun sempat terlintas di benak saya, esok dan seterusnya saya akan berupaya agar tak pernah lagi menjalankan shalat sunnah tarawih di mushala ini. Serasa cukup menyiksa dan ada yang menyesak di dada. Seperti itu saya menjalaninya hingga tuntas delapan rakaat ditambah dengan tiga witir sebagai penutupnya. Hingga setelah itu itu ada perasaan yang amat sangat tak enak menelusup di dada. Perasaan tak nyaman, mungkin juga perasaan kecewa, ataukah merasa bersalah. Dalam hati terbesit, ini tarawih pertama, dalam waktu hijrah yang pertama, di tempat yang baru pertama, dan dengan orang-orang yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya…. Langkah kaki ini pun jadi terasa berat saat pulang, pikiran telah berkelebat kemana-mana.
Memasuki malam kedua, aku memilih jalur berbeda. Jalur yang sedikit lebih jauh tentunya. Subhanallah, tempat ini jauh lebih luas dari lokasi sebelumnya. Dan tata caranya pun tak sama, yang ini memakai hitungan dua puluh tiga untuk tarawih dan witirnya. Hmmm….ini pun baru kali pertama bagiku yang pemula. Sebelumnya, belum pernah aku menjalankan sunnah tarawih sampai dua puluhan sebelumnya. Tapi kupikir, kenapa tidak? Tempatnya pun jauh lebih manusiawi dan lokasi sehari sebelumnya. ^_*
Pelaksanaannya cukup cepat, tanpa ada ceramah atau siraman rohani sebelumnya. Pukul 20.30 WIB, segalanya telah selesai. 23 rakaat dengan sembilan di antaranya ditutup dengan bacaan surat Al-Ikhlas setelah Al-Fatihah nya.
Oh, Rabb ampuni hamba, karena lagi-lagi termasuk ke dalam golongan hamba-Mu yang kurang bersyukur.
Kemudian fikiranku melayang teringat saudara yang kutemui sehari sebelumnya. Membayangkan kenikmatan shalatnya di tempat yang luas lagi nyaman, dipimpin seorang imam dari negeri padang pasir sana, Madinah. Dengan bacaan tenang lagi merdu yang memasuki lafal juz kedua kitab Allah. Ah, sungguh aku benar-benar iri padanya…..
Tiba-tiba hatiku berbisik seolah tak terima, saudaraku, tunggu saja, di hari lain saya akan menyusulmu, menggapai ketenangan dalam jamaah disana.***
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar