Pages

Selasa, 11 Februari 2014

DUA

Posted by Ulvina Haviza On 01.31 1 comment



:Setyo Nugroho

Sayang, satu tahun telah terlewati lagi, tahun kita sebagai suami istri yang bahagia. Dan waktu masih terasa begitu singkat Sayang. Hari ini menginjak tahun kedua sudah kau menemani perjalanan hidup ini.
Menatap kembali kebelakang, tahun ini banyak kita lewati dengan ikhtiyar untuk mendapatkan keturunan. Sejak awal tahun lalu, saat pertama kita tahu bahwa ada kelainan pada sistem reproduksiku. Dan itulah yang menjadi penyebab janin kita tak berkembang di rahimku pada kehamilan sebelumnya, dan sebagai penyebab pula setelah beberapa bulan terlewati, aku tak kunjung-kunjung hamil lagi.

Awalnya aku masih menganggapnya biasa Sayang, tapi entah kenapa semakin lama setelah semakin banyak kudapati informasi mengenai hal ini, akhirnya kecemasan tak bisa jua kupungkiri. Menyusup pelan dan perlahan. Hingga pada beberapa bulan setelahnya kau mendapatiku menjadi istri yang mudah marah dan mudah sekali basah hatinya. Tak terhitung, hampir setiap hari aku menangis di pangkuanmu. Menangisi kelemahan dan ketakutanku. Takut kalau-kalau kita tak bisa memiliki keturunan tersebab olehku, takut tak bisa membahagiakanmu.
Anganku kian jauh melayang kemana-mana. Terpikir tentang akankah dengan penyakit ini aku benar-benar tak akan bisa untuk mengandung anakmu? Akankah nanti di hari tua, kita hidup kesepian berdua tanpa anak cucu yang menemani? Ah, ketakutanku semakin bertambah Sayang, teramat takut. Seiring dengan semakin derasnya pertanyaan-pertanyaan orang-orang di sekitar kita, keluarga, tetangga, bahkan orang-orang di tempat bekerja, tentang kapan kehadiran seorang buah hati tentunya. Setiap kali pertanyaan itu datang, aku hanya bisa diam, menangis dan mengadukannya kepadamu. Seperti anak kecil yang sedang meminta pembelaan. Dan kau seperti biasa akan selalu membelaiku dan menguatkanku, menyapu air dari tebing pipiku lalu mengecup mataku yang basah.
“Sabar ya Sayang, untuk hal ini kita memang harus punya kesabaran yang luar biasa,” bisikmu menularkan ketenangan di hatiku.
Segalanya kita usahakan berjalan seperti biasanya. Hari-hari aku mendampingimu sebagai suami istri yang bahagia. Namun kesedihan tak bisa begitu saja kusuh pergi, puncaknya adalah saat kuketahui bahwa jikapun nanti bisa hamil, kejadian yang sama kemungkinan besar akan terulang lagi, keguguran karena janinku tak bisa berkembang. Aku menangis lagi. Hari itu, sepanjang perjalanan pulang dari kantor menuju rumah, aku menangis di belakangmu, duduk diam diboncengi motor olehmu sambil air mataku terus mengalir tanpa kau tahu. Aku diam, hanya diam. Tak mau mengusikmu yang sedang mengendalikan laju motor, juga takut kalau-kalau kau akan mulai bosan dengan tangisanku yang selalu dan selalu.
Tapi pada akhirnya tetap saja tak bisa kusembunyikan kesedihanku. Menatapmu, aku kembali menangis. Entah karena ketakutanku akan takdir atau entah karena imanku yang benar-benar sedang berada di titik terlemah. Yang jelas aku menangis lagi. Dan kali ini kulihat matamu juga memerah, air mata turut membasahi mata sayumu.
Kali ini kuberanikan diri menanyakan suatu hal padamu, sesuatu yang cukup berat bagiku, tentang syarat pernikahan yang dulu pernah kuajukan padamu. Ingatkah kau Sayang? Tentang aku yang tak bersedia adanya perempuan lain selama aku masih mampu melayanimu.
“Mas, bagaimana jika aku tak bisa memberimu keturunan?” tanyaku dalam isak waktu itu, isak yang sesekali coba kutahan.
“Jangan bicara seperti itu,” katamu. “Sabar ya sayang, Dinda jangan terpikir yang macam-macam,” bisikmu lagi ke telingaku.
“Dinda takut Allah menguji kita tentang syarat yang pernah Dinda ajukan dulu,” sampai di sini aku terdiam, dadaku serasa semakin sesak. Sementara kupandangi wajahmu, kau terlihat bingung, tak mengerti maksudku.
Kutarik nafas panjang. “Apa Mas akan menikah lagi jika Dinda ndak bisa punya anak?” tanyaku dalam satu tarikan nafas. Seolah melepaskan beban di dadaku, kulepaskan pertanyaan itu kepadamu.
“Ndak, jangan pernah berpikir seperti itu Dik. Mas udah milih Dinda, apa pun yang terjadi, kita jalan sama-sama. insyaAllah mas akan selalu dampingi Dinda selama umur mas masih panjang,” begitu jawabmu saat itu. “Dosa Mas banyak, maka Allah uji kita dulu agar Allah hapuskan dosa2 itu,” katamu lagi.
Aku hanya terdiam, teramat diam dalam kesedihanku.
Bukankah kemarin telah kita baca Dik, bahwa ‘Milik Allah lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki……..Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa.’(QS. Asy-Syura: 49-50)
Ya, kamu benar sayang, tugas kita hanyalah berusaha, dalam keikhtiyaran yang tiada habisnya. Seperti yang kamu kuatkan lagi, kita akan menempuhnya, tak hanya dengan cara-cara dunia, tapi juga dengan cara-cara akhirat tentunya.
Sampai disini, air mataku justru semakin meleleh, tapi rasanya jadi lebih tenang. Kulihat airmatamu pun semakin menggenang. Kau membelai rambutku, mengusap air mataku, hingga aku tertidur di pangkuanmu.
Masih ingatkah kau saat-sata itu Sayang?
* * *
Sejak saat itu, kuputuskan untuk berusaha tak bersedih lagi. Mencoba lebih tegar. Aku mulai lelah untuk terus menangis. Mencoba menguat-nguatkan hati, bukankah semuanya datang dari Allah, maka kembalikanlah segala urusan pada-Nya. Tugasku dan kamu hanya bisa berikhtiyar Mas. Dan tersebab itu kamu, maka aku yakin semuanya akan baik-baik saja.
Aku mulai melupakannya, bahkan hampir benar-benar lupa. Setiap ada keluarga yang bertanya, dengan tegas langsung kujawab untuk tak usah membahas masalah itu, dalam rangka mencoba menata hatiku. Hanya saja, untuk mereka-mereka lainnya yang di luar sana, bagaimana pula untuk melarangnya bertanya. Ah, biarlah…. Yang terpenting bagiku, ada kamu disampingku, kamu yang selalu bisa menguatkan. Dengan kelembutan dan kesabaranmu. Hingga setelah tiga bulan, atau entah beberapa bulan tepatnya setelah segala ikhtiyar kita, Allah berkenan mengabulkan segala doa. Janin itu akhirnya tumbuh di rahimku. Aku bahagia luar biasa, kau pun tentunya. Tapi saat itu kau hanya tersenyum, mencoba tak terlalu memperlihatkan kebahagiaanmu. Takut kalau-kalau jika sesuatu terjadi nanti, aku akan sedih lagi berkali-kali. Lama kuperhatikan senyum tipismu, senyum kedewasaan yang dari awal hingga kini membuatku jatuh cinta padamu, lalu kau menciumi keningku.
* * *
Kini, memasuki usia delapan bulan sudah usia kandunganku. Ini saat-saat kita menunggunya hadir ke dunia. Semoga Allah perkenankan bayi ini lahir dengan sehat dan jadi kebanggaan kita nantinya. Kau dan aku.
Sayangku, hari ini tepat dua tahun pernikahan kita. Untukmu duhai pendampingku, terima kasih telah selalu ada dengan segala sabar dan banyak cinta. Pertanyaan tentang keputusan terbaik dalam hidupku, jawabannya masih tetap sama dan akan selalu sama. Menikah denganmu adalah keputusan terbaik dalam hidupku.
Selamat ulang tahun pernikahan kita Sayangku.
4 Februari 2014
* * *





Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

1 komentar:

Barakallahu dek :') Sungguh, nikmat Tuhan yang manakah yang mampu kita dustaka. Selamat dua :) Semoga samawa dunia akhirat...

Posting Komentar