Pages

Kamis, 30 Juni 2011

Di Perjalanan Pulang

Posted by Ulvina Haviza On 22.51 No comments


Hari ini rasanya benar-benar malas keluar. Dari tadi aku sibuk menatap kertas yang berserakan di depanku satu-persatu, tepatnya aku kebingungan mengerjakan tugas akhir semester yang menggunung ini. Beberapa dosen menumpuknya sebagai syarat ujian.
Aku tak fokus. Sesekali kulirik juga televisi yang menyala di depanku sambil mengerjakan tugas. Seperti biasanya, masih gosip beberapa artis yang ingin bercerai ditampilkan di sana. Saat mengalihkan sedikit pandangan ke jam dinding di atas televisi, tiba-tiba aku terkejut. Sudah 09.45 WIB. Padahal aku telah berencana ke kampus pukul 10.00 WIB, sebelum siangnya mesti memenuhi rapat organisasi.  
Namun rasa malas telah menguasaiku. Belum lagi perasaanku dari tadi tak enak. Gelisah. Hingga hampir lewat tengah hari, aku masih kebingungan mengacak-acak tumpukan kertas tugas yang semakin berserakan ini.
Mau tak mau, jarum jam yang terus bergerak memaksaku segera bersiap-siap. Kurapikan semua kertas yang berserakan. Lalu bergegas menuju kamar mandi sebelum sebuah panggilan di telepon genggam Lona, sepupuku, berdering.
Langkahku tiba-tiba terhenti melihat wajahnya yang tiba-tiba tegang. Kuurungkan niat ke kamar mandi, lebih memilih untuk mendekati Lona. Mencari tahu.
 “Uni Loren kecelakaan?” tiba-tiba keluar dari mulutnya panik, bertanya pada seseorang diseberang telepon.
Setengah tak percaya dengan yang baru saja kudengar, membuat perhatianku benar-benar tertuju pada Lona. Penasaran. Aku menunggunya segera selesai menelepon. Wajahnya mulai pucat dan tangannya gemetar. Sepertinya berita yang baru didengar Lona benar-benar serius.
Aku ingin segera bertanya. Memuaskan rasa ingin tahuku. Namun gerak bibirku tertahan karena Lona lalu sibuk menekan-nekan tombol telepon genggamnya. Mengirim pesan singkat dan melakukan panggilan.
Wajah Lona semakin tegang. Membuatku agak ragu bertanya, tapi, aku harus bertanya.
“Uni Loren kenapa Na?” tanyaku hati-hati, takut pertanyaanku membuat Lona bertambah tegang.
“Adikku bilang, seseorang meneleponnya. Memberi tahu uni Loren kecelakaan motor,” ucapnya panik sambil air mata yang sepertinya dari tadi ia tahan mulai meleleh.
Aku pun tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Kurangkul Lona perlahan, mencoba menenangkan. Sementara pikiranku melayang, membayangkan kabar yang baru saja kudengar. Barangkali saja kabar itu tak benar.
 Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke telepon genggam Lona. Bergegas ia membukanya. Namun seketika ia terdiam. Dengan sigap kuraih telepon genggam itu dari tangannya. Dua belas digit nomor tertera di layarnya. Ditambah sepotong kalimat pendek, “Ini nomor orang yang tadi memberi kabar keadaan Loren”. Tanpa pikir-pikir lagi, kutekan tombol panggil pada nomor itu. Karena kutahu, Lona tak kan berani untuk menelepon. Lagian, ia sering lemas dengan hal berbau kecelakaan dan rumah sakit.
 “Halo,” ucap suara di seberang setelah lebih dulu mengucapkan salam.
Dengan cepat kubalas salamnya, lalu kuperkenalkan diri. Langsung kutanyakan kabar sepupuku tanpa basa-basi. Ternyata, dia lah orang yang membantu membawa Loren ke rumah sakit. Berusaha tenang kembali kutanyakan keadaan sepupuku.
“Temannya meninggal Dek, sedang Loren waktu kami bawa ke Puskesmas terdekat masih bergerak, tapi keadaannya kritis,” ucap pria yang dari nada suaranya masih sekitar dua puluhan itu datar.
Ucapannya sungguh mengejutkanku. Namun nada suaranya yang datar membuatku setengah tak percaya dan berharap kalau-kalau saja itu Loren yang lain.
“Ia kami bawa ke Rumah Sakit Umum Padang Panjang. Tapi kedaannya sekarang saya kurang tahu pasti,” jawab pria itu setelah kutanyakan keadaan Loren lebih jelas.
Tanpa sadar, mataku basah. Air yang dari tadi menggenang di sudut mata, jatuh melewati tebing pipiku. Lona yang mendengar percakapan itu malah semakin terisak. Kembali kurangkul dia. Semakin erat. Kuelus punggungnya agar berhenti menangis. Sementara pikiranku mulai melayang, teringat momen dua minggu lalu yang aku dan Loren lakukan.
Karena aku jarang berkunjung ke Solok, tepatnya rumah Loren dan Lona, maka sekali aku ke sana, Loren mengajakku berkeliling Kota Solok. Lagian, sudah tiga hari aku duduk-duduk saja di rumah.
Kami pergi jalan-jalan dengan motor. Dan saat itulah Loren cerita soal hidupnya. Berkaitan dengan kuliah yang diambilnya sekarang, psikologi.
Ia mengaku kesulitan menerapkan ilmunya. Jangankan di lingkungan masyarakat, keluarga saja sama sekali tak mendukung saat Loren memberi solusi atas permasalahan yang terjadi sesuai teori yang dipelajarinya.
“Orang tua sering begitu kan? Selalu menganggap mereka paling benar. Padahal aku tahu, mereka tahu apa yang kukatakan tak salah, jauh di lubuk hati mereka. Hanya saja….”
Loren tak melanjutkan kata-katanya. Sepertinya tahu, aku pasti telah menangkap maksudnya. Ia lalu bercerita tentang temannya. Ya…, temannya yang baru saja kudengar sudah tak ada. Dadaku jadi sesak mengingatnya. Baru dua minggu yang lalu ia bercerita. Membuatku merasa soal kematian, sungguh sulit diterka.
Aku ingat, Loren bilang ia dan temannya itu bolak-balik Bukittinggi-Solok dengan motor. Saat itu Loren mengaku, ayahnya tak tahu. Sebab tak kan mengizinkan putri sulungnya itu mengendarai motor dalam jarak yang jauh. Namun Loren telah minta izin ibunya. Dan baginya itu cukup.
“Asal hati-hati dan bertanggung jawab. Dan aku hanya melakukan apa yang menurutku benar, selagi tahu resiko dan konsekuensinya,” ucap Loren waktu itu seolah meminta persetujuanku.
Aku senyum saja. Hingga Loren meneruskan kata-katanya.
“Asalkan Ibu tahu dan mengizinkan, kurasa cukup. Hanya restu ibu yang kuperlukan. Dan aku berjanji tak akan pernah bohong pada ibu,” ucapnya menggebu padaku, menunjukkan betapa ia sangat menyayangi ibunya itu melebihi sang ayah.
Aku pun mengangguk pertanda setuju. Entah, apa Loren menyadari anggukanku karena sedang mengemudikan motor. Memboncengku.
“Ya, kurasa restu ibu cukup,” balasku semangat.
Air mataku masih terus meleleh sedang tanganku masih merangkul pundak Lona. Tak berani kukatakan keadaan Loren sebenarnya. Loren sedang kritis. Apalagi dari tadi isakannya belum juga berkurang.
Sementara pikiranku sibuk menerka-nerka keadaan Loren. Semoga ia baik-baik saja. Mengapa kecelakaan itu bisa terjadi? Apa mungkin mereka terlalu ngebut saat bawa motor? Atau jangan-jangan, kali ini Loren lupa meminta restu ibunya untuk pulang ke Solok dengan motor pagi ini. Ah..aku tak tahu, semoga ia akan baik-baik saja.***Ulvina Haviza



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar