Pages

Minggu, 16 September 2012

Lelaki Hujan

Posted by Ulvina Haviza On 19.48 No comments



Senja ini hujan. Lihatlah, sedari tadi langit gelap. Sepertinya lama hujan ini baru akan berhenti. Tak hanya rintik hujan, juga ada kilatan cahaya di langit dengan suara gemuruh yang mengikut setelah kilat.  
Aku masih duduk di bangku ini menunggu hujan berhenti. Pelan kuulurkan tangan menampung hujan yang jatuh dari atap genteng tempat kuberteduh. Tetes per tetesnya membasahi tanganku, hingga tiba-tiba seseorang seperti menggenggamnya lembut, menggenggam tanganku. Ah, aku jadi teringat dia, laki-laki yang kudapati kala hujan. Lelaki hujan, begitu aku menyebutnya.

Pernah dulu dalam hidupku, aku merasa sangat kesal kala turun hujan. Bagiku dingin dan basah, dan membuat tubuhku meriang. Ah, aku sungguh benci itu. Maksudku aku sungguh benci kala hujan turun dengan lebat, terlebih hujan yang disertai angin yang kuat.
Meski aku berlindung di bawah payung biru muda milikku, tetap saja hujan membasahi tubuhku, membuatku kedinginan. Aku jadi kesal saja bawaannya sesampai di rumah. Cemberut seharian.
Jika telah begitu, tak akan ada satupun yang berani mengajakku bicara. Semua pasti langsung paham, sebab cuaca hatiku selalu sama dengan cuaca langit di luar sana. Ya, sama. Maksudku jika langit cerah, pasti hatiku juga akan cerah, tapi jika cuaca mendung, hatiku malah jadi lebih mendung. Bahkan sempat aku berpikir kalau di dunia ini tak perlu ada hujan. Hingga aku menemukannya, menemukan sisi lain dari hujan.
Hujan waktu itu terang, maksudku langit tak begitu gelap meski hujan masih tetap lebat. Waktu itu aku masih cukup kesal, tapi tak terlalu. Karena saat itu langit tak begitu menakutkan bagiku. Tak seperti biasanya. Hingga tiba-tiba seorang laki-laki berdiri di sampingku, basah kuyup entah dari mana. Dia langsung menumpangkan kepalanya berteduh di bawah payung biru mudaku. Sungguh membuatku terkejut. Lelaki itu sepuluh sentimeter lebih tinggi dariku. Sehingga ia mesti sedikit menunduk.
“Kali ini aku takut sakit,” ujarnya padaku yang masih tercengang menatapnya. Lalu dia tersenyum.
“Kata orang tua-tua dulu, hujan yang terang begini membawa penyakit,” tambahnya lagi, masih di tengah kebingunganku.
“Ka…kamu siapa?” tanyaku kaku.
“Aku hanya ingin menumpang di payungmu sampai di ujung jalan itu, agar aku tak sakit,” ujarnya seperti menangkap kebingunganku.
Aku kemudian hanya diam. Hingga di ujung jalan, hingga kami berpisah, kami hanya diam. Lalu ia bergegas lari menyusuri sebuah gang sempit dalam hujan. Hujan yang terang dan tak terlalu lebat. Aku masih menatapnya, memandangi punggungnya yang tegap semakin jauh, lalu hilang di sebuah belokan gang berikutnya.
Tiba-tiba saja hujan tak lagi turun dan langit tetap terang. Aku kemudian menguncupkan payung biru mudaku. Sesuatu yang muncul di langit lalu menarik perhatianku. Di langit muncul aneka warna yang membentuk setengah lingkaran. Baru  kali ini aku melihat warna-warna itu.  Pelangi. Ya, inikah pelangi itu? Aneka warna cahaya yang hanya muncul setelah hujan.
Aku tak percaya akhirnya melihat pelangi. Selama ini saat hujan yang kudapati hanya gelap. Bahkan dulu aku sempat marah saat mengetahui bahwa pelangi hanya ada setelah hujan. Tapi kini aku dapat melihatnya, melihat pelangi. Setelah menatap punggung seorang lelaki yang entah siapa, namanya pun tak kuketahui.
Hari ini berbeda setelah hujan. Aku bahagia setelah mendapati pelangi. Bukan lagi hujan yang gelap. Aku ke rumah membawa senyum. Senyum yang diberikan oleh setengah lingkaran pelangi.
* * *
            Kali ini lagi-lagi hujan, setelah dua hari yang lalu juga hujan. Sehari sebelumnya pun hujan. Akhir-akhir ini sering hujan. Tapi aku tak pernah lagi sekalipun melihatnya. Lelaki yang kutemui di kala hujan. Yang aku lupa menanyakan namanya.
            Sekarang aku sedang duduk menunggu hujan. Kali ini aku lupa memasukkan payung biru mudaku ke dalam tas. Aku terpaksa menunggu hujan sambil memperhatikan orang yang lalu lalang di depanku, di antara hujan. Kalau-kalau saja aku menemukan si lelaki hujan yang tengah berlari ke suatu arah sudut gang kecil. Atau barangkali aku bisa melihat punggungnya lagi. Punggung tegap yang basah oleh hujan.
            Hujan telah berhenti, lagi-lagi aku tak menemukan laki-laki itu. Sementara di langit, pelangi kali ini bulat penuh, mengelilingi matahari. Di balik hujan sekarang aku menemukan pelangi. *(belajar cerpen cinta_edisi ababil2)



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar