Pages

Kamis, 04 Februari 2016

EMPAT

Posted by Ulvina Haviza On 01.14 1 comment

:Setyo Nugroho
Ini adalah hari ke 1461 kita berumah tangga. Terinspirasi dari serial televisi yang akhir2 ini sering kita tonton bersama sepulang berkerja. Ya dalam rumah tangga pada tayangan itu, tampak sangat ditonjolkan perbedaaan perlakuan pasangan antara pengantin baru dan pengantin yang sudah lama menikah, yang ditandai dengan hitungan hari kesekian pada masa pernikahan masing-masingnya.

Saat menyaksikannya aku selalu teringat sesuatu, setelah perjalanan menuju pernikahan kita yang cukup berliku, akankah dihari kesekian ribu pernikahan kita nanti hal yang serupa terjadi pada rumah tangga kita. Timbulnya rasa jenuh dan kebosanan di antara kita, atau rasa sayang dan saling menghargai yang semakin berkurang terkikis oleh waktu, atau rasa ketidakpedulian yang nantinya akan jadi semakin membiasa. Ah, entahlah sayang, entah apa yang akan terjadi beberapa tahun, belasan tahun atau puluhan tahun kedepan tentang pernikahan kita. Entah bagaimana kita di hari ke 3000, hari ke 5000 atau hari kebelasan ribu nantinya (jika umur kita panjang).
Sempat membaca tulisan indah ini di salah satu dinding di dunia maya, “Jika kau merasa cintamu pada seseorang penuh pengorbanan, maka sebenarnya kau hanya mencintai dirimu sendiri.” Mendadak aku tersenyum, bukan senyum bahagia, tapi senyum yang seolah dipaksa karena aku merasa. Membuatku tiba-tiba berpikir, apakah selama masa empat tahun pernikahan kita, aku hanya sedang mencintai diriku sendiri, dengan menuntut banyak padamu, dengan selalu mendapat kesabaran dari tingkah dan lisanmu.
Kamu ingat, kamu yang selalu tak jadi marah justru disaat ingin marah padaku, tersebab aku telah menangis terlebih dulu, atau aku yang balik marah sebelum kamu sempat mengeluarkan kemarahan. Atau aku yang terkadang merasa kamu tak boleh memarahiku ataupun sekadar jengkel padaku, cukup orang-orang dekat pada masa kecilku saja yang melakukan itu dulu, cukup atasanku di kantor saja, cukup mereka-mereka  yang tak mengerti diriku saja di luar sana, kamu tidak boleh. Kamu haruslah mengerti akan diriku. Ya, betapa egoisnya diriku bukan.
Mencoba kembali merenungi, hakikat aku dan kamu yang Allah satukan dalam rumah tangga menjadi “kita”. Dalam masa pernikahan kita, menemukanmu seperti akhirnya menemukan tempat bersandar yang begitu kokoh atas keletihan hidup yang selama ini dirasa, seperti mendapatkan pegangan yang kuat dan erat untukku terlepas dari segala kesedihan. Padamu rasanya bisa kutopangkan segala kesakitan masa lalu yang tak terperikan (yang katamu harus segera dilupakan dan diikhlaskan). Dan padamu jua serasa bisa kuadukan segalanya, bisa kuungkapkan segala rasa tentang marah dan kesedihan yang menimpa.
Maka jadilah aku menjelma orang yang seenaknya padamu, duhai suamiku tercinta. Seperti percaya bahwa kau yang akan dapat dan selalu menerimaku apa adanya, menerima jika kulampiaskan kemarahan, menerima segala sifat keburukan tanpa ada perasaan takut untuk kau tinggalkan, ya lagi-lagi ini jelmaan keegoisan diri.
Akhir-akhir ini selalu mencoba berpikir dan merasa-rasa, benarkah selama ini jika pertenggangrasaan di antara kita hanya terjadi satu pihak saja. Hanya kamu saja yang selalu mencoba mengerti atau kadang terpaksa menjadi pengertian akan aku istrimu, dan sepertinya sampai saat ini kau menjalani peran itu dengan sangat baik sekali, tanpa marah, tanpa jengkel, dan selalu sabar, karena aku.
Ah, benarkah seperti itu pernikahan yang selama ini telah kita jalani, bukankah itu terdengar menyedihkan sayang? Apalagi jika dirasai. Lalu apa yang akan terjadi esok dan tahun-tahun berikutnya jika aku tak juga memperbaiki diri. Bukankah dalam setiap kata kerja dalam pernikahan selalu tersemat kata “saling” yang berarti semua kerja membangun cinta diantara kita harus kita kerjakan bersama, bukan kamu saja, atau aku saja, tapi kita berdua. Saling cinta, saling menjaga, saling pengertian, saling peduli, saling menahan diri, dan saling saling lainnya hingga barakallah itu selalu hadir membersamai.
Maka sayangku, dikesempatan ini ijinkan aku, istrimu yang dengan setumpuk masalah dan banyak salah ini  meminta maaf atas segala khilaf yang kulakukan, atas peran-peran seorang istri yang sering kulalaikan, atas kejengkelan dihatimu yang sering kutimbulkan, atas kesabaran yang seringkali tak kuikutsertakan, dan atas kecerewetanku yang sering tak bertepatan, kecerewetan yang menyebabkan hidupmu jadi lebih berwarna (begitulah pembelaanku).
Sementara kamu, selalu menjadi lelaki yang teristimewa, bagiku dan bagi anak kita. Barangkali kamu adalah lelaki yang tertidur paling akhir. Yang memastikan kami, aku dan anak kita tertidur dengan tenang. Yang selalu mendoakan dalam hati. Yang hanya menegur dalam diam. Yang menangkap nyamuk dalam kantuk. Yang terjaga untuk menjaga. Yang esok, atau lusa, atau kapan saja menikmati malam dengan cara yang sama. Itu adalah kamu, lelaki luar biasa yang Allah kirimkan.
Sempat terpikirkan, jika itu bukan kamu, mungkinkah rumah tanggaku diwarnai pertengkaran dan tangisan, mungkinkah tak kan ada kebahagiaan karena tiadanya kesabaran. Ah, sayang, andai saja itu terjadi, entah bagaimana diri ini. Maka segala kesyukuran terucap kepada Sang Maha Cinta bahwa itu kamu yang menjadi belahan jiwa. Kesyukuran yang seharusnya dibersamai dengan perbaikan diri kita masing-masing, begitu selalu katamu.

Ini adalah hari ke 1461 kita berumah tangga. Selamat hari pernikahan kita yang keempat sayangku. Terima kasih atas segala sabar dan banyak cinta.***



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

1 komentar:

Selamat empat tahun anniversary dek, Semoga sakinah, mawaddah, warahmah selalu untuk un dan keluarga... dunia akhirat :')

Posting Komentar