Pages

Selasa, 23 Mei 2017

Catatan Tentang Ayah

Posted by Ulvina Haviza On 01.15 No comments

Ayah, aku memanggil lelaki itu dengan sebutan Papa, seperti orang minang kebanyakan yang lebih kekinian. Tapi yang lebih sering terdengar seperti kata “Apa” saja untuk sebutan seorang Ayah bagiku, karena cukup sulit mengucapkan kata baku “Papa” secara utuh.

Apa adalah lelaki yang akhirnya dipilih Ama menjadi pendamping hidup di usia ke-25 tahun, yang pada masa itu bagi orang-orang sekampung, Ama termasuk perempuan yang terlambat untuk menikah. Dimana rata-rata teman sebaya telah banyak yang menikah diusia menjelang 20 tahun atau 20 tahun lewat sedikit. Ya akhirnya mereka menikah lewat perjodohan antar kenalan keluarga sebagaimana layaknya kebiasaan pada masa itu.

Apa adalah lelaki yang padanya tersematkan gelar seorang Ayah, seorang pemimpin keluarga bagi kami, bagi keluarga kecil kami yang didominasi oleh perempuan. Ya, tak sesuai dengan harapan Apa yang juga menginginkan seorang anak lelaki, kami terlahir dengan rentetan empat anak perempuan dengan jarak yang cukup dekat satu sama lain.

Apa, yang pada akhirnya jejak dan kisahnya tak begitu terekam jelas dalam ingatanku. Dia yang tiba-tiba terasa samar dalam bayangan masa kecilku akibat tertutup masa-masa muram setelah itu. Dia yang terasa begitu jauh semenjak aku mulai beranjak dewasa. Kehadirannya yang tak begitu kurasakan semenjak Ama lebih dominan dalam menanggung beban keluarga. Ya, semenjak Apa tak lagi bekerja karena permasalahan ini itu, akhirnya Ama yang mengambil alih semua tanggung jawab keluarga, termasuk mengongkosi kami untuk berangkat kesekolah.

Pernah suatu kali aku tak berangkat ke sekolah karena Apa dan Ama berdebat tentang siapa yang seharusnya mengongkosi anak-anak. Mungkin itu adalah saat-saat dimana kejenuhan dan kepenatan Ama memuncak, hingga beliau menyuruh untuk minta ongkos pergi ke sekolah pada Apa, begitupun sebaliknya, saat kami bilang ke Apa, beliau menyuruh minta ke Ama. Alhasil liburlah kami sekolah hari itu. Ngambek juga ceritanya.

Apa yang pada akhirnya selalu berdebat dan bertengkar denganku tentang sesuatu, tentang kekeraskepalaanku, tentang kebertanggungjawaban yang seringkali kupermasalahkan, tentang tingginya kegengsian Apa untuk begitu pemilih dalam melakukan pekerjaan, padahal untuk makan esok uang ditangan Ama hanya sisa sepuluh ribu. Beruntung masih ada beras yang dihutangi adik-adik lelaki Ama, yang  boleh kami bayar entah bila. Dan Apa, bila beliau punya sedikit uang, beliau gunakan untuk makan di warung sendiri, tanpa gusar, tanpa risau kami di rumah, aku, uni, dan Ama makan dengan lauk apa.

Apa yang pada akhirnya kurasakan tak menginginkan keberadaanku sebagai anak bungsu setelah sebelumnya dikaruniai tiga anak perempuan. Sayangnya akupun lahir dengan menambah deretan panjang kejenuhan itu, anak perempuan keempat, bukan anak lelaki seperti yang diharap-harapkan. Anak yang katanya turut membawa kesialan, sebab sejak kelahiranku, dimulailah drama ekonomi keluarga yang terpuruk itu. Ini sungguh menyakiti pikiranku, terbawa ke alam bawah sadarku hingga kini, hingga tumbuh dewasa.

Apa yang pada akhirnya yang tertanam dalam diriku adalah selaksa kebencian tentang masa kecil kami yang ditinggalkannya di kampung di rumah keluarga Ama, sementara beliau hidup berbahagia beserta adik-adik tercintanya yang tanpa meninggalkan nafkah penyambung hidup. Apa yang pada masa beliaku yang kuingat hanya hardikan dan teriakan dalam didikannya, bahkan sesekali pukulan. Apa yang pada masa dewasaku justru hampir tak kurasakan lagi kehadirannya, setelah pilihan hidup dengan jauh merantau, kami hanya sesekali bertemu bahkan tak mesti setahun sekali. Hingga saat keputusan terbesar dalam hidupku pun untuk membersamai hidup dengan seorang lelaki, aku hanya mengabarinya melalui telepon seluler sekaligus meminta izinnya. Dan beliau hanya berkata singkat, “Ya, terserah kamu saja, baiknya gimana”.

Apa yang pada akhirnya pada saat malaikat maut menjemput, aku tak turut berada disisinya. Bahkan untuk terakhir kalinya, untuk mengantarnya ke pusara. Apa yang kematiannya tak begitu kutangisi seperti saat kehilangan Ama yang dunia serasa akan runtuh. Apa yang kutemui telah menjadi gundukan tanah dengan taburan bunga mawar, melati, dan kenanga di atasnya.

Apa yang pada akhirnya kutatap dengan kekosongan, dengan diam, dan sedikit penyesalan tentang mungkin aku terlalu kejam dan keras padanya, tentang betapa aku begitu lama memendam kebencian hingga menutupi hal-hal baik yang pernah dilakukannya, tentang betapa aku begitu menyalahkannya atas segala sedih dan air mata Ama, bahkan sempat ingin menyalahkannya tentang kematian Ama.
Apa yang pada akhirnya atas nasihat beberapa orang untukku mengikhlaskan segalanya. Tentang memaafkan karena aku berhak untuk memiliki kedamaian dan ketenanagan dihati, tentang kalimat bijak bahwa tak ada manusia yang tak melakukan kesalah termasuk Apa, termasuk aku.

Ah Apa, aku hanya sedang berusaha mengumpulkan segala hal-hal baik tentangmu, mengingat-ingat hal-hal bahagia yang pernah terjadi antara kita. Tentang bagaimana engkau mengucir rambut ikalku saat akan berangkat sekolah SD dulu, tentang pergi tamasya melihat sirkus dan lumba-lumba, tentang kembang api kecil saat malam takbiran. Untukku, agar aku perlahan mengikhlaskan segalanya. Segala ketidakberuntungan yang datang pada keluarga kita. Apa, aku memaafkanmu, juga sedang berusaha memaafkan diriku sendiri. Semoga Allah memberi tempat terbaik disana.***



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar