Allah
memang yang paling tahu kapan kita
benar-benar siap.
Kau dan aku, akhirnya karunia itu menghampiri kita. Empat
bulan lewat sudah. Selama ini aku menanti-nanti dan mengharapkannya, entah apa
aku benar-benar mengharapkannya ataukah hanya sekadar keinginan sesaat, karena
banyaknya pertanyaan-pertanyaan dari lingkungan sekitar kita tentang sudah atau
belumkah karunia itu datang. Ah, entahlah….
Namun belakangan, kira-kira sebulan atau entah kapan
tepatnya, aku benar-benar mengharapkan kedatangannya, kedatangan buah hati kita.
Doa-doa semakin kukusyu’kan, semakin kukhususkan, diri semakin kupersiapkan.
Diam-diam ada keinginan yang mendorong dalam hati untuk mempraktikkan saran
teman-teman, trik-trik agar hal itu dapat berlaku cepat. Maka kadang-kadang
kulakukan juga, entah apa kau sadar entah tidak. Bahkan aku mulai menhkonsumsi
susu yang kandungan gizinya memang dipersiapkan untuk calon-calon ibu hamil.
Karena mereknya dikeluarkan oleh brand produk susu ibu hamil, maka kau mengangapnya
benar-benar susu untuk ibu hamil. Aku ingat, saat itu kau geleng-geleng kepala
dan tersenyum-senyum tanggung saat aku memasukkan sekotak susu bubuk itu ke
dalam keranjang belanjaan bulanan kita. Kau tak melarangku, mungkin karena
senyum lebar yang terlanjur kulempar padamu, atau mungkin karena kau tak ingin
menyinggung atau menyakiti perasaanku. Maka jadilah produk susu itu kubeli, dan
aku meminumnya hampir setiap pagi, walaupun tak selalu.
Kau ingat, pernah suatu kali kita membicarakan hal ini dengan
serius di suatu sore. Aku justru jadi berpikir, apakah kau dan aku sudah
benar-benar siap untuk menjadi sepasang orang tua, orang tua dalam artian
sebenarnya tentunya. Terutama saat kau bilang untuk santai dulu saja dan tak usah
terlalu memikirkan. Juga saat kau menanyakan apakah aku sudah benar-benar ingin
untuk berprogram. Saat itulah, ada sedikit keraguan terbesit di hatiku.
Kupikir, tak mungkin aku mengalami masa-masa itu tanpa kau bersiap dan bersiaga
mendampingiku. Maka aku mulai memasrahkan segalanya, atau boleh jadi
keinginanku jadi sedikit memudar.
Hari kian berganti, sejak saat itu aku tak lagi terlalu
memikirkannya. Hingga tanpa kusadari tiba-tiba keinginan itu kembali menguat
begitu saja. Aku, entah kenapa jadi sering diperdengarkan tentang cerita-cerita
bahagianya kehidupan orang tua dengan anak-anaknya, lebih-lebih seorang ibu.
Setidaknya begitulah yang kudapati karena belakangan lingkungan pergaulanku
yang memang didominasi oleh para ibu. Aku mulai membayang-bayangkannya. Cerita
saat anakmu tiba-tiba memelukmu saat kau dilanda kesedihan, cerita saat hatimu
menjadi tenang ketika mendekatkan si buah hati ke dadamu, cerita saat tanpa
sadar kau akan menitikkan air mata saat mendapati keberhasilan yang diraih buah
hatimu, sekecil apapun itu. Cerita saat kau akan tersenyum-senyum sendiri
karena tingkah lucu anak-anakmu. Aku, aku ingin merasakan itu, yang tanpa sadar
aku selalu membisikkan kata-kata dalam hatiku, “Aku ingin!!!” Maka entah secara
sadar atau tidak, aku pun mulai melantunkan doa yang berbeda pada Allah.
“Wahai Allah, jika Engkau perkenankan kami (kau dan aku
tentunya) untuk menjadi orang tua saat ini, maka kuatkanlah kami, serta
ikhlaskan kami dalam mendidiknya kelak, menghantarkannya kembali kepada-Mu
dengan iman. Allah, jika menurut Engkau kami belum siap untuk itu, maka jadikanlah
kami siap, hati dan pikiran kami siap untu itu. Namun ya Allah, jika memang belum
pantas untuk kami saat ini, maka sabarkanlah kami, sabarkanlah hati ini dalam
menanti.”
Maka do’a itu terjawab sudah. Allah, telah Engkau pertemukan
benih itu di rahimku. Lima minggu sudah. Segala puji bagi Engkau ya Rabb. Dan
apa lagi yang lebih menentramkan dari pada untaian kata si pemilik tulang
rusukku: “ Dinda, memang sebelumnya mas belum siap, namun sekarang kesiapan
telah ada di diri mas.” Subhanallah.
Duhai sang
buah hati, Kau kini kunanti-nanti lahir ke dunia ini, Kau dinanti karena kau
dicintai.***
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar