:Setyo
Nugroho
Ini adalah hari ke 1461 kita berumah tangga. Terinspirasi
dari serial televisi yang akhir2 ini sering kita tonton bersama sepulang
berkerja. Ya dalam rumah tangga pada tayangan itu, tampak sangat ditonjolkan
perbedaaan perlakuan pasangan antara pengantin baru dan pengantin yang sudah lama
menikah, yang ditandai dengan hitungan hari kesekian pada masa pernikahan
masing-masingnya.
Saat menyaksikannya aku selalu teringat sesuatu, setelah
perjalanan menuju pernikahan kita yang cukup berliku, akankah dihari kesekian
ribu pernikahan kita nanti hal yang serupa terjadi pada rumah tangga kita. Timbulnya
rasa jenuh dan kebosanan di antara kita, atau rasa sayang dan saling menghargai
yang semakin berkurang terkikis oleh waktu, atau rasa ketidakpedulian yang nantinya
akan jadi semakin membiasa. Ah, entahlah sayang, entah apa yang akan terjadi
beberapa tahun, belasan tahun atau puluhan tahun kedepan tentang pernikahan
kita. Entah bagaimana kita di hari ke 3000, hari ke 5000 atau hari kebelasan
ribu nantinya (jika umur kita panjang).
Sempat membaca tulisan indah ini di salah satu dinding di dunia
maya, “Jika kau merasa cintamu pada seseorang penuh pengorbanan, maka
sebenarnya kau hanya mencintai dirimu sendiri.” Mendadak aku tersenyum, bukan
senyum bahagia, tapi senyum yang seolah dipaksa karena aku merasa. Membuatku
tiba-tiba berpikir, apakah selama masa empat tahun pernikahan kita, aku hanya
sedang mencintai diriku sendiri, dengan menuntut banyak padamu, dengan selalu
mendapat kesabaran dari tingkah dan lisanmu.
Kamu ingat, kamu yang selalu tak jadi marah justru disaat
ingin marah padaku, tersebab aku telah menangis terlebih dulu, atau aku yang
balik marah sebelum kamu sempat mengeluarkan kemarahan. Atau aku yang terkadang
merasa kamu tak boleh memarahiku ataupun sekadar jengkel padaku, cukup
orang-orang dekat pada masa kecilku saja yang melakukan itu dulu, cukup atasanku
di kantor saja, cukup mereka-mereka yang
tak mengerti diriku saja di luar sana, kamu tidak boleh. Kamu haruslah mengerti
akan diriku. Ya, betapa egoisnya diriku bukan.
Mencoba kembali merenungi, hakikat aku dan kamu yang Allah
satukan dalam rumah tangga menjadi “kita”. Dalam masa pernikahan kita,
menemukanmu seperti akhirnya menemukan tempat bersandar yang begitu kokoh atas
keletihan hidup yang selama ini dirasa, seperti mendapatkan pegangan yang kuat dan
erat untukku terlepas dari segala kesedihan. Padamu rasanya bisa kutopangkan
segala kesakitan masa lalu yang tak terperikan (yang katamu harus segera dilupakan
dan diikhlaskan). Dan padamu jua serasa bisa kuadukan segalanya, bisa
kuungkapkan segala rasa tentang marah dan kesedihan yang menimpa.
Maka jadilah aku menjelma orang yang seenaknya padamu, duhai suamiku
tercinta. Seperti percaya bahwa kau yang akan dapat dan selalu menerimaku apa
adanya, menerima jika kulampiaskan kemarahan, menerima segala sifat keburukan
tanpa ada perasaan takut untuk kau tinggalkan, ya lagi-lagi ini jelmaan keegoisan
diri.
Akhir-akhir ini selalu mencoba berpikir dan merasa-rasa,
benarkah selama ini jika pertenggangrasaan di antara kita hanya terjadi satu
pihak saja. Hanya kamu saja yang selalu mencoba mengerti atau kadang terpaksa
menjadi pengertian akan aku istrimu, dan sepertinya sampai saat ini kau
menjalani peran itu dengan sangat baik sekali, tanpa marah, tanpa jengkel, dan
selalu sabar, karena aku.
Ah, benarkah seperti itu pernikahan yang selama ini telah
kita jalani, bukankah itu terdengar menyedihkan sayang? Apalagi jika dirasai. Lalu
apa yang akan terjadi esok dan tahun-tahun berikutnya jika aku tak juga
memperbaiki diri. Bukankah dalam setiap kata kerja dalam pernikahan selalu
tersemat kata “saling” yang berarti semua kerja membangun cinta diantara kita harus
kita kerjakan bersama, bukan kamu saja, atau aku saja, tapi kita berdua. Saling
cinta, saling menjaga, saling pengertian, saling peduli, saling menahan diri, dan
saling saling lainnya hingga barakallah itu selalu hadir membersamai.
Maka sayangku, dikesempatan ini ijinkan aku, istrimu yang
dengan setumpuk masalah dan banyak salah ini meminta maaf atas segala khilaf yang
kulakukan, atas peran-peran seorang istri yang sering kulalaikan, atas
kejengkelan dihatimu yang sering kutimbulkan, atas kesabaran yang seringkali
tak kuikutsertakan, dan atas kecerewetanku yang sering tak bertepatan,
kecerewetan yang menyebabkan hidupmu jadi lebih berwarna (begitulah pembelaanku).
Sementara kamu,
selalu menjadi lelaki yang teristimewa, bagiku dan bagi anak kita. Barangkali kamu
adalah lelaki yang tertidur paling akhir. Yang memastikan kami, aku dan anak
kita tertidur dengan tenang. Yang selalu mendoakan dalam hati. Yang hanya
menegur dalam diam. Yang menangkap nyamuk dalam kantuk. Yang terjaga untuk
menjaga. Yang esok, atau lusa, atau kapan saja menikmati malam dengan cara yang
sama. Itu adalah kamu, lelaki luar biasa yang Allah kirimkan.
Sempat terpikirkan, jika itu bukan kamu, mungkinkah rumah
tanggaku diwarnai pertengkaran dan tangisan, mungkinkah tak kan ada kebahagiaan
karena tiadanya kesabaran. Ah, sayang, andai saja itu terjadi, entah bagaimana
diri ini. Maka segala kesyukuran terucap kepada Sang Maha Cinta bahwa itu kamu
yang menjadi belahan jiwa. Kesyukuran yang seharusnya dibersamai dengan
perbaikan diri kita masing-masing, begitu selalu katamu.
Ini adalah hari ke 1461 kita berumah tangga. Selamat hari
pernikahan kita yang keempat sayangku. Terima kasih atas segala sabar dan banyak
cinta.***
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





1 komentar:
Selamat empat tahun anniversary dek, Semoga sakinah, mawaddah, warahmah selalu untuk un dan keluarga... dunia akhirat :')
Posting Komentar