:Setyo Nugroho
Sayang, satu tahun telah terlewati lagi, tahun kita sebagai
suami istri yang bahagia. Dan waktu masih terasa begitu singkat Sayang. Hari
ini menginjak tahun kedua sudah kau menemani perjalanan hidup ini.
Menatap kembali kebelakang, tahun ini banyak kita lewati
dengan ikhtiyar untuk mendapatkan keturunan. Sejak awal tahun lalu, saat
pertama kita tahu bahwa ada kelainan pada sistem reproduksiku. Dan itulah yang
menjadi penyebab janin kita tak berkembang di rahimku pada kehamilan sebelumnya,
dan sebagai penyebab pula setelah beberapa bulan terlewati, aku tak
kunjung-kunjung hamil lagi.
Awalnya aku masih menganggapnya biasa Sayang, tapi entah
kenapa semakin lama setelah semakin banyak kudapati informasi mengenai hal ini,
akhirnya kecemasan tak bisa jua kupungkiri. Menyusup pelan dan perlahan. Hingga
pada beberapa bulan setelahnya kau mendapatiku menjadi istri yang mudah marah
dan mudah sekali basah hatinya. Tak terhitung, hampir setiap hari aku menangis
di pangkuanmu. Menangisi kelemahan dan ketakutanku. Takut kalau-kalau kita tak
bisa memiliki keturunan tersebab olehku, takut tak bisa membahagiakanmu.
Anganku kian jauh melayang kemana-mana. Terpikir tentang
akankah dengan penyakit ini aku benar-benar tak akan bisa untuk mengandung
anakmu? Akankah nanti di hari tua, kita hidup kesepian berdua tanpa anak cucu
yang menemani? Ah, ketakutanku semakin bertambah Sayang, teramat takut. Seiring
dengan semakin derasnya pertanyaan-pertanyaan orang-orang di sekitar kita,
keluarga, tetangga, bahkan orang-orang di tempat bekerja, tentang kapan kehadiran
seorang buah hati tentunya. Setiap kali pertanyaan itu datang, aku hanya bisa
diam, menangis dan mengadukannya kepadamu. Seperti anak kecil yang sedang
meminta pembelaan. Dan kau seperti biasa akan selalu membelaiku dan
menguatkanku, menyapu air dari tebing pipiku lalu mengecup mataku yang basah.
“Sabar ya Sayang, untuk hal ini kita memang harus punya
kesabaran yang luar biasa,” bisikmu menularkan ketenangan di hatiku.
Segalanya kita usahakan berjalan seperti biasanya. Hari-hari
aku mendampingimu sebagai suami istri yang bahagia. Namun kesedihan tak bisa
begitu saja kusuh pergi, puncaknya adalah saat kuketahui bahwa jikapun nanti
bisa hamil, kejadian yang sama kemungkinan besar akan terulang lagi, keguguran karena
janinku tak bisa berkembang. Aku menangis lagi. Hari itu, sepanjang perjalanan
pulang dari kantor menuju rumah, aku menangis di belakangmu, duduk diam
diboncengi motor olehmu sambil air mataku terus mengalir tanpa kau tahu. Aku
diam, hanya diam. Tak mau mengusikmu yang sedang mengendalikan laju motor, juga
takut kalau-kalau kau akan mulai bosan dengan tangisanku yang selalu dan
selalu.
Tapi pada akhirnya tetap saja tak bisa kusembunyikan
kesedihanku. Menatapmu, aku kembali menangis. Entah karena ketakutanku akan
takdir atau entah karena imanku yang benar-benar sedang berada di titik
terlemah. Yang jelas aku menangis lagi. Dan kali ini kulihat matamu juga
memerah, air mata turut membasahi mata sayumu.
Kali ini kuberanikan diri menanyakan suatu hal padamu,
sesuatu yang cukup berat bagiku, tentang syarat pernikahan yang dulu pernah
kuajukan padamu. Ingatkah kau Sayang? Tentang aku yang tak bersedia adanya
perempuan lain selama aku masih mampu melayanimu.
“Mas, bagaimana jika aku tak bisa memberimu keturunan?”
tanyaku dalam isak waktu itu, isak yang sesekali coba kutahan.
“Jangan bicara seperti itu,” katamu. “Sabar ya sayang, Dinda
jangan terpikir yang macam-macam,” bisikmu lagi ke telingaku.
“Dinda takut Allah menguji kita tentang syarat yang pernah
Dinda ajukan dulu,” sampai di sini aku terdiam, dadaku serasa semakin sesak.
Sementara kupandangi wajahmu, kau terlihat bingung, tak mengerti maksudku.
Kutarik nafas panjang. “Apa Mas akan menikah lagi jika Dinda
ndak bisa punya anak?” tanyaku dalam satu tarikan nafas. Seolah melepaskan
beban di dadaku, kulepaskan pertanyaan itu kepadamu.
“Ndak, jangan pernah berpikir seperti itu Dik. Mas udah milih
Dinda, apa pun yang terjadi, kita jalan sama-sama. insyaAllah mas akan selalu
dampingi Dinda selama umur mas masih panjang,” begitu jawabmu saat itu. “Dosa Mas
banyak, maka Allah uji kita dulu agar Allah hapuskan dosa2 itu,” katamu lagi.
Aku hanya terdiam, teramat diam dalam kesedihanku.
Bukankah kemarin telah kita baca Dik, bahwa ‘Milik Allah lah kerajaan langit dan bumi;
Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada kepada
siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia
kehendaki……..Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa.’(QS. Asy-Syura: 49-50)
Ya, kamu benar sayang, tugas kita hanyalah berusaha, dalam
keikhtiyaran yang tiada habisnya. Seperti yang kamu kuatkan lagi, kita akan
menempuhnya, tak hanya dengan cara-cara dunia, tapi juga dengan cara-cara
akhirat tentunya.
Sampai disini, air mataku justru semakin meleleh, tapi rasanya
jadi lebih tenang. Kulihat airmatamu pun semakin menggenang. Kau membelai
rambutku, mengusap air mataku, hingga aku tertidur di pangkuanmu.
Masih ingatkah kau saat-sata itu Sayang?
* * *
Sejak saat itu, kuputuskan untuk berusaha tak bersedih lagi.
Mencoba lebih tegar. Aku mulai lelah untuk terus menangis. Mencoba
menguat-nguatkan hati, bukankah semuanya datang dari Allah, maka kembalikanlah
segala urusan pada-Nya. Tugasku dan kamu hanya bisa berikhtiyar Mas. Dan
tersebab itu kamu, maka aku yakin semuanya akan baik-baik saja.
Aku mulai melupakannya, bahkan hampir benar-benar lupa. Setiap ada
keluarga yang bertanya, dengan tegas langsung kujawab untuk tak usah membahas masalah
itu, dalam rangka mencoba menata hatiku. Hanya saja, untuk mereka-mereka lainnya
yang di luar sana, bagaimana pula untuk melarangnya bertanya. Ah, biarlah….
Yang terpenting bagiku, ada kamu disampingku, kamu yang selalu bisa menguatkan.
Dengan kelembutan dan kesabaranmu. Hingga setelah tiga bulan, atau entah
beberapa bulan tepatnya setelah segala ikhtiyar kita, Allah berkenan
mengabulkan segala doa. Janin itu akhirnya tumbuh di rahimku. Aku bahagia luar
biasa, kau pun tentunya. Tapi saat itu kau hanya tersenyum, mencoba tak terlalu
memperlihatkan kebahagiaanmu. Takut kalau-kalau jika sesuatu terjadi nanti, aku
akan sedih lagi berkali-kali. Lama kuperhatikan senyum tipismu, senyum
kedewasaan yang dari awal hingga kini membuatku jatuh cinta padamu, lalu kau
menciumi keningku.
* * *
Kini, memasuki usia delapan bulan sudah usia kandunganku. Ini
saat-saat kita menunggunya hadir ke dunia. Semoga Allah perkenankan bayi ini
lahir dengan sehat dan jadi kebanggaan kita nantinya. Kau dan aku.
Sayangku, hari ini tepat dua tahun pernikahan kita. Untukmu duhai
pendampingku, terima kasih telah selalu ada dengan segala sabar dan banyak
cinta. Pertanyaan tentang keputusan terbaik dalam hidupku, jawabannya masih
tetap sama dan akan selalu sama. Menikah denganmu adalah keputusan terbaik
dalam hidupku.
Selamat ulang tahun pernikahan kita Sayangku.
4 Februari 2014
* * *
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





1 komentar:
Barakallahu dek :') Sungguh, nikmat Tuhan yang manakah yang mampu kita dustaka. Selamat dua :) Semoga samawa dunia akhirat...
Posting Komentar