Senja
ini hujan. Lihatlah, sedari tadi langit gelap. Sepertinya lama hujan ini baru
akan berhenti. Tak hanya rintik hujan, juga ada kilatan cahaya di langit dengan
suara gemuruh yang mengikut setelah kilat.
Aku
masih duduk di bangku ini menunggu hujan berhenti. Pelan kuulurkan tangan
menampung hujan yang jatuh dari atap genteng tempat kuberteduh. Tetes per
tetesnya membasahi tanganku, hingga tiba-tiba seseorang seperti menggenggamnya
lembut, menggenggam tanganku. Ah, aku jadi teringat dia, laki-laki yang
kudapati kala hujan. Lelaki hujan, begitu aku menyebutnya.
Pernah
dulu dalam hidupku, aku merasa sangat kesal kala turun hujan. Bagiku dingin dan
basah, dan membuat tubuhku meriang. Ah, aku sungguh benci itu. Maksudku aku
sungguh benci kala hujan turun dengan lebat, terlebih hujan yang disertai angin
yang kuat.
Meski
aku berlindung di bawah payung biru muda milikku, tetap saja hujan membasahi
tubuhku, membuatku kedinginan. Aku jadi kesal saja bawaannya sesampai di rumah.
Cemberut seharian.
Jika
telah begitu, tak akan ada satupun yang berani mengajakku bicara. Semua pasti
langsung paham, sebab cuaca hatiku selalu sama dengan cuaca langit di luar
sana. Ya, sama. Maksudku jika langit cerah, pasti hatiku juga akan cerah, tapi
jika cuaca mendung, hatiku malah jadi lebih mendung. Bahkan sempat aku berpikir
kalau di dunia ini tak perlu ada hujan. Hingga aku menemukannya, menemukan sisi
lain dari hujan.
Hujan
waktu itu terang, maksudku langit tak begitu gelap meski hujan masih tetap
lebat. Waktu itu aku masih cukup kesal, tapi tak terlalu. Karena saat itu
langit tak begitu menakutkan bagiku. Tak seperti biasanya. Hingga tiba-tiba
seorang laki-laki berdiri di sampingku, basah kuyup entah dari mana. Dia langsung
menumpangkan kepalanya berteduh di bawah payung biru mudaku. Sungguh membuatku
terkejut. Lelaki itu sepuluh sentimeter lebih tinggi dariku. Sehingga ia mesti
sedikit menunduk.
“Kali
ini aku takut sakit,” ujarnya padaku yang masih tercengang menatapnya. Lalu dia
tersenyum.
“Kata
orang tua-tua dulu, hujan yang terang begini membawa penyakit,” tambahnya lagi,
masih di tengah kebingunganku.
“Ka…kamu
siapa?” tanyaku kaku.
“Aku
hanya ingin menumpang di payungmu sampai di ujung jalan itu, agar aku tak
sakit,” ujarnya seperti menangkap kebingunganku.
Aku
kemudian hanya diam. Hingga di ujung jalan, hingga kami berpisah, kami hanya
diam. Lalu ia bergegas lari menyusuri sebuah gang sempit dalam hujan. Hujan
yang terang dan tak terlalu lebat. Aku masih menatapnya, memandangi punggungnya
yang tegap semakin jauh, lalu hilang di sebuah belokan gang berikutnya.
Tiba-tiba
saja hujan tak lagi turun dan langit tetap terang. Aku kemudian menguncupkan
payung biru mudaku. Sesuatu yang muncul di langit lalu menarik perhatianku. Di langit
muncul aneka warna yang membentuk setengah lingkaran. Baru kali ini aku melihat warna-warna itu. Pelangi. Ya, inikah pelangi itu? Aneka warna
cahaya yang hanya muncul setelah hujan.
Aku
tak percaya akhirnya melihat pelangi. Selama ini saat hujan yang kudapati hanya
gelap. Bahkan dulu aku sempat marah saat mengetahui bahwa pelangi hanya ada
setelah hujan. Tapi kini aku dapat melihatnya, melihat pelangi. Setelah menatap
punggung seorang lelaki yang entah siapa, namanya pun tak kuketahui.
Hari
ini berbeda setelah hujan. Aku bahagia setelah mendapati pelangi. Bukan lagi
hujan yang gelap. Aku ke rumah membawa senyum. Senyum yang diberikan oleh
setengah lingkaran pelangi.
*
* *
Kali ini lagi-lagi hujan, setelah dua hari yang lalu juga
hujan. Sehari sebelumnya pun hujan. Akhir-akhir ini sering hujan. Tapi aku tak pernah
lagi sekalipun melihatnya. Lelaki yang kutemui di kala hujan. Yang aku lupa
menanyakan namanya.
Sekarang aku sedang duduk menunggu hujan. Kali ini aku
lupa memasukkan payung biru mudaku ke dalam tas. Aku terpaksa menunggu hujan
sambil memperhatikan orang yang lalu lalang di depanku, di antara hujan.
Kalau-kalau saja aku menemukan si lelaki hujan yang tengah berlari ke suatu
arah sudut gang kecil. Atau barangkali aku bisa melihat punggungnya lagi.
Punggung tegap yang basah oleh hujan.
Hujan telah berhenti, lagi-lagi aku tak menemukan
laki-laki itu. Sementara di langit, pelangi kali ini bulat penuh, mengelilingi
matahari. Di balik hujan sekarang aku menemukan pelangi. *(belajar cerpen cinta_edisi ababil2)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar