Ayah, aku memanggil lelaki itu dengan sebutan Papa, seperti
orang minang kebanyakan yang lebih kekinian. Tapi yang lebih sering terdengar seperti
kata “Apa” saja untuk sebutan seorang Ayah bagiku, karena cukup sulit
mengucapkan kata baku “Papa” secara utuh.
Apa adalah lelaki yang akhirnya dipilih Ama menjadi
pendamping hidup di usia ke-25 tahun, yang pada masa itu bagi orang-orang
sekampung, Ama termasuk perempuan yang terlambat untuk menikah. Dimana
rata-rata teman sebaya telah banyak yang menikah diusia menjelang 20 tahun atau
20 tahun lewat sedikit. Ya akhirnya mereka menikah lewat perjodohan antar
kenalan keluarga sebagaimana layaknya kebiasaan pada masa itu.
Apa adalah lelaki yang padanya tersematkan gelar seorang
Ayah, seorang pemimpin keluarga bagi kami, bagi keluarga kecil kami yang
didominasi oleh perempuan. Ya, tak sesuai dengan harapan Apa yang juga
menginginkan seorang anak lelaki, kami terlahir dengan rentetan empat anak
perempuan dengan jarak yang cukup dekat satu sama lain.
Apa, yang pada akhirnya jejak dan kisahnya tak begitu
terekam jelas dalam ingatanku. Dia yang tiba-tiba terasa samar dalam bayangan
masa kecilku akibat tertutup masa-masa muram setelah itu. Dia yang terasa
begitu jauh semenjak aku mulai beranjak dewasa. Kehadirannya yang tak begitu
kurasakan semenjak Ama lebih dominan dalam menanggung beban keluarga. Ya,
semenjak Apa tak lagi bekerja karena permasalahan ini itu, akhirnya Ama yang
mengambil alih semua tanggung jawab keluarga, termasuk mengongkosi kami untuk
berangkat kesekolah.
Pernah suatu kali aku tak berangkat ke sekolah karena Apa
dan Ama berdebat tentang siapa yang seharusnya mengongkosi anak-anak. Mungkin itu
adalah saat-saat dimana kejenuhan dan kepenatan Ama memuncak, hingga beliau menyuruh
untuk minta ongkos pergi ke sekolah pada Apa, begitupun sebaliknya, saat kami
bilang ke Apa, beliau menyuruh minta ke Ama. Alhasil liburlah kami sekolah hari
itu. Ngambek juga ceritanya.
Apa yang pada akhirnya selalu berdebat dan bertengkar
denganku tentang sesuatu, tentang kekeraskepalaanku, tentang
kebertanggungjawaban yang seringkali kupermasalahkan, tentang tingginya
kegengsian Apa untuk begitu pemilih dalam melakukan pekerjaan, padahal untuk
makan esok uang ditangan Ama hanya sisa sepuluh ribu. Beruntung masih ada beras
yang dihutangi adik-adik lelaki Ama, yang
boleh kami bayar entah bila. Dan Apa, bila beliau punya sedikit uang,
beliau gunakan untuk makan di warung sendiri, tanpa gusar, tanpa risau kami di
rumah, aku, uni, dan Ama makan dengan lauk apa.
Apa yang pada akhirnya kurasakan tak menginginkan
keberadaanku sebagai anak bungsu setelah sebelumnya dikaruniai tiga anak
perempuan. Sayangnya akupun lahir dengan menambah deretan panjang kejenuhan
itu, anak perempuan keempat, bukan anak lelaki seperti yang diharap-harapkan.
Anak yang katanya turut membawa kesialan, sebab sejak kelahiranku, dimulailah
drama ekonomi keluarga yang terpuruk itu. Ini sungguh menyakiti pikiranku,
terbawa ke alam bawah sadarku hingga kini, hingga tumbuh dewasa.
Apa yang pada akhirnya yang tertanam dalam diriku adalah selaksa
kebencian tentang masa kecil kami yang ditinggalkannya di kampung di rumah
keluarga Ama, sementara beliau hidup berbahagia beserta adik-adik tercintanya
yang tanpa meninggalkan nafkah penyambung hidup. Apa yang pada masa beliaku
yang kuingat hanya hardikan dan teriakan dalam didikannya, bahkan sesekali
pukulan. Apa yang pada masa dewasaku justru hampir tak kurasakan lagi
kehadirannya, setelah pilihan hidup dengan jauh merantau, kami hanya sesekali
bertemu bahkan tak mesti setahun sekali. Hingga saat keputusan terbesar dalam
hidupku pun untuk membersamai hidup dengan seorang lelaki, aku hanya
mengabarinya melalui telepon seluler sekaligus meminta izinnya. Dan beliau
hanya berkata singkat, “Ya, terserah kamu saja, baiknya gimana”.
Apa yang pada akhirnya pada saat malaikat maut menjemput,
aku tak turut berada disisinya. Bahkan untuk terakhir kalinya, untuk
mengantarnya ke pusara. Apa yang kematiannya tak begitu kutangisi seperti saat
kehilangan Ama yang dunia serasa akan runtuh. Apa yang kutemui telah menjadi
gundukan tanah dengan taburan bunga mawar, melati, dan kenanga di atasnya.
Apa yang pada akhirnya kutatap dengan kekosongan, dengan
diam, dan sedikit penyesalan tentang mungkin aku terlalu kejam dan keras padanya,
tentang betapa aku begitu lama memendam kebencian hingga menutupi hal-hal baik
yang pernah dilakukannya, tentang betapa aku begitu menyalahkannya atas segala
sedih dan air mata Ama, bahkan sempat ingin menyalahkannya tentang kematian
Ama.
Apa yang pada akhirnya atas nasihat beberapa orang untukku
mengikhlaskan segalanya. Tentang memaafkan karena aku berhak untuk memiliki
kedamaian dan ketenanagan dihati, tentang kalimat bijak bahwa tak ada manusia
yang tak melakukan kesalah termasuk Apa, termasuk aku.
Ah Apa, aku hanya sedang berusaha mengumpulkan segala
hal-hal baik tentangmu, mengingat-ingat hal-hal bahagia yang pernah terjadi
antara kita. Tentang bagaimana engkau mengucir rambut ikalku saat akan
berangkat sekolah SD dulu, tentang pergi tamasya melihat sirkus dan
lumba-lumba, tentang kembang api kecil saat malam takbiran. Untukku, agar aku
perlahan mengikhlaskan segalanya. Segala ketidakberuntungan yang datang pada
keluarga kita. Apa, aku memaafkanmu, juga sedang berusaha memaafkan diriku
sendiri. Semoga Allah memberi tempat terbaik disana.***
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar